- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Cerita Pejalan Domestik
Jelajah Banyuwangi : Menikmati Pesona Keindahan Ujung Timur Pulau Jawa
TS
fadli0z
Jelajah Banyuwangi : Menikmati Pesona Keindahan Ujung Timur Pulau Jawa
Halo agan-agan semuanya
TS mau share cerita menjelajah Banyuwangi dari tanggal 21-25 Desember kemarin. Silahkan dinikmati. Semoga bisa memberikan gambaran informasi dan pengetahuan bagi agan sista yang mau berkunjung ke sini
TS mau share cerita menjelajah Banyuwangi dari tanggal 21-25 Desember kemarin. Silahkan dinikmati. Semoga bisa memberikan gambaran informasi dan pengetahuan bagi agan sista yang mau berkunjung ke sini
Spoiler for Part 1 : Prolog:
Perjalanan backpacking kali ini sejatinya agak dipaksakan karena kondisi badan tidaklah prima betul. Telapak kanan saya masih nyut-nyutan akibat menahan beban tubuh dan menghantam kerikil – batu kecil saat terpeseleset turun dari pendakian Gunung Merapi 4 hari silam. Sebelum melakukan pendakian Merapi, badan sudah mengirimkan sinyal-sinyal negatif, butuh istirahat, lantaran sehari sebelumnya telah melakukan perjalanan jauh selama 12 jam lebih dari Kota Serang – Jogja menggunakan bus-kereta. Alhasil sehari setelah melakukan pendakian timbul 3 sariawan besar di gusi dan bibir dalam yang membuat susah mengunyah makanan.
Saya sadar seharusnya saat ini saya lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di kasur empuk nan hangat, bukan kelayapan di luar. Namun, apalah daya, imajinasi membayangkan perjalanan ini yang akan menjelajahi pantai-sabana-hutan-gunung sudah sangat membuat gatal kedua kaki untuk segera melangkah, merealisasikan rencana yang sempat tertunda sebulan lebih. Lebaynya suara deburan ombak, bunyi desiran angin gunung kala malam, bunyi gemerisik ranting-rerumputan di padang Sabana Bekol, dingginnya dipeluk udara dingin gunung, hingga bau belerang Kawah Ijen pun sudah tercium saja semenjak di Jogja. Okey, ini memang lebay.
Dalam dua minggu ini perjalanan darat yang saya tempuh adalah sejauh 1.100-an KM lebih lantaran minggu lalu saya berada di Kota Cilegon menghadiri pernikahan teman. Ini berarti selama dua minggu ini saya melakukan overland pulau Jawa dari ujung barat ke timur!
Perjalanan Dimulai
Senin, 21 Desember 2015. Pukul 4 sore lewat beberapa menit saya sudah siap memulai perjalanan. Semua barang yang dibutuhkan untuk pertualangan 4-5 hari kedepan sudah dikemas rapi dalam tas ransel berukuran 60 L. Waktu yang dibutuhkan dari kos hingga halte transjogja terdekat adalah 10 menit perjalanan dengan jalan kaki.
Sesampainya di halte depan Kosudgama saya melihat antrian mengular, rupanya mbak penjaga halte sedang ke toilet, dan tidak ada lagi yang menjaga selain dirinya. Kurang dari 5 menit dia datang dan antrian pun hilang. Menunggu adalah hal wajib apabila menggunakan transjogja, saya menunggu kurang lebih 10 menit hingga bus jurusan 2B datang mengangkut para penumpang. Saya melakukan transit di halte SMP 5 sebelum melanjutkan bus dengan nomor 4A menuju tujuan utama, Terminal Giwangan.
Jalanan Jogja di sore hari begitu macet, layaknya Jakarta mini. Jogjakarta menjadi (Jog)jakarta setelah pukul 4 sore dan kembali menjadi Jogjakarta setelah pukul 10 malam. Kemacetan di beberapa titik cukup parah, membuat jalan bus transjogja menjadi begitu lelet. Alhasil saya baru tiba di Terminal Giwangan pukul 5.35 sore. Dan pemandangan yang membuat hati terenyuh pun terjadi. Dalam slow motion, bus Akas Asri jurusan Jogja-Banyuwangi terakhir yang berangkat pukul 5.30 sore sudah bergerak keluar dari terminal, saya melihat dari kaca depan bus transjogja yang transparan. Saya sedih, rencana perjalanan yang disusun bisa berantakan kalau saya tidak menggunakan bus langsung ke Banyuwangi.
Setelah turun dari transjogja saya segera berlari, setelah bertanya-tanya kepada petugas terminal tentang tempat mangkal bus Banyuwangi pun saya kembali berlari lagi. Benar saja, tempat bus jurusan Banyuwangi kosong di sarangnya. Saya mencoba bertanya tentang Bus Mila kepada calo yang jadi juru kunci trayek ini. Dari informasi yang saya peroleh di internet, bus terakhir Mila berangkat pada pukul 7 malam dari Terminal Giwangan. Mas Calo mencoba menelepon PO Bus Mila. Hasilnya adalah bus ternyata sudah penuh dari terminal Solo sehingga tidak akan ke Giwangan. Okeh, fine. Rencana berubah.
Saya dan beberapa penumpang tujuan Banyuwangi masih kekeh sabar menunggu hingga pukul 7 malam, berharap masih ada bus yang datang. Sempat ada sepasang bule yang datang, dia ditanya oleh calo dengan nada dan intonasi yang terkesan merendahkan, pasangan bule mengabaikan calo tersebut. Mereka bertanya kepada penumpang dibelakang saya, namun penumpang itu tidak bisa berbahasa Inggris. Layaknya pahlawan kesiangan, saya pun berdiri datang membantu. Enaknya bisa bahasa Inggris adalah ini ; kemampuan membantu wisatawan-wisatawan asing yang kebingungan butuh informasi.
Pukul 18.45
Para penumpang yang sabar menanti satu persatu berguguran. Mereka berkhianat pindah bus jurusan Surabaya. Tetiba ada calo lain yang mengatakan bahwa bus Banyuwangi sudah tidak ada lagi dan akhirnya terjadi juga, penumpang yang tersisa ramai-ramai bermigrasi ke bus jurusan Surabaya. Saya termasuk bagian dari mereka.
Bus yang saya naiki ini adalah sebuah legenda di antara bus-bus mania. Sumber Selamat! Yang berganti nama dari sebelumnya adalah Sumber Kencono. Sengaja berganti nama untuk menghilangkan stigma buruk dari masyarakat karena PO Bus ini dikenal biang onar dan sering ugal-ugalan di jalan. Saya berdoa semoga selamat sampai Terminal Purbaya mengingat supir-supir bus ini terkenal terobsesi dengan ajang balap F1.
AC bus terasa cukup dingin, saya kenakan jaket hangat dan langsung segera tidur pulas.
Pengeluaran H-1
Bus Transjogja : Rp3.600
Aqua 1,5 L : Rp5.000
Bus Jogja – Surabaya : Rp57.000
Total : Rp65.600
Saya sadar seharusnya saat ini saya lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di kasur empuk nan hangat, bukan kelayapan di luar. Namun, apalah daya, imajinasi membayangkan perjalanan ini yang akan menjelajahi pantai-sabana-hutan-gunung sudah sangat membuat gatal kedua kaki untuk segera melangkah, merealisasikan rencana yang sempat tertunda sebulan lebih. Lebaynya suara deburan ombak, bunyi desiran angin gunung kala malam, bunyi gemerisik ranting-rerumputan di padang Sabana Bekol, dingginnya dipeluk udara dingin gunung, hingga bau belerang Kawah Ijen pun sudah tercium saja semenjak di Jogja. Okey, ini memang lebay.
Dalam dua minggu ini perjalanan darat yang saya tempuh adalah sejauh 1.100-an KM lebih lantaran minggu lalu saya berada di Kota Cilegon menghadiri pernikahan teman. Ini berarti selama dua minggu ini saya melakukan overland pulau Jawa dari ujung barat ke timur!
Perjalanan Dimulai
Senin, 21 Desember 2015. Pukul 4 sore lewat beberapa menit saya sudah siap memulai perjalanan. Semua barang yang dibutuhkan untuk pertualangan 4-5 hari kedepan sudah dikemas rapi dalam tas ransel berukuran 60 L. Waktu yang dibutuhkan dari kos hingga halte transjogja terdekat adalah 10 menit perjalanan dengan jalan kaki.
Sesampainya di halte depan Kosudgama saya melihat antrian mengular, rupanya mbak penjaga halte sedang ke toilet, dan tidak ada lagi yang menjaga selain dirinya. Kurang dari 5 menit dia datang dan antrian pun hilang. Menunggu adalah hal wajib apabila menggunakan transjogja, saya menunggu kurang lebih 10 menit hingga bus jurusan 2B datang mengangkut para penumpang. Saya melakukan transit di halte SMP 5 sebelum melanjutkan bus dengan nomor 4A menuju tujuan utama, Terminal Giwangan.
Jalanan Jogja di sore hari begitu macet, layaknya Jakarta mini. Jogjakarta menjadi (Jog)jakarta setelah pukul 4 sore dan kembali menjadi Jogjakarta setelah pukul 10 malam. Kemacetan di beberapa titik cukup parah, membuat jalan bus transjogja menjadi begitu lelet. Alhasil saya baru tiba di Terminal Giwangan pukul 5.35 sore. Dan pemandangan yang membuat hati terenyuh pun terjadi. Dalam slow motion, bus Akas Asri jurusan Jogja-Banyuwangi terakhir yang berangkat pukul 5.30 sore sudah bergerak keluar dari terminal, saya melihat dari kaca depan bus transjogja yang transparan. Saya sedih, rencana perjalanan yang disusun bisa berantakan kalau saya tidak menggunakan bus langsung ke Banyuwangi.
Setelah turun dari transjogja saya segera berlari, setelah bertanya-tanya kepada petugas terminal tentang tempat mangkal bus Banyuwangi pun saya kembali berlari lagi. Benar saja, tempat bus jurusan Banyuwangi kosong di sarangnya. Saya mencoba bertanya tentang Bus Mila kepada calo yang jadi juru kunci trayek ini. Dari informasi yang saya peroleh di internet, bus terakhir Mila berangkat pada pukul 7 malam dari Terminal Giwangan. Mas Calo mencoba menelepon PO Bus Mila. Hasilnya adalah bus ternyata sudah penuh dari terminal Solo sehingga tidak akan ke Giwangan. Okeh, fine. Rencana berubah.
Saya dan beberapa penumpang tujuan Banyuwangi masih kekeh sabar menunggu hingga pukul 7 malam, berharap masih ada bus yang datang. Sempat ada sepasang bule yang datang, dia ditanya oleh calo dengan nada dan intonasi yang terkesan merendahkan, pasangan bule mengabaikan calo tersebut. Mereka bertanya kepada penumpang dibelakang saya, namun penumpang itu tidak bisa berbahasa Inggris. Layaknya pahlawan kesiangan, saya pun berdiri datang membantu. Enaknya bisa bahasa Inggris adalah ini ; kemampuan membantu wisatawan-wisatawan asing yang kebingungan butuh informasi.
Pukul 18.45
Para penumpang yang sabar menanti satu persatu berguguran. Mereka berkhianat pindah bus jurusan Surabaya. Tetiba ada calo lain yang mengatakan bahwa bus Banyuwangi sudah tidak ada lagi dan akhirnya terjadi juga, penumpang yang tersisa ramai-ramai bermigrasi ke bus jurusan Surabaya. Saya termasuk bagian dari mereka.
Bus yang saya naiki ini adalah sebuah legenda di antara bus-bus mania. Sumber Selamat! Yang berganti nama dari sebelumnya adalah Sumber Kencono. Sengaja berganti nama untuk menghilangkan stigma buruk dari masyarakat karena PO Bus ini dikenal biang onar dan sering ugal-ugalan di jalan. Saya berdoa semoga selamat sampai Terminal Purbaya mengingat supir-supir bus ini terkenal terobsesi dengan ajang balap F1.
AC bus terasa cukup dingin, saya kenakan jaket hangat dan langsung segera tidur pulas.
Pengeluaran H-1
Bus Transjogja : Rp3.600
Aqua 1,5 L : Rp5.000
Bus Jogja – Surabaya : Rp57.000
Total : Rp65.600
Spoiler for Part 2 : Bertemu Teman Jalan:
Selasa, 22 Desember 2015
Bus tiba lebih cepat dari yang dijanjikan, pukul 3.17 pagi dini hari dari yang seharusnya 3.30. Saya cek hp, ada beberapa pesan line dari Adi, teman jalan.
“ Dli. Kalau udah deket Sby bilang ya. Sejam sebelum sampai lah”
Dia mengirim pukul 22.50, Saya baca pesan itu pukul 3.14 pagi.
Saya membalas: “Gue udah sampe, Di. Sori ketiduran, Mau bareng aja jadi nih ke Banyuwanginya? Masih di Surabaya jadi?” Rencana awal kami adalah akan bertemu di Banyuwangi.
Dia membalas “Dli. Baru sadar gue. Gue juga masih dikosan, Dli. Mau berangkat sekarang?. Tunggu sejam lagi gue sampe terminal yah. Gimana? Jam segini ada PO busnya. Kalau ga ada nunggu pagi, sini Dli, mampir ke kosan gue dulu aja, nunggu pagi jam 6 nyari bis lagi”
Setelah saya mencari informasi tentang bus, pesan Adi saya balas “Ada bus kok, Di”
Dan hampir sejam tidak ada respon. Adi ternyata ketiduran (lagi)..
**
Pukul 6.25 saya bertemu Adi di ruang tunggu baru terminal dekat dengan sebatang pohon natal yang kesepian dan dihias begitu nanggung tidak niat. Agak canggung melihat Adi pas awal, maklum sudah hampir 1 tahun mungkin saya tidak pernah melihat dirinya. Tidak ada yang berubah dari perawakan badannya, masih tetap berkaca mata minus 3 dan berbicara dengan suara intonasi tinggi. Adi sekarang bekerja di Australian Aid jadi bagian suatu tim untuk kepentingan riset yang mengambil fokus lokasi Flores, dan dua tempat di jawa yang saya lupa nama tempatnya.
Karena tema besar perjalanan ini adalah gaya ransel atau backpacker, kami mencoba menggunakan bus termurah dari pilihan yang ada. Kami tidak langsung menggunakan bus jurusan Banyuwangi dari Surabaya. Menurut informasi yang sudah dikumpulkan dari internet, biasanya bus-bus akan ngetem lama menunggu kursi kosong terisi penumpang di Terminal Tawang Alun, Jember. Sehingga lebih baik memecah trayek menjadi 2 yaitu Surabaya- Jember lalu keluar mencari bus siap jalan dengan trayek jurusan Jember-Banyuwangi.
Pilihan kami nyatanya salah total. Kami menyesal. Bus ekonomi seharga Rp45 ribu ini jalannya tidak cukup kencang dan sering menaik-turunkan penumpang di jalan. Kursi penuh pun penumpang tetap dimasukan sehingga suasana bus sangat terasa sesak. Dan konyolnya di pertengahan jalan seisi penumpang diturunkan lalu dioper ke bus lain dengan kondisi bus yang reyot, AC segan hidup mati tak mau, dan parahnya lagi jalannya begitu lamaa sekali. Pukul 12.30 siang kami sampai di Terminal Tawang Alun- Jember. Jadi, butuh waktu sekitar 6 jam perjalanan yang seharusnya adalah 5 jam. Bagi kalian yang ingin menggunakan bus jurusan Surabaya-Jember, pilihan bus patas (cepat terbatas) adalah opsi yang lebih baik, meski harganya lebih mahal Rp15 ribu.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi kami rehat sejenak sambil mengisi perut. Kami makan di depan terminal samping indomaret. Saya memesan nasi telur (telur dadarnya saya pilih lapis paling bawah (lebih higienis) karen sedikit terpapar debu dan hinggapan lalat). Melihat kuah rawon saya jadi tertarik, saya meminta tambahan kuah rawon dan sedikit daging yang ternyata rasanya acak-adut tidak karuan. Saya menghabiskan biaya Rp12.000 untuk makan siang. Meminta kuah rawon dengan sedikit tambahan dagingnya menambah biaya Rp5.000 pada harga.
Setelah puas makan yang dirasa tidak kenyang karena porsinya mini, kami melanjutkan perjalanan, berjalan ke sebrang terminal depan indomaret satunya. Di minimarket itu saya menyempatkan membeli pulsa Rp15.000 karena butuh menghubungi Mas Rahmat, pemilik rumah singgah backpacker Banyuwangi. Dia di hubungi via whatsapp tidak responsif. Last seen Nya adalah pukul 9 pagi tadi. Kami berencana tidak tinggal di penginapan, hotel merah-putih (baca: mushola pom bensin, red) atau masjid tetapi di rumah singgah untuk hari pertama.
Berbekal pengalaman naik bus ekonomi ac yang tidak ramah waktu, kami putuskan untuk menunggu saja bus patas jurusan Banyuwangi. Waktu tunggunya lama sekali, lebih dari 40 menit. Kami berdiri kepanasan di pinggir jalan. Untuk mengobati rasa bosan yang ada kami ajak ngobrol saja seorang ibu yang sedang menunggu jemputan keluarganya.
Adi dan seorang ibu
Pukul 2.10 siang. Akhirnya Bus dengan nama Ladju berwarna kuning dengan tulisan PATAS besar di kaca depannya melintas di depan kami. Kami segera naik, bus nya enak, kursinya 2-2. Nyaman dan ada tempat colokan listrik untuk charge hp. Harga busnya adalah Rp40.000. Perjalanan selepas Terminal Tawang berubah drastis medannya. Yang sebelumnya kota khas pantura jadi sawah pepohonan rimbun yang menyejukan mata. Bus melewati areal persawahan dan selanjutnya naik turun berkelok-kelok di kaki Gunung Raung.
4 jam kemudian bus sampai di terminal Karangente atau Brawijaya - Banyuwangi. Terminal busnya kecil, kondisi saat kita sampai cukup sepi, hanya beberapa bus terparkir dan penumpang yang turun hanya dari bus yang kami tumpangi. Aroma khas sehabis hujan tercium kuat di terminal, jalanan basah dan agak becek di beberapa titik, para malaikat baru saja menenun kapas awan menjadi benang -benang hujan di Banyuwangi.
Bus Ladju yang kami tumpangi
Menurut hasil obrolan dari Mas Rahmat, kami bisa naik ojek seharga Rp10 ribu dari terminal menuju rumah singgah yang berlokasi di depan Stasiun Karangasem. Kami sepakat bahwa saya yang akan ke lokasi rumah singgah lalu menjemput Adi di mushola terminal dengan motor sewaan yang disediakan rumah singgah juga. Opsi ini bisa menghemat setengah biaya ketimbang harus dua-duanya naik ojek.
Saya berjalan menapaki jalanan aspal yang basah sehabis hujan. Di ujung jalan para tukang ojeg sudah bernafsu menawarkan jasanya. Dari obrolan awal harga yang mereka patok adalah Rp15 ribu. Saya bilang bahwa itu kemahalan. Tukang Ojeg tetap tidak mau menurukan harga, saya acuhkan dia, lalu berjalan menuju Indomaret untuk membeli minum. Saya menyempatkan diri bertanya kepada beberapa pengunjung yang berdiri di depan minimarket tersebut. Dari pengumpulan informasi yang didapat valid bahwa harga memang Rp10 ribu saja karena jaraknya tidak terlalu jauh. Saya kembali ke tempat tukang ojeg, kembali melakukan proses tawar menawar harga.
Meski alot prosesnya akhirnya harga disepakati Rp12 ribu, lumayan bisa hemat Rp3 ribu yang akan dipakai untuk keperluan lainnya. Tukang Ojeg melaju melewati jalanan Banyuwangi yang relatif sepi, kemudian belok ke kiri ke arah jalan yang lebih kecil di areal komplek perumahan. Kurang dari 10 menit saya sudah sampai di depan rumah singgah backpacker Banyuwangi.
Di depan rumah kondisinya sepi tak ada orang. Hanya ada dua motor yang diparkir di luar. Saya hubungi Mas Rahmat via whatsapp, dia keluar rumah, berjalan menuju saya. Seperti sudah bertemu teman lama, tidak ada canggung sama sekali dengan dirinya. Mas Rahmat ini perawakannya bertubuh kurus dengan tinggi hampir sama dengan saya. Usianya kini memasuki kepala 3. Kami ngobrol sebentar menanyakan kabar dan sebagainya.
Dia bertanya “loh kok sendiri, Mas. Temannya mana?”
“Masih di terminal, Mas. Nanti saya jemput dia. Biar hemat naik ojeknya sekali”
Tak berapa lama kemudian pemilik hatinya datang ikut mengobrol dan berbalas sapa. Mbak Titi namanya, orang yang sudah mengkavling hati Mas Rahmat dan menghasilkan keturunan seorang bocah laki-laki berumur 6 tahun yang cerdas dan aktif, Rendra.
KTP Adi saya serahkan sebagai jaminan peminjaman motor. Pinjam motor di rumah singgah backpacker ini tidak ribet prosesnya. Tidak ada uang jaminan dan sebagainya, hanya sebuah KTP dan kepercayaan. Tarif sewanya adalah standar di Banyuwangi yaitu Rp75 ribu perhari.
Gerimis mulai turun dari langit, mesin penenun hujan masih bekerja rupanya. Mas Rahmat dan Mbak Titi sempat manyarankan untuk tunggu gerimis reda baru keluar menjemput Adi. Saya menolak sarannya, kasihan teman saya sendirian di mushola menunggu. Saya diberi kunci motor Yamaha X-ride kemudian segera berpamitan dengan mereka lalu memacu motor ke jalan kembali ke terminal yang tiap belokannya saya coba hafal saat dibonceng tukang ojeg.
Di tengah jalan gerimis menjelma menjadi hujan lebat. Jaket gunung warna hitam yang saya kenakan basah kuyup. Saya berhentikan motor untuk berteduh dari hujan di depan sebuah toko yang tutup bersama bapak-bapak. Saya chat Adi agar sabar menunggu. 15 menit kemudian Adi sudah saya bonceng untuk kembali menuju rumah singgah. Pukul 9 malam. Saya dan Adi keluar mencari makan setelah semua barang-barang disimpan di ruangan rumah singgah.
Rumah singgah ini adalah rumah milik Mas Rahmat dan orang tuanya. Dia merelakan 2 ruang terbuka untuk tempat tidur lesehan laki-laki dan 6 kamar untuk perempuan. Di belakang rumah singgah juga dia sedang membangun rumah lainnya untuk para backpacker sebanyak 5 kamar. Mas Rahmat mulai membuka rumah singgah ini sejak Mei 2014. Mulia sekali kan dirinya? (Ingin tahu lebih cerita tentang Mas Rahmat? Nantikan part 3. Bak seorang antropolog yang mencari data, saya mengorek banyak informasi tentang dirinya dan visinya membangun rumah singgah)
Rumah singgah. Saya ambil gambarnya dari detik
karena jepretan saat malam kamara hp saya tidak cukup bagus
Pengeluaran H-2
Bus Patas Jember-Banyuwangi: Rp40.000
Aqua 1,5 L : Rp4.500
Aqua 600 Ml: Rp3.000
Ojeg : Rp 12.000 / 2 = 6.500
Makan Siang : Rp12.000
Makan Malam (Nasgor): 12.000
Pulsa XL:15.000
Sewa Motor 2 hari: Rp150.000 / 2 = Rp75.000
Patungan Bensin: Rp19.000
Total : Rp 187.000
Part 3 baca disini
Bus tiba lebih cepat dari yang dijanjikan, pukul 3.17 pagi dini hari dari yang seharusnya 3.30. Saya cek hp, ada beberapa pesan line dari Adi, teman jalan.
“ Dli. Kalau udah deket Sby bilang ya. Sejam sebelum sampai lah”
Dia mengirim pukul 22.50, Saya baca pesan itu pukul 3.14 pagi.
Saya membalas: “Gue udah sampe, Di. Sori ketiduran, Mau bareng aja jadi nih ke Banyuwanginya? Masih di Surabaya jadi?” Rencana awal kami adalah akan bertemu di Banyuwangi.
Dia membalas “Dli. Baru sadar gue. Gue juga masih dikosan, Dli. Mau berangkat sekarang?. Tunggu sejam lagi gue sampe terminal yah. Gimana? Jam segini ada PO busnya. Kalau ga ada nunggu pagi, sini Dli, mampir ke kosan gue dulu aja, nunggu pagi jam 6 nyari bis lagi”
Setelah saya mencari informasi tentang bus, pesan Adi saya balas “Ada bus kok, Di”
Dan hampir sejam tidak ada respon. Adi ternyata ketiduran (lagi)..
**
Pukul 6.25 saya bertemu Adi di ruang tunggu baru terminal dekat dengan sebatang pohon natal yang kesepian dan dihias begitu nanggung tidak niat. Agak canggung melihat Adi pas awal, maklum sudah hampir 1 tahun mungkin saya tidak pernah melihat dirinya. Tidak ada yang berubah dari perawakan badannya, masih tetap berkaca mata minus 3 dan berbicara dengan suara intonasi tinggi. Adi sekarang bekerja di Australian Aid jadi bagian suatu tim untuk kepentingan riset yang mengambil fokus lokasi Flores, dan dua tempat di jawa yang saya lupa nama tempatnya.
Karena tema besar perjalanan ini adalah gaya ransel atau backpacker, kami mencoba menggunakan bus termurah dari pilihan yang ada. Kami tidak langsung menggunakan bus jurusan Banyuwangi dari Surabaya. Menurut informasi yang sudah dikumpulkan dari internet, biasanya bus-bus akan ngetem lama menunggu kursi kosong terisi penumpang di Terminal Tawang Alun, Jember. Sehingga lebih baik memecah trayek menjadi 2 yaitu Surabaya- Jember lalu keluar mencari bus siap jalan dengan trayek jurusan Jember-Banyuwangi.
Pilihan kami nyatanya salah total. Kami menyesal. Bus ekonomi seharga Rp45 ribu ini jalannya tidak cukup kencang dan sering menaik-turunkan penumpang di jalan. Kursi penuh pun penumpang tetap dimasukan sehingga suasana bus sangat terasa sesak. Dan konyolnya di pertengahan jalan seisi penumpang diturunkan lalu dioper ke bus lain dengan kondisi bus yang reyot, AC segan hidup mati tak mau, dan parahnya lagi jalannya begitu lamaa sekali. Pukul 12.30 siang kami sampai di Terminal Tawang Alun- Jember. Jadi, butuh waktu sekitar 6 jam perjalanan yang seharusnya adalah 5 jam. Bagi kalian yang ingin menggunakan bus jurusan Surabaya-Jember, pilihan bus patas (cepat terbatas) adalah opsi yang lebih baik, meski harganya lebih mahal Rp15 ribu.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi kami rehat sejenak sambil mengisi perut. Kami makan di depan terminal samping indomaret. Saya memesan nasi telur (telur dadarnya saya pilih lapis paling bawah (lebih higienis) karen sedikit terpapar debu dan hinggapan lalat). Melihat kuah rawon saya jadi tertarik, saya meminta tambahan kuah rawon dan sedikit daging yang ternyata rasanya acak-adut tidak karuan. Saya menghabiskan biaya Rp12.000 untuk makan siang. Meminta kuah rawon dengan sedikit tambahan dagingnya menambah biaya Rp5.000 pada harga.
Setelah puas makan yang dirasa tidak kenyang karena porsinya mini, kami melanjutkan perjalanan, berjalan ke sebrang terminal depan indomaret satunya. Di minimarket itu saya menyempatkan membeli pulsa Rp15.000 karena butuh menghubungi Mas Rahmat, pemilik rumah singgah backpacker Banyuwangi. Dia di hubungi via whatsapp tidak responsif. Last seen Nya adalah pukul 9 pagi tadi. Kami berencana tidak tinggal di penginapan, hotel merah-putih (baca: mushola pom bensin, red) atau masjid tetapi di rumah singgah untuk hari pertama.
Berbekal pengalaman naik bus ekonomi ac yang tidak ramah waktu, kami putuskan untuk menunggu saja bus patas jurusan Banyuwangi. Waktu tunggunya lama sekali, lebih dari 40 menit. Kami berdiri kepanasan di pinggir jalan. Untuk mengobati rasa bosan yang ada kami ajak ngobrol saja seorang ibu yang sedang menunggu jemputan keluarganya.
Adi dan seorang ibu
Pukul 2.10 siang. Akhirnya Bus dengan nama Ladju berwarna kuning dengan tulisan PATAS besar di kaca depannya melintas di depan kami. Kami segera naik, bus nya enak, kursinya 2-2. Nyaman dan ada tempat colokan listrik untuk charge hp. Harga busnya adalah Rp40.000. Perjalanan selepas Terminal Tawang berubah drastis medannya. Yang sebelumnya kota khas pantura jadi sawah pepohonan rimbun yang menyejukan mata. Bus melewati areal persawahan dan selanjutnya naik turun berkelok-kelok di kaki Gunung Raung.
4 jam kemudian bus sampai di terminal Karangente atau Brawijaya - Banyuwangi. Terminal busnya kecil, kondisi saat kita sampai cukup sepi, hanya beberapa bus terparkir dan penumpang yang turun hanya dari bus yang kami tumpangi. Aroma khas sehabis hujan tercium kuat di terminal, jalanan basah dan agak becek di beberapa titik, para malaikat baru saja menenun kapas awan menjadi benang -benang hujan di Banyuwangi.
Bus Ladju yang kami tumpangi
Menurut hasil obrolan dari Mas Rahmat, kami bisa naik ojek seharga Rp10 ribu dari terminal menuju rumah singgah yang berlokasi di depan Stasiun Karangasem. Kami sepakat bahwa saya yang akan ke lokasi rumah singgah lalu menjemput Adi di mushola terminal dengan motor sewaan yang disediakan rumah singgah juga. Opsi ini bisa menghemat setengah biaya ketimbang harus dua-duanya naik ojek.
Saya berjalan menapaki jalanan aspal yang basah sehabis hujan. Di ujung jalan para tukang ojeg sudah bernafsu menawarkan jasanya. Dari obrolan awal harga yang mereka patok adalah Rp15 ribu. Saya bilang bahwa itu kemahalan. Tukang Ojeg tetap tidak mau menurukan harga, saya acuhkan dia, lalu berjalan menuju Indomaret untuk membeli minum. Saya menyempatkan diri bertanya kepada beberapa pengunjung yang berdiri di depan minimarket tersebut. Dari pengumpulan informasi yang didapat valid bahwa harga memang Rp10 ribu saja karena jaraknya tidak terlalu jauh. Saya kembali ke tempat tukang ojeg, kembali melakukan proses tawar menawar harga.
Meski alot prosesnya akhirnya harga disepakati Rp12 ribu, lumayan bisa hemat Rp3 ribu yang akan dipakai untuk keperluan lainnya. Tukang Ojeg melaju melewati jalanan Banyuwangi yang relatif sepi, kemudian belok ke kiri ke arah jalan yang lebih kecil di areal komplek perumahan. Kurang dari 10 menit saya sudah sampai di depan rumah singgah backpacker Banyuwangi.
Di depan rumah kondisinya sepi tak ada orang. Hanya ada dua motor yang diparkir di luar. Saya hubungi Mas Rahmat via whatsapp, dia keluar rumah, berjalan menuju saya. Seperti sudah bertemu teman lama, tidak ada canggung sama sekali dengan dirinya. Mas Rahmat ini perawakannya bertubuh kurus dengan tinggi hampir sama dengan saya. Usianya kini memasuki kepala 3. Kami ngobrol sebentar menanyakan kabar dan sebagainya.
Dia bertanya “loh kok sendiri, Mas. Temannya mana?”
“Masih di terminal, Mas. Nanti saya jemput dia. Biar hemat naik ojeknya sekali”
Tak berapa lama kemudian pemilik hatinya datang ikut mengobrol dan berbalas sapa. Mbak Titi namanya, orang yang sudah mengkavling hati Mas Rahmat dan menghasilkan keturunan seorang bocah laki-laki berumur 6 tahun yang cerdas dan aktif, Rendra.
KTP Adi saya serahkan sebagai jaminan peminjaman motor. Pinjam motor di rumah singgah backpacker ini tidak ribet prosesnya. Tidak ada uang jaminan dan sebagainya, hanya sebuah KTP dan kepercayaan. Tarif sewanya adalah standar di Banyuwangi yaitu Rp75 ribu perhari.
Gerimis mulai turun dari langit, mesin penenun hujan masih bekerja rupanya. Mas Rahmat dan Mbak Titi sempat manyarankan untuk tunggu gerimis reda baru keluar menjemput Adi. Saya menolak sarannya, kasihan teman saya sendirian di mushola menunggu. Saya diberi kunci motor Yamaha X-ride kemudian segera berpamitan dengan mereka lalu memacu motor ke jalan kembali ke terminal yang tiap belokannya saya coba hafal saat dibonceng tukang ojeg.
Di tengah jalan gerimis menjelma menjadi hujan lebat. Jaket gunung warna hitam yang saya kenakan basah kuyup. Saya berhentikan motor untuk berteduh dari hujan di depan sebuah toko yang tutup bersama bapak-bapak. Saya chat Adi agar sabar menunggu. 15 menit kemudian Adi sudah saya bonceng untuk kembali menuju rumah singgah. Pukul 9 malam. Saya dan Adi keluar mencari makan setelah semua barang-barang disimpan di ruangan rumah singgah.
Rumah singgah ini adalah rumah milik Mas Rahmat dan orang tuanya. Dia merelakan 2 ruang terbuka untuk tempat tidur lesehan laki-laki dan 6 kamar untuk perempuan. Di belakang rumah singgah juga dia sedang membangun rumah lainnya untuk para backpacker sebanyak 5 kamar. Mas Rahmat mulai membuka rumah singgah ini sejak Mei 2014. Mulia sekali kan dirinya? (Ingin tahu lebih cerita tentang Mas Rahmat? Nantikan part 3. Bak seorang antropolog yang mencari data, saya mengorek banyak informasi tentang dirinya dan visinya membangun rumah singgah)
Rumah singgah. Saya ambil gambarnya dari detik
karena jepretan saat malam kamara hp saya tidak cukup bagus
Pengeluaran H-2
Bus Patas Jember-Banyuwangi: Rp40.000
Aqua 1,5 L : Rp4.500
Aqua 600 Ml: Rp3.000
Ojeg : Rp 12.000 / 2 = 6.500
Makan Siang : Rp12.000
Makan Malam (Nasgor): 12.000
Pulsa XL:15.000
Sewa Motor 2 hari: Rp150.000 / 2 = Rp75.000
Patungan Bensin: Rp19.000
Total : Rp 187.000
Part 3 baca disini
Diubah oleh fadli0z 30-12-2015 08:00
0
2.4K
Kutip
12
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan