Papa.T.BobAvatar border
TS
Papa.T.Bob
Bahaya Populis | Seri Konspirasi Informasi [5]
Spoiler for Pengantar:

*****
Quote:

*****


businessinsider.com

Konsep truthinessdiperkenalkan oleh Stephen Colbert, pembawa acara satir terkenal, The Colbert Report. Truthiness diartikan sebagai kebenaran yang datang dari ketekunan, bukan dari fakta. Ia mendefinisikannya sebagai berikut: “The belief in what you feel to be true rather than what the facts will support”. Keyakinan adalah apa yang anda rasa benar, bukan sesuatu yang didukung oleh fakta.

Pada 2006 truthiness dinyatakan sebagai word of the year oleh kamus Merriam Webster. 10 tahun kemudian pada 2016, dengan konsep yang hampir sama, kata post truth dinyatakan sebagai word of the year oleh kamus Oxford. Post truth artinya fakta objektif yang kurang memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik. Publik justru lebih percaya pada emosi dan keyakinan personal mereka. Istilah post truth semakin populer setelah Brexit dan pilpres Amerika Serikat.

******


geneticliteracyproject.org

Kadang perkataan politisi terdengar benar. Rasanya enak ketika mendengar fakta yang sesuai dengan sudut pandang/pandangan politik anda. Tapi ketika anda menerima fakta/informasi yang kontradiktif atau tidak sesuai dengan sudut pandang/pandangan politik anda, ada konflik antara informasi ini dengan pendirian anda, opini anda, atau nilai-nilai yang anda anut. Inilah yang disebut dengan disonansi kognitif.

Kondisi ini sangat tidak nyaman, sehingga anda akan cenderung menghindari keadaan seperti itu. Dan anda akan lebih selektif memilih sumber informasi. Inilah yang disebut dengan selection bias. Saat kita hanya ingin mengakses informasi yang sesuai dengan pandangan politik/sudut pandang kita.
Quote:

Ini ditunjukkan dengan pola konsumsi media. Seseorang memiliki kecenderungan untuk memilih media yang sesuai dengan pandangan politik/sudut pandang mereka.

Selection biasmembuat anda tidak ingin terpapar informasi yang menantang pendirian anda dengan fakta-fakta yang "mengganggu" anda. Hal ini kemudian akan memunculkan fenomena baru. Anda akan menghapus informasi-informasi yang mengganggu anda, yang anda golongkan sebagai informasi yang tidak reliabel. Lagi-lagi anda mencoba menghindari disonansi, dan fenomena ini disebut motivated reasoning. Kita hanya setuju dengan fakta yang sudah kita percaya. Dan jika kita bertemu fakta yang tidak sesuai dengan pendirian kita, kita akan menolaknya. Kita berubah menjadi seperti pengacara yang mempertahankan pendapat kita, daripada sebagai ilmuwan yang objektif.

*****


youtube.com

Motivated reasoning membuat kita tidak percaya pada fakta ilmiah sekalipun. Studi yang dilakukan oleh Lewandowsky (2013) menemukan hubungan antara kepercayaan terhadap ekonomi pasar yang menyalahi regulasi, dan skeptisisme pada riset tentang perubahan iklim serta realitas antropogeniknya. Studi tersebut memaparkan klaim bahwa emisi karbon menjadi ancaman bagi ekonomi pasar yang bergantung pada bahan bakar fosil. Tapi prinsipnya lebih mudah untuk tidak percaya pada (reliabilitas) riset perubahan iklim daripada harus merevisi sudut pandang terhadap pasar. Sebab merevisi sudut pandang terhadap pasar lebih rumit.

Ini ibarat seseorang yang lemah dalam menyelesaikan soal matematika karena perhitungannya tidak sesuai dengan hasil yang ia inginkan. Ia merasa lebih baik bertahan pada fakta yang ia suka walaupun perhitungannya salah, daripada harus mengubah sudut pandang dan mengijinkan fakta yang sebenarnya untuk menggoyahkan pendirian yang ia anut, dan sudut pandangnya atas realitas.


theemotionmachine.com

Kuklinski et al (2000) meneliti hubungan antara opini politik dan fakta ilmiah. Ia menemukan bahwa orang-orang dengan keberpihakan ideologi justru cenderung beropini menggunakan fakta yang salah. Mereka sangat percaya dan yakin bahwa dirinya benar. Sangat sulit untuk membuat mereka percaya pada fakta-fakta yang berlawanan dengan ideologi mereka. Dengan keadaan psikologis seperti ini masyarakat menjadi mudah terpolarisasi. Dan pola pikir bermasyarakat mereka menjadi "us vs them", kita versus mereka.

Ketika masyarakat terpolarisasi, mereka menganggap kubu yang bertentangan tidak hanya sebagai lawan, tapi juga musuh. Sehingga tujuan masing-masing kubu hanya satu, menang. Dalam peperangan, menyebarkan kebohongan dan memanipulasi informasi dianggap sebagai hal wajar. Jika kubu yang bertentangan adalah musuh, memfitnah kubu lawan menjadi hal yang sah dan diperbolehkan.

Dan kalau anda bukan bagian dari kelompok, anda harus siap menanggung akibatnya. Misalnya, seorang polisi yang loyalitasnya kepada sesama polisi lebih tinggi, daripada loyalitasnya pada hukum dan masyarakat. Atau politisi yang loyalitasnya pada partai, pada menteri, pada kabinet, atau pada presiden lebih tinggi, daripada loyalitasnya kepada hukum, kepada konstitusi, dan kepada masyarakat. Mereka-mereka inilah yang menodai demokrasi.

*****

Pada akhirnya mereka tidak hanya resisten terhadap fakta, dan membangun narasi us vs them. Tapi juga narasi populisme.


watchingamerica.com

Narasi populisme berbeda dengan narasi kawan dan musuh. Inti dari narasi populisme adalah "kita, dan hanya kita". Singular. Anti-pluralisme. "Jika anda tidak bersama kami, maka anda melawan kami."; "Anda bukan golongan kami!"; adalah contoh jargon-jargon populis.

Kalangan populis kerap menyatakan lawan politik mereka sebagai musuh bersama (enemies of the people), selain juga musuh demokrasi. Dalam pengertian populis, lawan politik tidak dipandang sebagai representasi golongan lain yang sah (yang mana adalah syarat mendasar dari pluralisme atau demokrasi liberal). Melainkan, lawan politik dipandang sebagai bagian dari elit yang mengkhianati rakyatnya, mengingkari janji-janji mereka, tidak peduli, dan tuduhan-tuduhan semacamnya.


freakingnews.com

Pihak-pihak yang tertuduh tadi dengan mudah dicap sebagai bagian dari musuh mereka selama ini. Musuh itu bisa saja imigran yang mengancam keamanan, identitas, dan nilai-nilai nasional. Atau bisa juga elit politik pemerintahan yang membiarkan imigran-imigran tersebut masuk. Atau juga termasuk elit media yang dituding menyembunyikan kebenaran, membungkam suara rakyat, membuat berita bohong, terutama ketika menampilkan berita-berita tentang kalangan populis. Partai Alternatif Jerman menjuluki media ini sebagai "Media Pinokio".

*****

Narasi populisme mendapatkan tempat untuk melancarkan agenda politik mereka di media. Populisme adalah salah satu strategi media dalam memainkan emosi khalayak, dan strategi ini terbukti efisien dalam menarik perhatian mereka. Narasi yang menyatakan bahwa golongan lawan adalah golongan orang jahat (villains), sangat efisien untuk membuat publik marah atau takut.


dannycranberry.wordpress.com

Berita yang memprovokasi orang untuk mengeluarkan amarah atau rasa takut memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk menjadi viral dan menyedot perhatian di media sosial (Berger dan Milkman, 2012). Emosi negatif, seperti marah dan takut, selain juga emosi positif, seperti kagum, dan terpesona, cenderung mendorong orang untuk bertindak (activity mobilizing emotions). Berlawanan dengan rasa sedih, atau nyaman (activity demobilizing emotions). Contohnya, jika statement seorang kandidat membuat anda sedih, kemungkinan anda menjadi tidak ingin bertindak, sehingga anda tidak memilihnya, meskipun kandidat yang lain sama buruknya. Sementara dorongan untuk beraksi/bertindak bisa dalam bentuk share, retweet, like, atau gestur-gestur online lain yang menjadi bahan bakar transmisi sosial dalam ranah media. Jadi jika anda ingin konten anda menjadi viral, buatlah publik marah atau takut.

Meski demikian, narasi populis tidak selalu jauh dari realita. Masyarakat yang berpihak pada populis bisa jadi marah dan takut, dalam hal positif, setelah diberi fakta yang kasar dan sulit untuk diterima. Misalnya fakta-fakta tentang isu kesenjangan sosial, atau "fakta-fakta tersembunyi" yang stereotipikal (rural vs urban, dll), dan berita-berita hasil framing yang memunculkan narasi "kita vs mereka".


audika.com.au

Jika fakta tersebut diadu dengan fakta lain yang bertentangan dengan narasi mereka, kalangan populis kemungkinan akan menghindari perdebatan begitu saja, atau beralasan bahwa fakta tandingan tersebut tidak valid sambil mengelak. Seperti misalnya: "Meskipun statistik tidak memperlihatkan peningkatan angka kriminalitas, tapi kenyataannya ada (peningkatan). Hanya saja kita tidak bisa melihatnya, sebab berupa angka bayangan (shadow numbers)." Walaupun dalam bahasa keilmuan memang dikenal ada istilah shadow number, dan tidak semua kasus kriminalitas dilaporkan ke polisi, tapi menolak mentah-mentah angka yang disajikan, setiap kali lawan mencoba memberikan fakta yang bertentangan dengan agenda politiknya, menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak hormat pada perdebatan politik yang mengusung fakta berbasis informasi.

*****

Dalam populisme, stereotip kerap menggantikan fakta. Alasan dan penjelasan yang remeh menjadi jawaban atas rumitnya permasalahan yang terjadi. Dan prinsip sebab-akibat sering tidak diindahkan (Dahlgren dan Alvares, 2016). Bahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Kenapa aku menderita? Kenapa kami diserang wabah? Kenapa terjadi gempa bumi? ... [anda pasti tahu kan jawaban mereka]


www.funnyordie.com

Atau dalam bentuk paling absurdnya, saat populis memanfaatkan kecamuk ekonomi seseorang untuk melancarkan agenda politiknya:
1. Anda kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan karena...
a. Anda gagal menyesuaikan diri dengan pasar global
b. Anda tidak memiliki riwayat pelatihan atau pendidikan yang cukup
c. Anda adalah bagian dari Golongan A, yang berarti anda bukan Golongan Kami!

Narasi-narasi absurd dari kalangan populis sangat sulit untuk dilawan. "Keadaan sangat genting, rakyat menderita, yang kita butuhkan sekarang adalah janji-janji surga: "Make Our Country Great Again!"


vox.com

Meski begitu, simplifikasi atau penyederhanaan yang mereka lakukan dengan pernyataan-pernyataan absurd tadi menunjukkan bahwa mereka telah terpisah dengan realita. Paling tidak yang mereka tunjukkan hanyalah simbol-simbol yang sulit digunakan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik.
Quote:

Populis memberi rakyat mereka alasan-alasan untuk menderita, untuk menciptakan dunia yang mereka yakini sendiri, untuk membuat mereka merasa seperti sedang bergerak maju. Populis bukanlah sistem yang berpijak pada fakta, solusi, dan aturan-aturan rumit duniawi. Melainkan fiksi interaktif, di mana seluruh rakyatnya bisa menjadi apa yang mereka yakini.

Saat narasi "kita vs mereka" berkembang menjadi makin radikal, maka narasi berakhir menjadi isu-isu konspirasi, di mana elit-elit yang menjadi lawan dari populis berperan sebagai dalang di baliknya.

*****

Good vs Evil


shutterstock.com

Studi menunjukkan bahwa orang-orang yang menyukai teori-teori konspirasi rata-rata cenderung percaya pada berita dan klaim-klaim palsu (Mocanu et al, 2015). Saat kesadaran kritis berubah menjadi cara berpikir konspirasional, mereka mulai menelan fakta-fakta alternatif, dan mereka tenggelam dalam pola pikir subjektif sang pembuat teori konspirasi. Ditambah lagi dengan ketidakpercayaan pada media mainstream, menjadi paket lengkap bagi penggemar teori konspirasi.

Ada 3 karakteristik pola pikir penggemar teori konspirasi (Barkun 2013):
1. Segala sesuatu tidak terjadi begitu saja.Pasti ada maksud tersembunyi di balik tiap kejadian.
2. Segala yang terjadi pasti saling terkait/berhubungan, termasuk berita dan fakta yang sedang menjadi sorotan. Kedua karakteristik awal ini kemudian membentuk narasi yang masuk akal (koheren). Meski akhirnya harus terpisah dari realita karena simplifikasi/penyederhanaan pola pikir mereka atas dunia, yang hanya berkisar tentang "good vs evil". Mereka menghubung-hubungkan/mengaitkan titik demi titik, antara fakta, rumor, dan berita palsu menjadi sebuah garis yang menyingkap sebuah rencana jahat.
3. Semua hanya pura-pura, atau tidak seperti kelihatannya. Dan official story (cerita resmi) yang beredar justru tidak benar. Seperti motto penggemar teori konspirasi: "Trust no one!".

Skeptisisme atau ketidakpercayaan yang bermetamorfosis dan mengalahkan kepercayaan pada institusi pengetahuan dapat meruntuhkan kedigdayaan ilmu pengetahuan, kebenaran, problem solving, dan pada akhirnya meruntuhkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dideligitimasi ketika debat-debat politik lebih mengandalkan emosi dan opini daripada fakta. Politisasi fakta.


pixabay.com

Ketika fakta dipolitisasi sains, jurnalisme, hukum, segalanya dikategorikan/dikotak-kotakkan sebagai kawan atau musuh. "Anda bersama kami atau anda melawan kami. Jika anda melawan kami maka semua yang anda lakukan adalah salah dan kami anggap sebagai berita bohong". Netralitas bukan opsi. Jika anda berusaha netral, anda akan jadi "sasaran tembak"

Walaupun objektif dan netral adalah hal yang ideal, realitas, atau yang dianggap nyata, diproduksi dan dikonstruksi oleh mereka yang memiliki kuasa dan wewenang untuk melakukannya. Konstruksi realitas yang dibentuk oleh aksi dan narasi penguasa adalah situasi yang paling genting. Dan ketika politisi menembak watchdog demi mempertahankan kedudukan dan jabatannya, maka ia telah mengingkari kontrak dengan demokrasi.

Bersambung ke [Rezim Digital]

*****

Sekian dari Ane Bre & Sis.
Kurang satu seri lagi nih gan, lanjut ya? emoticon-Embarrassment
Salam dan sampai jumpa di thread Cipt. Papa.T.Bob selanjutnya.
emoticon-Rate 5 Star emoticon-Toast
Diubah oleh Papa.T.Bob 28-06-2019 15:22
wanbillionAvatar border
wanbillion memberi reputasi
1
929
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan