Sebagai rakyat jelata yang tak pernah memegang uang miliaran rupiah, pasti bertanya-tanya, "Mengapa pejabat kok tega-teganya mendzalimi rakyat?"
"Kok bisa mereka ngasih makan uang haram pada anak dan istrinya?"
"Sebenarnya, gimana sih awalnya, kok banyak pejabat yang korupsi di negeri ini?"
Untuk jawaban pertama dan kedua mungkin artikel sebelumnya bisa menjadi salah satu jawabannya.





Segala hal pasti memiliki awal sebagai alur yang jelas, khususnya dalam pembahasan kali ini adalah sejarah terjadinya korupsi di Indonesia sebagai jawaban pertanyaan ketiga di atas. 

Masa Kemerdekaan


Dilansir dari merdeka.com(3/15), kesaksian seorang prajurit tahun 60-an bernama Soemitro yang saat itu bertugas membantu Jendral Moersyid 1964-1965 percaya bahwa era kemerdekaan hampir tidak ada kasus korupsi. Kata hampir ini berarti tidak bisa dikatakan bahwa tidak ada sema sekali. 

Masa Order Baru


Mendiang Soemitro yang juga merupakan Jendral dengan pangkat terakhir Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) tahun 1974 bertugas mengawasi ekspor tengkawang di Pontianak. Pada awal masa kemerdekaan, perpajakan disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim juga ditentukan oleh pemerintah setempat.

Proses lain berbeda sejak peralihan kekuasan Orde Baru dimulai, masalah perpajakan mengalami perubahan drastis. Kebijakan tidak sepenuhnya diserahkan pada kewenangan daerah setempat, melainkan diambil alih pemerintah pusat. Secara otomatis, keputusan ini mengakibatkan kantor pusat yang berada di daerah harus pindah ke Jakarta.

Dalam buku 'Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib' yang ditulis Ramadhan FK dijelaskan nilai perpajakan sepenuhnya ditentukan pemerintah pusat. Misalnya, dalam situasi kantor tengkawang pindah ke Jakarta perhitungan hanya berdasarkan kertas tidak seperti sebelumnya berdasarkan situasi yang terjadi di lokasi sebenarnya.

Situasi ini yang memicu mudahnya praktik korupsi dilakukan karena menyebabkan kesepakatan hitam antara pebisnis dengan berokrat untuk akselerasi bisnis mereka. Contoh, eskportir tengkawang saat itu diharuskan membayar biaya perpajakan sebesar 100 juta rupiah. Maka munculah pikiran untuk membayar 10 juta saja pada orang di kantor perpajakan. Sehingga menganggapnya sebagai keuntungan pada selisihnya.

Jenderal Soemitro juga memberikan contoh nyata yang terjadi masa itu karena perubahan alur ekspor yang begitu dikuasai pusat pemerintah saat itu, transaksi penjualan yang dilakukan secara adat masyarakat Aceh tersendat. Misalnya, ekspor kacang dari Aceh tidak bisa lancar begitu saja sampai ke Malaysia. Mau tidak mau, pengusaha Aceh menemui pusat perpajakan di Jakarta untuk mengajukan izin. Pegawai tersebut malah memanfaatkan kesempatan untuk meminta 'uang jalan'. 







Semoga dengan 5 poin saran di atas menjadi upaya mempersempit ruang gerak para politisi kotor, bahkan tidak menutup kemungkinan korupsi mati secara permanen apabila mata rantai koruptor telah terputus. Jadi, kalimat Bang Napi mengenai 'kesempatan' itu sudah tak akan berlaku lagi para koruptor. Siapapun pemenang pemilu 2019 nanti, sangat berharap 5 saran ini bisa diwujudkan di pemerintahan selanjutnya.