nugrohowidodoAvatar border
TS
nugrohowidodo
( Sejarah ) Kronologis peristiwa di Surabya Agustus - Desember 1945.
KRONOLOGIS PERISTIWA DI SURABAYA Agustus – Desember 1945
Saturday, November 13th, 2010 | Filed under Seminar | Posted by Suparto Brata

17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan di Jakarta jam 10 pagi. Berita dengan kode morse diterima di kantor berita Domei (Jl. Pahlawan 29) jam 11 pagi. Berita sempat diralat bahwa kejadian proklamasi itu tidak benar. Tapi orang Indonesia yang bekerja di Domei kadung membaca yang sudah diketik huruf ABC. Domei merupakan kantor berita yang menyuplai berita-berita ke suratkabar Suara Asia (Jl. Pahlawan 31), suratkabar sore di Jawa Timur. Meskipun sudah disensor oleh redaksi bangsa Jepang, ada juga yang menyelundupkan berita proklamasi tadi ke Suara Asia. Yang bekerja di Domei antara lain: Yacob (morsis), RM Bintarti, Sutomno (Bung Tomo), Astuti Askabul (kemudian jadi isteri A.Azis dan pemilik Surabaya Post). Yang bekerja di Suara Asia: Mohamad Ali (adik Imam Supardi, kemudian pemilik Panjebar Semangat). Oleh Suara Asia dibikin selebaran, disebar di tempat-tempat tempelan Suara Asia di seluruh Jawa Timur. Disiarkan dalam warta berita bahasa Madura oleh Radio Hoshokyoku Surabaya tanggal 18 Agustus 1945 jam 19.00 waktu Tokyo. Yang bahasa Indonesia baru tanggal 19 Agustus 1945.

18 Agustus 1945.
Di Jakarta ada rapat yang kemudian mengsahkan Undang-undang Dasar 1945. Para prajurit PETA dan Heiho dibubarkan oleh Jepang. Termasuk yang ada di Surabaya dan sekitarnya. PETA = Tentara Pembela Tanah Air, adalah para perwira yang dilatih dan ditugasi Jepang untuk menjaga daerahnya (Tanah Air). Heiho adalah orang Indonesia yang dilatih perang oleh Jepang, setelah terampil disuruh maju perang berasama pasukan Jepang melawan Sekutu.

19 Agustus 1945.
Terjadi insiden di Markas Polisi Istimewa Coen Boulevard 7 Surabaya (SMA St.Louis Jl. Dr.Sutomo), bendera Hinomaru (Jepang) diturunkan, bendera Merah Putih dikibarkan, dipelopori oleh Agen Polisi III Nainggolan..

21 Agustus 1945.
Komandan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya (Surabaya Syu Tokubetsu Keisatsutai) Inspektur Polisi Tk II Moehammad Jasin memproklamasikan bahwa Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Polisi Istimewa bermarkas di gedung SMA St. Louis Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Pemimpin polisi Jepang ditahan, komandan ditetapkan M.Jasin. Hubungan telepon diputus. Gudang senjata di belakang gedung dibongkar dikuasai oleh anak buah. Mengadakan apel pagi, lalu unjuk kekuatan berkeliling Surabaya dengan senjatanya (dan kendaraannya).

22 Agustus 1945.
Secara de facto Radio Surabaya (Surabaya Hoshokyoku) menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).

23 Agustus 1945.
Instruksi Presiden membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI semacam DPR) jatuh pada Surabaya 23 Agustus 1945. Dipelopori oleh Angkata Moeda diadakan persiapan pembentukan KNI di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jl. Bubutan 87 Surabaya. Rapat selama 3 hari (25-27 Agustus), menghasilkan susunan KNI Karesidenan Surabaya: Dul Arnowo (ketua), Bambang Soeparto dan Mr.Dwidjosewojo (wakil ketua), Ruslan Abdulgani (penulis), dan anggotanya 25 orang, antara lain: Mr. Masmuin, Radjamin Nasution, Dr. Angka Nitisastra. Untuk menyambut sidang pertama KNIP di Jakarta 29-31 Agustus, maka KNI Karesidenan Surabaya mengumumkan kepada rakyat Surabaya supaya hari itu mengibarkan bendera Merah Putih. Pengumuman itu dibendung oleh Kenpeitai (Polisi Tentara Jepang) dengan cara menyebarkan pamflet melarang pengibaran bendera Merah Putih, namun oleh orang Surabaya tidak digubris. Panflet disobek-sobek. Berarti perlawanan terhadap kekuasaan Jepang mulai tumbuh sejak itu. Oleh Ruslan Abdulgani peristiwa bendera itu disebut Flaggen Actie.

27 Agustus – 3 September 1945
Residen Sudirman setelah Indonesia merdeka sebagai pejabat paling tinggi di Karesidenan Surabaya (pada zaman Jepang sebagai Wakil Residen, Residennya orang Jepang) mendapat panggilan untuk menghadiri Sidang Pertama KNIP dan Permusyawaratan Pegawai Negeri di Jakarta. Berangkat tanggal 27 Agustus, pulang tanggal 3 September sore hari. Di Surabaya tanggal 2 September sudah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang anggota dan pemimpinnya terdiri dari para bekas anggota tentara PETA.

28 Agustus 1945.
Inggris dan Belanda sebagai pemenang Perang Dunia II mengadakan persetujuan Civel Affairs Agreement (CAA) bahwa Inggris akan membantu Belanda dalam memperoleh kembali menguasai bekas jajahannya (yaitu Hindia Belanda = Indonesia). Maka orang-orang Belanda juga disamarkan dimasukkan sebagai anggota badan internasional pemenangan Perang Dunia II. Antara lain bisa jadi anggota Intercross (Palang Merah Internasional yang mengurusi orang-orang yang menderita), RAPWI (Rehabilitation Allied Prisoners of War and Internees = badan yang mengurusi para tawanan orang Jepang yang kalah perang dan para tawanan asing yang selama perang ditawan oleh Jepang), dan juga lewat pemboncengan pada gerakan pasukan Inggris yang mengurusi daerah Indonesia (misalnya diaku sebagai utusan dari Angkatan Laut Inggris untuk mengurusi bekas angkatan laut Jepang di Surabaya, seperti yang dilakukan oleh P.J.G.Heiyer. Dengan adanya CAA itu maka orang Belanda dengan leluasa masuk ke Indonesia menggunakan fasilitas persetujuan tadi, meskipun tujuan utamanya menjajah Indonesia kembali.

2 September 1945.
Dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertempat di bekas gedung Badan Pembantu Prajurit (BPP) Jalan Kaliasin 121 (Jl. Basuki Rachmat). Rapat dihadiri hampir semua bekas pimpinan PETA, Heiho, kaum pergerakan dan lain-lain. Antara lain: Suryo (bukan Gubernur Suryo), Sutopo, Mohammad, Katamhadi, Rono Kusumo, Kunkiyat, Sungkono, Mustopo, Kholil Thohir, Yonosewoyo, Abdul Wahab, Usman Aji, Sutomo (Bung Tomo). BPKKP terbentuk dengan Dul Arnowo sebagai ketua, Daidantjo Mohammad (wakil), Daidantjo Sutopo (bagian umum), Notoamiprodjo dan Abdul Syukur (bagian keuangan). BKR terbentuk dengan Daidantjo Drg. Mustopo (ketua), Sunarso (bekas pegawai BPP, bagian tunjangan), dibantu bagian penerangan adalah: Daidantjo Katamhadi, Cudantjo Abdul Wahab, wartawan Antara Sutomo (Bung Tomo).

4 September 1945.
Penyempurnaan susunan BKR yang dirapatkan di GNI Jl. Bubutan 87 oleh para Daidantjo, Cudantjo dan Shodantjo menghasilkan tiga eselon BKR, yaitu BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan, dan BKR Kota Surabaya. Pemimpin-pemimpinnya yang disahkan adalah: BKR Jawa Timur: Moestopo (panglima), Suyatmo (staf umum), Mohamad Mangundiprojo (urusan darat), Atmaji (urusan laut), Suyono Prawirobismo (polisi, penerangan), Suryo (keuangan/perlengkapan), Dr.Sutoyo (kesehatan), dll. BKR Karesidenan Ketua Abdul Wahab (cudantjo), wakil ketua Yonosewoyo, dll. BKR Kota Surabaya: Ketua Sungkono.

13 September 1945.
Suratkabar Suara Asia (terbit di Surabaya) tanggal 10 September 1945 memuat ajakan: Besok hari Selasa 11/9 moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar oemoem. Sebeloem rapat besar dan masing-masing Siku ke lapang Tambaksari dan tibanja pawai dilapang terseboet, diharap sebeloem poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkanlah kemaoean rakjat dalam rapat itu. Suara Asia 11 September 1945 memuat: Rapat Raksasa dan pawai ditoeenda. Soeara Asia 14 September 1945 memuat Soeara Asia mohon diri (terbit terakhir). (Begitu surat Pak Barlan meralat tanggal rapat raksasa di Tambaksari). Pada dokumen lain tercatat bahwa Rapat Raksasa di Tambaksari tadi terlaksana pada tanggal 21 September 1945 (berarti sesudah perobekan bendera Belanda di Yamato Hoteru tanggal 19 September 1945).
Dengan ditutupnya Soeara Asia dan kantor berita Jepang Domei (keduanya berkantor di Jalan Aloen-aloen 29 dan 31, sekarang Jalan Pahlawan), para wartawannya banyak bergabung dengan kantor berita “Berita Indonesia” cabang Surabaya yang kantornya berada di Jl.Tunjungan 100, pojok Embong Malang-Tunjungan. Antara lain wartawan tadi Sutomo (Bung Tomo), Abdul Wahab (fotografer yang kemudian memotret peristiwa perobekan bendera di Yamato Hoteru, 19 September 1945).

15-17 September 1945.
Ada desas-desus bahwa untuk mengangkut para tawanan bangsa asing yang ditawan oleh Jepang selama Perang Dunia II, akan diangkut oleh badan yang dibentuk oleh Pasukan Sekutu pemenang perang, yaitu RAPWI, datang ke Surabaya. Mereka bermarkas di Hotel Yamato Jalan Tunjungan. Memang benar sejak hari itu Hotel Yamato ramai dengan orang-orang bule, dan mereka juga mengendarai mobil atau truck baru dengan tulisan RAPWI. Selain itu mereka juga menamakan dirinya anggota Intercross. Ada juga mereka yang terjun payung langsung ke tempat para tawanan orang-orang Belanda di daerah Gunungsari. Oleh para penjaga tawanan (bangsa Jepang yang sudah takluk) orang-orang inipun dibawa ke Hotel Yamato, berkumpul dengan teman-teman orang bule dari RAPWI. Di depan hotel, orang-orang bule pemenang perang ini kelihatan sombong, hilir-mudik di depan gedung, dan mengusir (menyuruh menjauh) orang-orang Indonesia yang lewat di depan hotel. Orang-orang Indonesia (di surabaya) waktu itu memang miskin habis diperas oleh penjajahan Jepang selama 3,5 tahun. Kurus dan lemah.

19 September 1945.
Sejak datangnya oerang-orang Belanda yang menyelundup ke Surabaya, dan hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya kaum interniran Belanda dari kamp-kamp tawanan, maka suasana Surabaya mulai panas karena terjadi saling mencurigai antara fihak pemuda dengan fihak Palang Merah International (Intercross). Pemuda Surabaya baru saja melakukan serangkaian kegiatan memperingati sebulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menyelenggarakan rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945, Ada provokasi baru tentang datangnya kelompok orang Sekutu yang pertama dari Mastiff Carbolic dibawah pimpinan Letnan Antonissen dengan parasut di Gunungsari Surabaya. Mastiff Carbolic Party merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang diorganisir oleh anglo Dutch Country Section (ADCS) angkatan 136. Semula selama Perang Dunia II, ADCS adalah organisasi spionase yang dikirim ke Sumatera, Malaya (Malaysia) dan Jawa secara rahasia. Setelah Jepang menyerah mereka diterjunkan antara lain di Jakarta dan Surabaya untuk menghimpun informasi tentang keadaan kamp-kamp tawanan dengan kedok RAPWI. Fihak tentara Jepang setelah mendengar tentang pendaratan itu kemudian menjemput dan mengawalnya ke Yamato Hoteru. Sebelumnya di Hotel itu telah berkumpul pula sebagian besar orang Indo dan orang Indonesia. Pada hari Rabu Wage tanggal 19 September 1945, sementara pemimpin Mastiff Carbolic mengunjungi Markas Besdar Tentara Jepang, beberapa orang anggotanya bersama orang Belanda yang bergabung dalam Komite Kontak Sosial mengibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru. Itu peristiwa heroik yang pertama dilakukan oleh Arek-arek Surabaya. Sebab waktu itu keadaan orang Surabaya miskin, kurang makan, habis dijajah orang Jepang, tidak punya senjata. Namun berani melawan orang-orang Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa patriotismenya tidak bisa dibendung. Penyobekan bendera warna biru bisa terlaksana, sedangkan untuk pertamakalinya pertikaian di hotel tadi menimbulkan kurban. Dari pemuda Indonesia yang menjadi kurban: Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono. Dari pihak Belanda Mr. Ploegman, tewas ditusuk dengan benda tajam.

20 September 1945.
Pada 24 Agustus 1945 secara resmi para pembesar Jepang membacakan tentang berakhirnya Perang dan pernyataan Tenno Heika dan Seiko Sikikan di hadapan Pamong Praja. Bergeraklah para pemuda Indonesia yang di bawah naungan AMI (Angkatan Muda Indonesia pimpinan Ruslan Abdulgani) yang sejak proklamiran 17 Agustus 1945 selalu mencari keterangan, berani merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Tanggal 20 September 1945 sebuah rumah kediaman seorang perwira Jepang di Princesselaan 1 (Jalan Tidar) diambil alih para pemuda, Jepang perwiranya ditawan. Para jpemuda itu adalah Jamal (zaman Jepang jadi kaibodan), Pramudji, Sudjono, Suyono, M.Dimyati, Suwardi, Karyono YS (pelukis). Jamal mengajukan usul agar gedung itu dijadikan Markas Komando Revolusi Surabaya. Mereka lantas mendirikan Markas Besar Pemuda Republik Indonesia (PRI). Keesokan harinya Jamal telah memasang spandoek besar: MARKAS BESAR PEMUDA REPUBLIK INDONESIA. Maka berdirilah PRI.

21 September 1945.
Dua hari kemudian setelah peristiwa perobekan bendera Belanda 19 September 1945, baru missi RAPWI yang sesungguhnya datang, dibawah pimpinan Letnan P.G. De Back dari Dutch Navy. Mendengar laporan Letnan Antonissen, oleh De Back Mistiff Carbolic Party yang telah membuat onar di Surabaya segera dikirimkan ke Jakarta. De Back kemudian memerintahkan kepada pihak Jepang untuk mempersiapkan evakuasi interniran wanita dan anak-anak dari Semarang ke Surabaya. Semula pihak Jepang khawatir kalau semakin banyaknya orang Belanda ke Surabaya akan menambah keruhnya keadaan. Namun akhirnya terlaksana juga pemindahan para interniran wanita dan anak-anak dari Semarang ke Surabaya tanggal 29 September sampai 2 Oktober 1945. Sebanyak 2000 orang yang baru datang ditempatkan di Darmo dan Gubeng. Kedua tempat itu berkumpul sekitar 3000-4000 orang.

23 September 1945.
Rapat AMI diselenggarakan 23 September 1945 memutuskan AMI berintegrasi dalam bentuk organisasi pemuda, yaitu PRI. Pimpinan AMI Ruslan Abdulgani menyerahkan kepemimpinannya kepada Ketua PRI yaitu SUMARSONO. Susunan pengurus PRI awalnya adalah Ketua, I, II : Sumarsono, Kusnadi HD, Krissubanu. Sekretaris: Bambang Kaslan, Supardi. Ada bagian keuangan, bagian pembelaan, bagian penyelidik, bagian tempur penyelidik (combat intelligence). Bagian penyelidik banyak melibatkan polisi resmi seperti: Inspektur Polisi Suyono Prawirobismo, Mujoko, SUCIPTO DANUKUSUMO , Benny Notosuroto, Kusnadi, Jayengrono, dll.
Dengan begitu kegiatan PRI menjadi sangat luas sekali di Surabaya. Hampir semua organisasi pemuda bergabung pada satu organisasi PRI ini, sehingga dibentuk berbagai cabang maupun rayon, misalnya PRI angkatan bersenjata, PRI pelajar, PRI Sosial dan Wanita. Dan juga PRI Wilayah Utara dengan kode PRI-60, dengan ketua, wakil, staf, batalyon, kompi (karena gerakan selanjutnya PRI memang ikut bertempur mati-matian melawan pasukan Inggris. Juga ada PRI Wilayah Tengah dengan kode PRI-40, dan PRI Wilayah Selatan dengan kode PRI-20, masing-masing wilayah melibatkan para pemuda dan dengan susunannya yang lengkap. Selain wilayah, juga dibentuk cabang, misalnya PRI Cabang Kampemen, Sidodadi, Ketabang, Bubutan, Kaliasin, Darmo. Banyak dari mereka itu bersenjata berat: panser, bren carier.
Pada tanggal 23 September 1945 tiba di Surabaya Captein P.J.G.Huiyer (Belanda). Ia diutus oleh Laksamana Helfrich (komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, setelah perang dunia selesai dia duduk di SEAC untuk mengurusi kembali daerah jajahannya), Huiyer berhasil membujuk Jendral Iwabe (panglima Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur) menyerahkan Angkatan Laut Jepang (kaigun) di Tanjungperak dalam surat serah-terima hitam di atas putih. Setelah mendapat surat serah-terima pangkalan Angkatan Laut Jepang di Tanjungperak, Huiyer terbang meninggalkan Surabaya menunaikan tugas misi yang sama ke Kalimantan Timur, sempat memberikan informasi kepada atasannya (Admiral CEL Helfrich, The C-in-C Netherlands Forces in The East, angkatan laut Belanda yang bergabung dengan Sekutu) bahwa penduduk Surabaya merupakan kekuatan yang paling lemah di dunia.

29 September 1945.
Sejak rapat raksasa di Tambaksari tanggal 21 September 1945, berkumpullah ± 30 pemuda bekas Peta, Sekolah Pelayaran Tinggi, Seinendan dan sebagainya di sebuah rumah di Julianallan (Jl.Mabes Duryat). Mereka membahas keikutsertaan mereka dalam keanggotaan BKR. Kegiatan mereka dipimpin oleh Abdul Wahab, bekas Cudantjo Peta yang menjabat sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya. Mereka membahas kenapa Indonesia sudah merdeka kok Polisi Sekutu (Allied Forces Police) menugasi orang Jepang (yang sudah takluk) menjagai instalasi-instalasi militer dan tempat umum yang penting (misalnya tempat tawanan bangsa asing, penjara) dengan menggunakan kain putih dengan tulisan merah di lengan baju sebelah kanan: “ALLIED FORCES POLICE”? Mereka tidak terima di negaranya yang sudah merdeka ada pasukan asing.
Atas kesepakatan bersama mereka membentuk “Pasukan Khusus” bertugas secara cepat merebut kekuasaan dari tangan “asing” itu termasuk pasukan Jepang yang telah dinyatakan takluk itu (tapi masih diberi tugas). Setelah persiapan bergerak siap, maka mereka lapor kepada Polisi Istimewa pimpinan M. Yasin. Gerakan akan dilakukan serentak juga dengan para Tonarigumi (Rukun Tetangga) seluruh Surabaya. Mereka diberitahu bakal ada gerakan perebutan kekuasaan terhadap orang Jepang, para Tonarigumi harus membantu secara serentak.
Pada pertemuan tanggal 29 September 1945 di Julianalaan diputuskan semua anggota 30 orang tersebut pada jam 18.00 harus siap menerima perintah bergerak yang disampaikan oleh Abdul Wahab. Perintah yang harus dilaksanakan sebagai berikut: 1. Melucuti senjata dan alat perang Jepang. 2. Menawan semua anggota pasukan Jepang baik laki-laki maupun perempuan. 3. Merampas menduduki tempat komunikasi tentara Jepang, dan pemerintahan Jepang. Gerakan diatur sedemikian rupa: 20.00-24.00 merampas komunikasi Jepang, 24.00 melucuti Polisi Sekutu Jepang. Jam 05.00 30 September 1945 harus sudah selesai. Jam 05.30 dengan alat pengeeras suara semua rakyat diteriaki/dipanggili “Siaaap! Siaaap! Serbu tentara Jepaaang! Serbu tentara Jepaaang!” Seluruh pelosok Surabaya tidak boleh ada yang kelewatan. Jam 06.30 seluruh anggota Pasukan Khusus 30 orang terbagi menjadi 15 kelompok masing-masing terdiri dari 2 orang, bertugas untuk memimpin rakyat untuk menyerbu dan melucuti tentara Jepang di tangsi, markas, dan dikonsentrasi tentara di seluruh pelosok Kota Surabaya. “Selamat berjuang! Merdeka!” ucap pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab pada jam 19.00 29 September 1945.

bersambung,...........
0
10.8K
27
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan