inal74Avatar border
TS
inal74
Mengenang "Penculikan" Soekarno-Hatta Ke Rengasdengklok 16 Agustus 1945

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan karya perjuangan panjang anak bangsa melawan imperialisme. Di perjalanannya yang panjang itu, peranan pemuda ternyata begitu signifikan di dalamnya. Berjuang dengan strategi dan otak pun dilakoni oleh pemuda demi menuju Indonesia merdeka. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa andil pemuda Indonesia telah tercatat dengan tinta emas dalam kitab sejarah perjalanan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Salah satu bukti sejarah tersebut bisa dilihat pada detik-detik menjelang proklamasi, khususnya pada rentang waktu mulai dari 15 Agustus sampai dengan 17 Agustus 1945. Bagaimanakah aksi para aktivis pemuda ketika itu?

Pada tanggal 15 Agustus 1945, berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu diketahui oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daiganku) di Jalan Parapatan 10, Menteng, Jakarta melalui pemancar gelap. Hanya dalam hitungan menit, berita ini pun kemudian tersebar di lingkungan aktivis pemuda Jakarta kala itu. Mendengar berita besar begitu rupa, dengan mengatasnamakan Pemuda Jakarta, Sjahrir (35 tahun) mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar menentukan “sikap tegas” terhadap Jepang. Namun Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujuinya. Selanjutnya pada 15 Agustus 1945 jam 20.00 WIB, Sjahrir serta para pemuda di Jakarta melakukan rapat pertama di kawasan Pegangsaan Timur yang menghasilkan keputusan mengutus Wikana (31 tahun) dan beberapa orang pemuda lainnya menemui Soekarno dan Hatta untuk membujuk mereka agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Tepat tengah malam, Wikana kembali menghadap Sjahrir dan melaporkan bahwa bujukannya gagal. Pada tengah malam itu juga, Sjahrir serta para pemuda di Jakarta langsung melakukan rapat kedua di kawasan Cikini Raya. Rapat kedua ini menghasilkan keputusan untuk "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, dan menunjuk seorang aktivis muda bernama Sukarni (29 tahun) sebagai komandan aksi pemboyongan tersebut.

Pada jam 4 pagi tanggal 16 Agustus 1945, Sukarni berhasil berangkat ke Rengasdengklok bersama dengan Bung Karno, Ibu Fatmawati, Guntur yang masih berusia 9 bulan, dan Bung Hatta. Di Rengasdengklok, Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ditempatkan di sebuah rumah milik seorang petani Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong di Dusun Kalijaya Rengasdengklok Utara, Karawang. Namun sebelum Bung Karno dan Bung Hatta tiba di Rengasdengklok, Pasukan PETA di bawah pimpinan Cudanco Subeno berhasil melumpuhkan semua tentara Jepang yang ada di Rengasdengklok beserta kaki tangannya, menguasai tempat-tempat strategis, menurunkan bendera Jepang dan menaikkan Bendera Merah Putih. Di Rengasdengkloklah Bendera Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan di bumi Nusantara. Hal menarik lain yang terjadi di Rengasdengklok adalah perdebatan hangat nan elegan antara Bung Karno sebagai aktivis pergerakan senior dengan Sukarni sebagai aktivis pergerakan junior.

Rumah bersejarah milik Djiauw Kie Siong dan ahli warisnya

Ketika Bung Karno bertanya kepada Sukarni mengapa dirinya dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Sukarni menjawab bahwa mereka dibawa ke Rengasdengklok adalah untuk membicarakan tentang proklamasi kemerdekaan. Sukarni memandang bahwa Indonesia harus segera menyatakan kemerdekaannya karena Jepang sudah kalah perang dan menyerah kepada Sekutu. Tetapi Bung Karno justru berpendapat bahwa Jepang yang ada di Indonesia masih bersenjata lengkap, sehingga mereka kuatir terjadi perang besar-besaran antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia jika proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan segera. Kemudian Bung Karno memaparkan bahwa beliau dan Bung Hatta berencana akan mengadakan rapat mulai 17 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1945 di Gedung Cuo Sangi-In (sekarang Gedung Kementerian Luar Negeri), Pejambon. Lalu pada tanggal 23 Agustus 1945 hasil rapat akan dikirimkan melalui telegram ke Tokyo, dan baru pada tanggal 25 Agustus 1945 melakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Mendengar pemaparan demikian, Sukarni langsung mengajukan dua argumentasi bahwa para pemuda di Jakarta tidak sudi negara dan rakyat Indonesia diserahkan oleh Jepang kepada Sekutu dengan status negara dan rakyat jajahan, dan jika proklamasi kemerdekaan dilakukan pada tanggal 25 Agustus 1945, maka itu adalah kemerdekaan buatan Jepang bukan buatan rakyat Indonesia. Ditengah-tengah hangatnya perdebatan, datanglah ke Rengasdengklok aktivis muda lain bernama Yusuf Kunto (24 tahun) bersama dengan 2 orang aktivis senior: Mr. Achmad Soebardjo dan Sudiro. Kepada Sukarni, Soebardjo-Sudiro menyatakan bahwa mereka setuju dengan aksi pemuda dan sanggup meyakinkan Soekarno-Hatta untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan. Begitu bertemu dengan Soebardjo-Sudiro, Bung Karno dan Bung Hatta pun akhirnya berjanji kepada Sukarni akan segera melakukan proklamasi kemerdekaan.

Ketika akan kembali ke Jakarta, Cudanco Subeno berwasiat kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa Sukarni harus dilindungi, karena nyawa Sukarni sama berharganya dengan nyawa Soekarno dan Hatta. Sekembalinya ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 jam 22.00, Bung Karno, Bung Hatta, Soebardjo dan Sukarni tiba-tiba dijemput oleh seorang Jepang bernama Forada. Tugas Forada adalah membawa mereka ke rumah Laksamana Maeda untuk berunding tentang kemerdekaan Indonesia. Setibanya di rumah Laksamana Maeda, tampak di sana telah hadir pula B.M Diah (28 tahun), Sayuti Melik (35 tahun), dan 3 orang Jepang: Nishi Shima, Saito, dan Mijoshi. Hasil dari perundingan ini adalah bahwa aktivis pergerakan senior dan junior sepakat untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 3.00 dini hari, diselenggarakanlah rapat untuk membahas tentang teks proklamasi dan penandatanganannya. Rapat ini dihadiri oleh 26 peserta yang merupakan perpaduan antara aktivis senior-junior, yaitu: Mr. Achmad Soebardjo, M. Soetardjo, Tengku Moh. Hassan, Mr. Latuharhary, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Dr. Moh. Amir, Dr. Soepomo, G.S.S.J Ratulangi, I Gusti Ketut Pudja, Oto Iskandar Dinata, Ande Sultan Daeng Radja, Mr. A. Abbas, Andi Pangeran, Supeno (29 tahun), Gunadi, Samaun Bakri (36 tahun), Sayuti Melik, B.M Diah, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh (29 tahun), Sukarni, Dr. Samsi, Dr. Buntaran, Mr. Iwa Kusumasumantri, Kamidhan, dan A.R Rivai. Dalam hal penandatanganan, awalnya beberapa peserta rapat mengusulkan agar semua peserta rapat menandatangani teks proklamasi tersebut. Namun akhirnya usul dari Sukarnilah yang disetujui, yaitu: penandatangan teks proklamasi hanya oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Satu jam kemudian, rapat pun menghasilkan teks proklamasi yang disusun oleh Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan Sukarni dengan bertandatangankan Soekarno-Hatta. Kemudian pagi harinya tepat pukul 10.00, Bung Karno membacakan teks proklamasi tersebut di depan umum.

Hikmah tersembunyi (blessing in disguised) dari aksi pemuda "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok adalah tidak dilakukannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1945. Bila Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 25 Agustus 1945, maka kemerdekaan Indonesia adalah pemberian dari Jepang. Kemudian Sekutu akan beranggapan bahwa Indonesia merupakan warisan dari negara yang kalah perang, sehingga bangsa Indonesia hanya boleh merdeka dari penjajahan Jepang namun harus tetap tunduk sebagai jajahan kepada Sekutu. Syukurlah hal ini tidak terjadi. Bravo aktivis pemuda 1945! Merdeka Indonesiaku!


Sumber:
Majalah SABILI, Sejarah Emas Muslim Indonesia, No.9 Th.X, 2003
H.J. De Graaf, "The Indonesian Declaration of Independence 17 Agustus 1945", Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania, No.4, Leiden, October 1959. 
Diubah oleh inal74 16-08-2019 10:07
0
1.5K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan