- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
7 Versi Kematian Syekh Siti Jenar [2]
TS
qwe2113
7 Versi Kematian Syekh Siti Jenar [2]
*Lanjutan dari: http://kask.us/hmr0j
Versi Keenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan (t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
Versi Ketujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
sumber
Spoiler for 5:
Versi Kelima
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).
Spoiler for 6:
Versi Keenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan (t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
Spoiler for 7:
Versi Ketujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
sumber
uken276 dan tien212700 memberi reputasi
2
6.8K
Kutip
30
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan