KokonataAvatar border
TS
Kokonata
Beberapa Jam Sebelum Resepsi Pernikahan Mantan


Gerimis turun, padahal hari masih pagi. Jarum panjang dan pendek baru saja menunjuk ke angka 12 dan 8. Dini duduk di ranjang single. Kedua tangannya memegang sepuncuk undangan pernikahan, berwarna cokelat.
 
“Kubatalkan saja rencana pergi ke acara resepsi?” 
 
Dini mendesah. Berusaha mengusir resah yang terus tumbuh di hatinya. Nama mempelai pria di undangan itulah yang mengusik hatinya. Ryan, seorang pria yang pernah mengungkapkan perasaannya kepada Dini, namun ditolaknya secara halus.
 
Saat itu Dini masih duduk di semester lima fakultas psikologi. Ryan mahasiswa fakultas teknik. Mereka sama-sama aktif di Humas BEM Universitas bidang media. Setahun bergiat di berbagai acara BEM , Dini merasa perlakuan Ryan kepadanya mulai berbeda. Ryan sangat perhatian dan berlaku bagai penjaga. Misalnya mengingatkan Dini soal berbagai acara semacam rapat BEM atau dorongan tetap kuliah meski ada tugas BEM. Juga tawaran antar jemput manakala ada urusan bidang media.
 
Sampai akhirnya Ryan menyatakan perasaannya pada suatu malam, usai satu acara penggalangan dana. Mereka makan bersama di satu café. Di sanalah Ryan mengungkapkan isi hatinya melalui secarik kertas. Isinya singkat saja: aku suka kamu.
 
Namun satu kalimat itu sempat membuat Dini tercekat. Lidahnya kelu. Dia memang sudah merasakan Ryan berusaha mendekatinya. Malam itu adalah puncaknya.
 
“Maaf, aku nggak tahu harus ngomong apa, Ry.” Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan Dini setelah terdiam cukup lama.   
 
Setelah malam itu, Dini perlahan menjauh. Apalagi masa kepengurusannya di BEM tinggal satu semester lagi. Ajakan Ryan ke sana-sini ditolaknya. Acara BEM ini-itu tidak diminatinya lagi. Soal Ryan yang mengungkapkan perasaannya bagai lalu bersama angin, tanpa jawaban Dini, apakah dia menyiman rasa yang sama terhadap Ryan.
 
Sesekali Dini masih berjumpa Ryan. Mereka saling menyapa atau tersenyum sekadarnya. Setelah itu, ya sudah. Ryan bersikap biasa, hanya Dini saja yang kerap merasa tidak enak hati, masih ada ganjalan di hatinya.
 
Pada semester enam Dini tidak aktif di BEM lagi, mulai sibuk magang dan bersiap melakukan penelitian untuk skripsinya. Di semester tujuh, Dini memutuskan ikut penelitian payung yang diselenggarakan seorang dosen psikologi pendidikan, hingga akhirnya lulus ketika memasuki semester sembilan.   
 
Pertemuan terakhir dengan Ryan saat wisuda. Ryan belum lulus, namun dia datang karena beberapa teman seangkatannya diwisuda juga. Ryan mendekati Dini yang tengah berfoto bersama keluarganya.
 
“Selamat, ya Din. Kamu lulus duluan…” ucap Ryan.
 
“Terima kasih. Kamu kapan lulusnya?”
 
Ryan Cuma menggaruk kepalanya yang saat itu cukup gondrong menutupi telinga.
 
“Doa’in secepatnya, ya.”
 
Hanya percakapan pendek itu, mereka berpisah. Ryan ditarik oleh teman-teman seangkatannya.
 
Dini tidak begitu tahu kabar Ryan. Apalagi dia tidak aktif di berbagai media sosial kecuali Instagram saja. Dini kapok menggunakan media sosial akibat akun Facebook-nya pernah dibajak, lantaran lupa membuka akun di komputer umum bandara dan lupa sign out. Maka dari itulah dia tidak terhubung dengan teman-teman lamanya di media sosial.
 
Suara pintu diketuk membuyarkan lamunan Dini.
 
“Ya…”
 
Dini bangkit, membuka pintu. Tante Dewi ternyata. Dini biasa memanggilnya Tawi, singkatan dari Tante Dewi. Adik dari ibu Dini itu sudah berpakaian rapi dan wangi.
 
“Gimana mau bareng?”
 
“Ngg… sudah janjian sama Laura. Lagin masih gerimis. Nanti nyusul, deh.”
 
“Sudah cerah lagi, kok. Ya, sudah. Masih galau?”
 
Dini menggeleng. Berusaha tersenyum.
 
“Jangan sampai nggak datang ke pernikahan Ryan. Nggak enak sama Bundara. Berkali-kali mengingatkan di grup PMOG.”
 
“Iya, Tawi. Nanti nyusul.”
 
Dini melepas kepergian bibinya itu bersama Alisa, sepupunya di ambang pintu. Usia Dini dan Alisa terpaut 10 tahun. Alisa masih duduk di kelas X.
 
Ditatapnya langit. Mendung mulai tersapu berkas sinar matahari. Alasan hujan tidak bisa lagi dia gunakan.
 
Dini duduk di sofa. Menimang ponsel pintarnya. Dia memang harus pergi jika tidak ingin mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari Bundara atau Bunda Rayya.
 
Rayya adalah satu dari sekitar 60 siswa TK Bintang yang dikelola Tawi. Sudah 2 tahun Dini memenuhi tawaran Tawi mengajar di TK Bintang. Rayya adalah keponakan Ryan. Dunia benar-benar sempit.
 
Pertemuan dengan Ryan pun tanpa sengaja. Saat itu TK Bintang mengadakan family campuntuk siswa dan orang tua. Ayah Rayya tengah bertugas ke luar negeri sehingga tidak bisa ikut acara. Ryan datang menggantikan posisi sang ayah. Sebab kuota peserta untuk tiap siswa adalah tiga orang. Apabila orang tua berhalangan hadir, harus digantikan anggota keluarga lainnya.
 
Ryan yang menyapa Dini lebih dulu di Ciwangung Indah Camp, lokasi perkemahan di sekitar Lembang, Bandung.
 
“Dini, kan?”
 
Dini sempat memicingkan mata. Mengingat sosok pria muda berkumis dan berjanggung di depannya. Awalnya dia tidak yakin, namun bibirnya kemudian mengucapkan satu nama.
 
“Ryan?”
 
“Iya betul.”
 
Dini kikuk seketika. Sedangkan Ryan terlihat senang. Tanpa ragu Ryan menceritakan dirinya yang sekarang bekerja di salah satu perusahaan media kreatif. Menyimpang dari jurusan kuliahnya memang. Namun Ryan mengaku suka dengan pekerjaannya saat ini. Awalnya dia ngekos. Namun karena kakak iparnya sering dinas ke luar kota, Ryan diminta Bundara tinggal di paviliun rumah keluarga Rayya.
 
Setelah itu Ryan sering mengantar atau menjemput Rayya ke sekolah.
 
Entah kenapa begitu melihat Ryan, ada desir aneh di hatinya. Padahal dulu saat Ryan menyatakan perasaannya, dia tidak memilih desiran rasa dan debar yang mengganggu itu.
 
Dini menikmati saja setiap desir dan debar kala berjumpa dengan Ryan. Sampai akhirnya 2 bulan setelah perjumpaan mereka kembali, Bundara memberikan undangan. Ryan akan menikah!
 
Hati Dini serasa ditinju. Untunglah saat itu sudah jam pulang sekolah. Dini segera pulang duluan untuk mengatasi perasaannya yang mendadak porak-poranda. Badai tercipta di dalam dadanya kala menerima undangan pernikahan itu.
 
“Aku kenapa? Mengapa aku kecewa? Apakah aku…”
 
Dini sampai meneteskan air mata. Dia sungguh tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.
 
“Itu CLBK. Cinta Lama Bersemi Kembali,” kata Laura sahabatnya sambil tertawa. Dini dan Laura belum lama bersahabat. Baru setahun mereka bertemu di satu acara yang diadakan oleh Kaskus. Karena seumuran dan merasa cocok, keduanya sering jalan bareng dan saling membuka diri.
 
“Kamu coba pratikkan emotional healing yang diajari Teh Irma.” Laura menyebut nama soul healer yang sering didampinginya. Laura merupakan salah satu tim Teh Irma ‘menyembuhkan’ orang-orang yang katanya punya sakit di hatinya.
 
Atas saran Laura juga akhirnya Dini mengadakan pertemuan dengan Ryan di satu rumah makan dengan TK Bintang.
 
Ryan yang senang sekali mengira akan ditraktir, bengong kala Dini mengungkapkan maksud pertemuan itu. Laura duduk di samping Dini. Laura menggenggam erat tangan Dini di bawah meja makan saat Dini mulai bicara.
 
“Terima kasih atas undanganmu. Tapi entah mengapa aku kok jadi galau setelah menerimanya. Mungkin karena ada urusan kita yang belum selesai di masa lalu.”
 
Dini menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.
 
Laura sudah mengingatkan, jangan buang muka saat bicara. Tatap saja, agar emosi negatif keluar, tersalurkan.
 
“Maaf, sudah menolakmu waktu itu...”
 
Ryan terperangah... Dia mendengarkan penjelasan dari Dini, kenapa Dini dulu tidak menjawab tegas serta menjauhinya. Sesekali gadis itu menghapus air mata di pipinya. Ryan tidak dapat berkata-kata, hanya mendengarkan.
 
Setelah Dini mengungkapkan isi hatinya. Suasana hening beberapa saat. Ryan berusaha mengumpulkan kata-kata.
 
“Aku juga minta maaf, waktu itu lancang,” kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir Ryan.
 
“Yah... dulu kita belum dewasa. Masih labil. Kalau dipikir-pikir, aku juga heran. Kok bisa dulu bisa seberani itu, ya...”
 
Ryan menyeka embun yang muncul dari gelas es teh manisnya.
 
“Tapi dulu itu, aku cuma pengen ngungkapin. Diterima atau ditolak terserah. Yang penting kamu tahu perasaan aku. Sudah gitu, aja. Ternyata kamu emang menggap aku teman biasa aja, ya...”
 
Ryan tertawa namun tanpa suara.
 
“Ya sudahlah. Masa lalu, biarlah berlalu. Kita beranjak dewasa. Semoga setelah ini kita tetap bisa berteman. Satu hal lagi. Kamu harus datang ke resepsi pernikahanku. Kamu juga Laura,” Ryan mengedipkan mata pada Laura tanpa sepengetahuan Dini.      
 
Mereka kemudian melanjutkan obrolan. Beban di dada Dini bagai terangkat setelah itu.
 
Jadi kenapa sekarang harus galau lagi?
 
Dini menghembuskan napas. Dia kemudian mencoba lagi langkah-langkah forgivness therapy yang diajarkan Laura.
 
Quote:

 
“Cie... forgivness therapyterapi lagi, nih...” mendadak Laura sudah berada di pintu.
 
“Lho, kamu sudah datang. Kok aku nggak dengar, ya?” Dini tersenyum malu.
 
“Khusu banget, sih...”
 
“Ya sudah, aku siap-siap dulu, ya...”
 
Dini berlari kecil ke arah kamarnya.
 
Kini gantian Laura duduk di sofa. Dia memejamkan mata. Melakukan forgivness therapy juga. Sepulang dari resepsi pernikahan nanti, dia harus membuka satu rahasia kepada Dini. Laura pernah menjadi pacar Ryan selama beberapa bulan. 


Sumber foto
Diubah oleh Kokonata 24-03-2019 13:47
0
690
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan