skydaveeAvatar border
TS
skydavee
[COC] Seribu Kisah Bersama Bis ALS

source:google.com

Sebelum harga tiket pesawat terjangkau oleh kalangan masyarakat kelas bawah seperti saya, menggunakan moda transportasi bis adalah pilihan utama. Meski peran kapal lautpun, sejatinya tidak dapat ditepikan. Namun, pemilihan akan bis, tampak begitu mendominasi, setidaknya untuk rute antar kota antar provinsi. Dan satu diantara sekian banyaknya perusahaan bis di tanah air, tercatat ada bis bernama ALS. Sebuah akronim dari Antar Lintas Sumatera.

Bagi penduduk yang tinggal di daratan tanah Andalas, yang kini diubah menjadi pulau Sumatera, keberadaan bis dengan liverykhasnya yang berwarna hijau ini, tentunya bukan hal asing lagi. Bis yang dahulu pernah mengambil trayek dari kota Banda Aceh hingga ke Jember, lantas menjadikannya salah satu bis dengan trayek terpanjang di Indonesia. Menjadi bis idaman pula bagi yang hendak bepergian melintasi kota Sumatera menuju pulau Jawa.

Tentu, pernah menjadi pelanggan setia bis ini, ada beberapa kisah yang kerap terjadi. Ya jelas. Lha wong perjalanan yang saya tempuh berkisar empat hari empat malam. Selain seru menderu-deru, kisah pedih pun terjadi pula. Pokoknya macam-macam.

Berikut seribu kisah yang pernah saya alami sendiri tanpa sedetikpun menggunakan pemeran pengganti, selama kurang lebih empat hari empat malam...

***
TRAGEDI BANGKU TEMPEL
source:google.com

Kisah ini terjadi pada medio tahun 1996. Setahun sebelum terjadi peristiwa berdarah di negeri ini. Dahulu, tiket bis ekonomi dari Rantau Prapat menuju kota Surabaya hanya Rp. 75.000. Murah bukan?

Tertarik menimba ilmu di tanah Jawa, bapak saya, dengan bujuk rayu Uwak (di Jawa disebut Pakdhe), memutuskan mengirim saya ke Surabaya dengan memesan tiket di agen Rantau Prapat. Saat itu, yang ada dipikiran adalah hal-hal yang menyenangkan. Sedikitpun tidak terpikirkan akan terjadi malapetaka.

Sebagai gambaran, para agen (sialan) bis ALS, dulu memiliki slot bangku terbatas. Sederhananya begini, anggap saja bangku bis yang tersedia untuk ukuran bis ekonomi berjumlah 50 dengan seat 2-2. Maka, mulai dari kota Medan, sudah dijatah jumlah bangkunya. Demikian kota Kisaran, Bagan Batu dan daerah lainnya, yang memiliki potensi penumpang lebih banyak. Celakanya, kota Rantau Prapat tidak mendapat jatah bangku sama sekali. Sampai dua jam perjalanan berlangsung, keadaan tampak seakan aman-aman saja.

Selama perjalanan lepas dari kota Rantau menuju Aek Nabara, tak lupa saya berdendang riang menyanyikan lagu tentang kota Surabaya. Sampai teriakan kernet dan agen membuyarkan imajinasi saya tentang gemerlap dan indahnya kehidupan Surabaya, yang selama ini hanya bisa saya saksikan melalui layar televisi. Tepat saat bis berhenti di kota Bagan Batu. Kota yang menjadi perbatasan antara Sumatera Utara dan Pekan Baru.

"Penumpang dari Rantau mana? Turun dulu ya?". Begitu suara parau dari kernet dan agen. Saya ingat betul kalimat itu, yang pada tahap berikutnya membuat saya memaki-maki mereka dengan membabi buta. Tapi sebatas dalam hati.

Bergegas saya, Uwak dan Erwin (sahabat satu kampung saya) dan 5 penumpang lain, turun dari bis menuruti titah sang agen. Sampai disini, belum ada firasat apapun jua. Semua tampak akan baik-baik saja.

Satu persatu penumpang dari kota Bagan Batu menaiki bis. Alamak, banyak kali orangnya. Begitu gumam saya dalam hati. Dan benar, dengan naiknya penumpang dari kota ini, seluruh bangku terisi penuh. Bahkan tempat duduk nomor tujuh sebelah kanan dari bangku sopir yang saya tempati, telah berubah makhluknya. Saya was-was, tepatnya bingung! Tragedi dimulai...

Setelah bis full, giliran penumpang yang malang, termasuk saya, menaiki bis dengan perasaan pedih bagaikan tersayat sembilu. Di bagian tengah, tampak kernet menempelkan kayu dengan lebar kira-kira 20 centimeter. Diletakkan persis diruang tengah diantara bangku-bangku penumpang. Sementara, besi-besi berukuran sekitar 30 centimeter dibuat penyanggahnya. Disitulah kami duduk. Padahal, perjalanan menuju Surabaya masih terhitung beberapa hari lagi. "Mak", itu ucapan lirih memanggil Mamak saya, ketika pantat mulai berpadu dengan bangku tempel sialan itu. Saya sedih, terisak, dan menangis.

***
MAHAL NIAN
source:google.com

Bis ALS yang saya tumpangi melesat melaju di aspal jalanan. Sesekali, bis berpapasan dengan bis ALS lainnya. Atau sopir membejek gas lebih dalam tatkala bertemu dengan bis kompetitor semacam Medan Jaya, PMTOH, Kurnia atau bis Karona, yang jika di Jawa disejajarkan dengan bis Eka, Mira, atau Sumber Kencono (sebelum berganti nama). Bis yang sama-sama suka ngawur bin ugal-ugalan. Serupa orang kesurupan.

Dalam sehari, bis berhenti 3 hingga 4 kali. Entahlah, yang pasti, teposnya pantat saya karena bangku sialan itu, berakibat ingatan saya terganggu. Dan, ujian selanjutnya dimulai (lagi).

Biasanya, bis berhenti di rumah makan yang sudah menjalin kerjasama sebelumnya dengan crewbis. Ini bisa disaksikan dengan ekslusifnya perlakuan rumah makan kepada sopir and the gank-nya. Mereka memiliki ruangan khusus, yang diatas pintunya di buat tulisan gede-gede "RUANGAN KHUSUS SUPIR". Ini konsekuensi yang logis. Jika sopir tidak dijamu dengan baik, berikut rokok gratis dari pemilik restoran, bisa saja kelak mereka akan memboikot restoran itu dan melakukan tindakan makar bukan? Mereka akan memilih restoran lain yang banyak ditemui sepanjang jalan.

Lalu, siapa yang dirugikan? Lagi-lagi penumpang. Harga makanan yang tersaji di restoran itu rata-rata lebih mahal tiga kali lipat, bahkan bisa lebih, bila dibandingkan jika makan di warung lainnya. Mungkin, pemilik restoran beranggapan bahwa para penumpang yang makan di restoran mereka hanya sekali ini saja? Mau mahal apa kagak, masa bodoh. Atau bisa pula karena mereka harus menutup biaya operasional dari menjamu para sopir dan crew-nya, lantas dibebankan kepada penumpang? Kedua alasan tersebut logis.

Untuk menyiasati kondisi demikian, biasanya saya mencari warung kecil di sekitaran restoran. Apakah harganya lebih manusiawi? Tidak Ferguso, ternyata sama saja. Sama-sama mahalnya.

Lagi-lagi saya menatap miris uang saku di dompet yang kian menipis. Seperti tipisnya pantat karena harus duduk di bangku tempel tanpa busa. Kejammm....!

Bis kembali melaju meraung-raung membelah jalanan. Detik berganti menit, lalu merambah ke jam, kemudian berganti hari. Waktu yang berlalu membuat saya mengutuk kejadian yang membuat saya hampir saja memutuskan untuk kembali ke kampung.

Kota Dumai, Palembang, Muara Enim, Lahat dan lain sebagainya, terlewati dengan siksaan pada pantat. Belum lagi saat kantuk bertandang. Kepada siapa kepala ini hendak disandarkan? Atau mendadak kebelet pipis, padahal bis baru saja berjalan. Bukankah di dalam bis ekonomi itu tidak disediakan toilet untuk sekedar buang air kecil? Oh Tuhan...😐

Pada akhirnya, orang-orang yang sabar memang disayang Tuhan. Memasuki kota Lampung, sebelum terminal Rajabasa, banyak penumpang yang menyudahi perjalanannya. Itu artinya, ada bangku kosong untuk saya meringankan segala sendu sedan akibat pantat yang berciuman terus menerus dengan bangku tempel sialan itu selama tiga hari.

Sesampai di pelabuhan Bakauheni, bis lantas memasuki kapal ferry dan menempuh kurang lebih 2 jam, menuju pelabuhan Merak. Selamat tinggal pulau Sumatera. Ucapan lirih dari hati ini.😥

Menjelang sore, setelah mengarungi beberapa kota di pulau Jawa dan menghabiskan waktu sehari semalam lagi, bis sampai jua ke kota tujuan. Hawa panas menyerinsak tatkala menginjakkan kaki pertama kali di kota Surabaya. Penderitaan empat hari empat malam, seakan sirna dan berakhir dengan senyum pias. Semua akan indah pada waktunya, Milea...😎

***
KIAN TERGERUS
source:google.com

Selama belajar disalah satu SMU di Jawa Timur, tercatat saya menggunakan armada bis ALS sebanyak lima kali. Belum lagi sepuluh kali kepulangan saat meneruskan pendidikan di kota Malang. Jika dikalikan dengan dua (PP), itu sama artinya saya telah berjibaku dan bersetubuh dengan bis-bis tersebut selama tiga puluh kali.😂

Pemilihan kelas bis ini bila saya berencana mudik, akan mengikuti harga fluktuatif sawit per kilo di kampung. Jika harganya mahal, saya biasanya membeli tiket bis eksekutif lengkap dengan toiletnya. Demi menghindari kejadian memilukan, atau tepatnya memalukan, saat keringat dingin bercucuran ketika menahan rasa kebelet pipis pada satu momen kepulangan saya. Alhasil, separuh dari isi botol mineral, saya tenggak hingga habis. Lalu botol yang apes itu dijadikan penampung air urine. Selepas buang air kecil, tinggal membuka kaca jendela bis. Namun, sebelumnya, saya memastikan tidak ada orang dibelakang bis. Bisa kualat saya. Untungnya kejadian itu terjadi dikala malam. Dan untungnya lagi, penumpang disamping saya berjenis kelamin yang sama. Dan dia sedang pulas dalam mimpi malamnya.

Sebaliknya, jika Mamak sudah mengomel-ngomel tanpa jelas alasannya, saya memilih pulang kampung dengan bis ekonomi. Sebab saya tak ingin dikutuk jadi batu serupa halnya Malin Kundang. Berita baiknya, dari Jawa menuju Sumatera, tidak ada agen nakal yang melahirkan tragedi bangku tempel. Semua mendapat jatah bangku, sesuai dengan nomor yang tertera di tiket.

Berbagai kelas bis sudah pernah saya naiki. Mulai dari bis ekonomi, bis ekonomi AC, patas Eksekutif, hingga sekali pernah naik bis Super Eksekutif dengan seat 2-1. Sayangnya, bis kelas terakhir ini, hanya sampai di Jakarta. Sisanya harus menyambung transportasi dengan armada lainnya.

source:google.com

Pada tahun 2005, adalah terakhir saya menggunakan bis ALS jika hendak mudik ke kampung. Saat itu, harga pesawat sudah mulai kompetitif, dan berselisih sedikit saja dengan harga bis. Padahal, setelah kejadian bangku tempel, perusahaan bis telah banyak berbenah, demi mendapatkan penumpang agar perusahaan tetap eksis.

Apa daya, efisiensi waktu, dan harga yang kian murah, membuat banyak penumpang beralih menggunakan transportasi pesawat sebagai pilihan. Tentu saja, cerita tentang kaki yang membengkak karena terlalu lama duduk, sudah jarang saya dengar. Bahkan, Mamak, yang dulu takut setengah mati naik pesawat demi menjenguk anak kesayangannya ini, lebih memilih pesawat daripada naik bis.

"Enak kali kalo naik pesawat. Awak bisa sahur di Rantau, buka puasa di Surabaya". Begitu alasan sederhana beliau.

So, sebagai dampak dari kian tergerusnya penumpang dengan memilih selingkuh pada moda transportasi lain, kita bisa menyaksikan penampakan bis legendaris ini tatkala melintas di Jawa. Lihatlah bagian atasnya penuh sesak dengan aneka barang, sedangkan penumpangnya sedikit. Ditambah lagi armadanya merupakan armada lawas yang membuat pemandangan tampak begitu memelas. Belum lagi tempelan debu menebal sebagai ciri khas bis antar kota antar provinsi.

Tentu, kondisi tersebut jelas berbeda dengan bis ALS jika menempuh perjalanan dengan rute pendek. Sebut saja Medan menuju Padang. Semua bis tampak kinyis-kinyis dan tak kalah dengan bis yang ada di Jawa. Tetapi, khusus untuk yang rute Medan hingga ke Jember, kita seakan melihat seperti orangtua yang kesusahan hanya demi sekedar berjalan.

Namun demikian, setiap kali berpapasan dengan bis ALS, yang dijuluki Raja Jalanan Sumatera, memori dalam hati menolak untuk tidak merasa kagum. Sebab, bisa saja satu diantara bis itu, dulu pernah menghantarkan saya menempuh perjalanan selama empat hari empat malam, dengan seribu kenangan tercipta. Termasuk tragedi bangku tempel. Lalu ada masa saat saya diajak makan diruangan khusus supir, yang kebetulan abang supir itu satu kampung dengan asal bapak saya. Kami sempat ber-martarombosambil saling bertanya banyak hal. Tapi bukan dengan Namboru Panjaitan. Atau ditraktir sepanjang jalan oleh pengagum rahasia. Lumayan, uang saku tidak berkurang. Dan semua kisah itu tak kan bisa dikupas habis hanya dalam satu thread.

Quote:



©Skydavee 2019
Diubah oleh skydavee 10-03-2019 01:30
0
3.3K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan