sanobayuAvatar border
TS
sanobayu
[Travelista] Setiap Tahun Perempuan Itu Mendaki Merapi untuk Berziarah




Spoiler for Baca Cepat:


Spoiler for Baca Cepat Tips:


“Namanya Abel. Sewaktu mereka sudah mencapai atas, tiba-tiba saja Merapi bergejolak. Dari dalam kawah menyembur asap disertai batu. Salah satu batu meluncur di lintasan tempat seorang cewek berdiri, dan Abel berusaha menghalangi laju batu itu dengan tubuhnya. Sayang batu itu tepat menghantam kepalanya, dan Abel pun meninggal saat itu juga. Setelah kejadian itu setiap tahun, cewek yang diselamatkan Abel selalu mengunjungi Tugu tersebut sambil meletakkan karangan bunga. Dan pendakian rutinnya berhenti ketika sang cewek menikah…”

Itulah yang diceritakan Marta ketika saya bertanya tentang keberadaan Tugu Abel di salah satu sudut dataran puncak Gunung Merapi (2.891 mdpl), Sumatera Barat. Marta adalah “pendaki rutin” Merapi. Sebenarnya tidak tepat juga kalau dibilang dia pendaki rutin, karena keberadaannya hampir sebulan sekali di kaki Merapi tidak selalu berakhir dengan pendakian. Dia sering lebih suka berkemah di area Pesanggrahan saja. “Saya sudah bosan ke puncak. Kalau pas ingin saja saya baru ke atas, ikut rombongan-rombongan yang naik. Saya lebih sering di sini, berkemah sendiri”.

Kami berdua bertemu Marta dan mendengar cerita tentang kepahlawanan Abel justru ketika kami sudah turun. Mungkin jika kami mendengar sebelum kami naik, maka saya mungkin akan mengambil banyak gambar Tugu Abel. Sayangnya saya hanya sempat mengambil sedikit gambar dan semua gambar saya ambil dari posisi jauh sehingga detailnya kurang begitu bagus. Ditambah dengan kamera yang bisa saya pinjam hanyalah kamera poket biasa bukan kamera SLR emoticon-Big Grin

Kami pun baru mengetahui kalau tempat kami beristirahat-setelah perjalanan turun 3 jam lebih- adalah Pesanggrahan emoticon-HammerDua malam sebelumnya tempat ini belum kami kenali, kami hanya menandai tempat ini sebagai tempat mengambil air sebelum kami mendaki.

Awal Pendakian
Dua malam sebelumnya saya dan kawan saya bernama Abu mengawali perjalanan dari Bungus, tempat kami berdua bekerja. Berjarak kurang lebih 16 kilometer ke arah selatan Kota Padang, Sumatera Barat. Perjalanan dari Padang kami tempuh dengan menggunakan travel dari depan Hotel Basko dengan tujuan Koto Baru. Tarif yang harus kami bayar adalah 18 ribu rupiah per orang. Koto Baru adalah salah satu wilayah di Kabupaten Tanah Datar. Dari sini sebagian besar pendakian ke Merapi dimulai karena jalur dari Koto Baru lebih mudah dilewati daripada jalur via Agam yang konon berupa jalur hutan perawan yang masih dihuni oleh harimau Sumatera.

Tiba di Koto Baru pukul 09.00 WIB, perjalanan dari Padang ternyata memakan waktu hampir 3 jam, padahal hitungan normal sekitar 2 jam. Hal ini terjadi karena arus lalu lintas ke arah Bukittinggi begitu padat di saat menjelang weekend dan liburan. Kami diturunkan di sebuah pasar yang letaknya dekat dengan masjid besar. Di sanalah kami melemaskan otot yang kaku setelah duduk diam selama perjalanan. Ketika kami baru turun, kami bertemu sekelompok pendaki lain. Kami berniat bergabung bersama mereka, mengingat kami baru pertama kali ke Merapi dan ini adalah pendakian pertama kami di tanah Sumatera. Ternyata mereka tidak menuju Merapi, tapi ke Gunung Singgalang. Memang di Koto Baru inilah dua jalur pendakian di mulai. Jika dari arah Kota Padang, sebelah kiri menjulang Gunung Singgalang dan sebelah kanan Gunung Merapi. Walaupun kami tidak jadi mendapatkan kawan seperjalanan, tapi kami beruntung bisa menanyakan beberapa hal yang penting, yang pertama adalah jalur untuk menuju pos pertama pendakian ke Merapi. Pos pertama itu adalah tower sebuah perusahaan telekomunikasi. Dari pasar Koto Baru bisa ditempuh dengan naik ojek bertarif 15.000 rupiah atau dengan berjalan kaki selama satu jam. Dan kami memilih untuk berjalan kaki, hitung-hitung pemanasan sebelum pendakian di jalur rimba. Jalanan yang harus kami lewati adalah jalan aspal yang di kanan kiri terdapat kebun sayuran. Ternyata perjalanan cukup melelahkan, kami harus dua kali istirahat. Mungkin karena faktor umur dan rokok yang dengan telaten kami hisap tiap hari emoticon-Big Grin Beban di punggung kami juga cukup berat, Saya dengan ransel 60 liter dan Abu menyandang ransel 45 liter.

Kami tiba di pos di bawah tower dan melakukan registrasi di sana. Ada sekitar 60 lebih nama yang mendahului kami. Bagi Abu yang telah mendaki sebagian besar gunung di Pulau Jawa, jumlah itu sangatlah mengejutkan, apalagi di saat libur panjang seperti kala itu. Kalau di Jawa, mendaki di kala liburan berarti bersiap pula untuk menghadapi ‘pasar’ di atas gunung, karena bakal ada ratusan orang di puncak.

Kami beristirahat sebentar di dalam pos. Berbasa-basi sambil menghabiskan sebatang rokok. Kami mendapat tambahan informasi tentang jalur yang akan kami lewati. Lumayan untuk pendaki pertama Merapi seperti kami. Tujuan kami berikutnya adalah mencapai Pesanggrahan, dataran sebelum kami masuk ke hutan bambu yang bernama Parak Batuang.


Mendadak Bambu
Kami pun memulai perjalanan dengan berbekal senter di tangan kami masing-masing. Jalan yang harus kami lalui cukup landai, tapi tetap bisa membuat kami ngos-ngosan. Cukup lama kami tidak melakukan perjalanan seperti ini. Saya sudak lebih dari 6 tahun tidak mendaki, sedangkan Abu masih lebih baik, sekitar 3 tahun, tapi dengan konsumsi 1 pak rokok tiap hari, stamina Abu juga tidak jauh berbeda dengan saya emoticon-Big Grin. Selama perjalanan kami terus mencari plang penanda bertulis “Pesanggrahan”, tapi belum juga kami temukan. Sampai ketika kami sudah mulai memasuki rerapat pohon pinus dan di sebuah tempat di mana kami mengambil air pun kami belum bisa menemukan tanda Pesanggrahan. Hingga kami tiba di area datar yang penuh dengan pohon bambu, kami menyadari bahwa plang “Pesanggrahan” memang tidak akan kami temui, kami sudah melewatinya, karena dengan banyaknya bambu berarti kami telah ada di Parak Batuang! Kami berdua terkejut karena telah sampai di sini, padahal kami berharap bisa menemukan dahulu Pesanggrahan.

Kesimpulan kami adalah memang tidak ada plang petunjuk, karena kami yakin kami sudah sangat awas untuk mencari di setiap tempat yang mungkin ditempel plang nama. Jika di bawah tidak ada plang nama, kemungkinan di atas, di jalur kami selanjutnya juga tidak ada. Kami menemukan beberapa tenda di kawasan hutan bambu ini, sepertinya yang berkemah di sini adalah grup-grup kecil atau mungkin pendaki solo, karena ukuran tenda yang kecil, tenda doom untuk 2 atau 3 orang.

Sama seperti di Pesanggrahan, di Parak Batuang kami juga tidak menemukan plang nama. Jadi sejauh ini kami menyimpulkan bahwa kami harus peka terhadap perubahan vegetasi untuk menandai tempat. Dengan kondisi jalur minim papan petunjuk, mungkin perangkat GPS adalah pilihan terbaik, karena posisi kami bisa ditentukan dari ketinggian yang tercatat. Sayangnya kami tidak membawa GPS yang sebenarnya bisa kami pinjam dari kantor.

lanjut...



0
33.6K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan