inal74Avatar border
TS
inal74
ISRAEL: Negara Paling Ditakuti Amerika Serikat

Dalam penempatan para penguasa saat ini, Kita akan menciptakan hantu yang akan disebut Administrasi Pemerintahan-Super. Tangannya akan menjangkau ke segala arah bagaikan perusak dan organisasinya akan berukuran luar biasa besarnya sehingga tidak bisa gagal untuk menaklukkan semua bangsa di dunia, (Protokol Zionis Nomor 5).


Seperti telah diketahui bersama, Israel adalah adalah negara yang begitu dihormati oleh sang super powerAmerika Serikat. Paman Sam akan melakukan apapun demi Zionis-Israel, meskipun harus mengorbankan kepentingan nasional Amerika Serikat sekalipun. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Yahudi Amerika mendominasi sektor perekonomian di dalam negeri Paman Sam. Karena menguasai mayoritas hajat hidup rakyat Amerika, dominasi mereka otomatis mampu melebar ke berbagai bidang lainnya. Saat ini, kepentingan nasional Israel kepada Amerika Serikat dikawal dan diperjuangan oleh lebih dari 200 organisasi Yahudi Amerika.  Makanya, wajar jika Israel mampu mengintervensi kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahan Amerika Serikat demi kepentingan nasional Israel. Bisakah ini dibuktikan?

Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat membayar 90 persen pembiayaan dan memberikan setengah kemajuan teknologinya untuk proyek pesawat terbang Israel bernama Lavi. Sebagai balasannya, Paman Sam meminta Israel untuk tidak menjual Lavi sebagai produk saingan pesawat Amerika Serikat ke luar Israel. Namun pada praktiknya, Suratkabar Washington Post edisi 6 Agustus 1986 memberitakan bahwa Israel telah menyebarkan brosur yang menginformasikan tentang proyeksi penjualan Lavi sebanyak 407 unit ke luar negeri. Pada tahun 1983, Mossad (badan intelijen Israel) berhasil memperoleh informasi tentang sebuah mobil truk Mercedes besar berisi bom yang akan masuk ke Beirut. Setelah informasi ini dilaporkan ke Tel Aviv, Admony (kepala Mossad kala itu) menolak untuk memberitahukannya kepada Amerika Serikat. Mossad hanya memberikan laporan umum resmi bahwa Amerika Serikat hendaknya berhati-hati karena kemungkinan akan menjadi target sebuah operasi. Sementara itu, semua instansi Israel mendapatkan laporan detil dan lengkap dari Mossad tentang truk Mercedes berisi bom tersebut. Pada tanggal 23 Oktober 1983, tampak ada sebuah truk Mercedes besar mendekati bandara udara Beirut, dan kemudian melaju dengan santai melewati pos jaga tentara Libanon. Meskipun ketika itu para tentara Israel yang berjaga-jaga di sekitar markasnya melihat dengan jelas truk itu, mereka diam saja, tidak bereaksi apa-apa. Tiba-tiba, truk tersebut melaju cepat mengarah ke sebuah bangunan yang dijadikan markas Batalion Marinir ke-8 Amerika Serikat di Libanon, yaitu Aviation Safety Building. Begitu berhasil masuk dengan paksa ke wilayah bangunan itu, truk pun meledak. Ledakan bom mobil tersebut meluluhlantakkan bangunan dan menewaskan 58 prajurit marinir Amerika Serikat. Seandainya Israel memberikan laporan tentang truk itu secara detil dan lengkap kepada Amerika Serikat, 58 prajurit marinir itu mungkin tidak akan mati sia-sia di Libanon.

Pada tahun 1985, Presiden Ronald Reagen menyetujui untuk menjual persenjataan kepada Yordania senilai $1,5 Milyar. Begitu mengetahui hal ini, sang preman Capitol Hill (gedung DPR-MPR-nya Amerika Serikat) bernama lobi Yahudi alias Zionis-Israel langsung bergerak. Hasilnya, 75 senator menandatangi sebuah resolusi yang menentang keputusan penjualan senjata Amerika Serikat kepada Yordania, sehingga Reagen membatalkan kontrak jual-beli senjata tersebut. Gagalnya jual-beli senjata ini menyebabkan hilangnya ribuan peluang kerja di dalam negeri Amerika Serikat, dan memburuknya hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan Yordania. Selanjutnya, Majalah terbitan London bernama Economist pernah memperkirakan bahwa sepanjang tahun 1980, Amerika Serikat merugi sebesar $20 milyar gara-gara lobi Zionis Israel.

Selama bertahun-tahun, Israel telah melakukan kerjasama militer dan pertahanan dengan Amerika Serikat. Di atas kertas, seharusnya kerjasama ini saling menguntungkan. Namun dalam kenyataannya, Israel berlaku tidak adil kepada Amerika Serikat. Seorang bekas pejabat Departemen Pertahanan Amerika Serikat menjelaskan: Israel tidak mengijinkan para personel kita, entah mereka berbicara Ibrani atau tidak, untuk bekerja di kawasan-kawasan militer yang sensitif di Israel. Banyak daerah yang mutlak terlarang. Dan mereka bersikap sangat ketat mengenai hal ini. Para personel kita tidak boleh hadir bahkan sejak pertama kalinya pasokan persenjataan Amerika diberikan. Para personel AS dalam program-program pertukaran di Israel biasanya diberi sebuah meja di sebuah kantor di ruang bawah tanah, dan dijejali tugas yang cukup untuk membuat mereka tetap sibuk dan mencegah mereka jangan sampai terlalu frustasi. Lalu, ada satu lagi peristiwa yang menggambarkan perlakuan zalim Israel kepada Amerika Serikat. Peristiwa ini merupakan fakta terburuk dalam perjalanan sejarah Angkatan Laut Amerika Serikat. Fakta tersebut adalah serangan Israel terhadap kapal laut USS Liberty.

Hari memalukan sekaligus memilukan tersebut bertanggal 8 Juni 1967. Kala itu, USS Liberty sedang berlayar ke arah timur di kawasan Laut Tengah (Mediterania), lalu menelusuri garis pantai ke arah barat, sekitar 25 Km dekat Semenanjung Sinai. Angin sepoi-sepoi bertiup sepanjang hari, sehingga membuat bendera Amerika Serikat terlihat jelas berkibar. Sebagai kapal penghimpun data intelejen, USS Liberty tidak dilengkapi dengan peralatan berat tempur. Kapal ini hanya bersenjatakan beberapa senjata mesin ringan sebagai pertahanan diri. Pada jam 6 pagi, awak USS Liberty mendeteksi adanya sebuah pesawat yang terbang perlahan mengitari kapal dan kemudian pergi. Pesawat terbang itu ternyata Noratlas, milik Israel. Selang satu jam, Noratlas kembali terbang mendekati Liberty. Kali ini, Noratlas melayang tidak lebih dari 70 meter di atas Liberty dan jelas sekali terlihat berlambangkan Bintang Daud (bendera Israel). Para awak Liberty dan pilot Noratlas saling melambaikan tangan. Noratlas terbang bolak-balik mendekati USS Liberty setiap beberapa menit hingga jam 1 siang. Dan pada jam 2 siang, petaka itu pun terjadi. Tiga buah jet tempur Mirage langsung menembakkan roket ke arah USS Liberty. Roket-roket itu menghancurkan senapan-senapan dan antena kapal. Selain roket, 3 buah Mirage tersebut dilengkapi dengan Mystere (alat untuk menjatuhkan bom Napalm) dan berulangkali memberondong Liberty selama 20 menit. USS Liberty menderita 821 lubang di seluruh tubuh dan deknya. Seratus lubang di antaranya berukuran roket. Begitu mirage-mirage itu pergi, penembakan tidak lantas berhenti. Tiga buah kapal torpedo mengambil alih penyerangan dengan melontarkan 5 buah torpedo. Salah satu torpedo itu berhasil merobek lambung kapal seluas hampir 15 meter dan menewaskan 25 awak. Pada jam 3 sore, peluru terakhir ditembakkan Israel sehingga USS Liberty benar-benar rusak berat: tak bermesin, tanpa kekuatan, dan tiada kendali. Meskipun kapal telah rusak berat dan menderita luka parah di pahanya, McConagle, sang kapten USS Liberty, ternyata mampu menyelamatkan nyawanya dengan bersembunyi di anjungan. Total waktu penyerangan itu adalah 75 menit. Lantas, bagaimana reaksi Washington terhadap Tel Aviv?

USS LIBERTY setelah dibombardir Israel selama 75 menit dan dibiarkan menjadi “rongsokan” terapung selama sehari penuh di lautan, barulah Amerika Serikat mengirimkan armada bantuan


Pemerintahan di Washington sama sekali tidak mengeluarkan perintah kepada kapal induk lainnya atau pesawat manapun untuk menyelamatkan USS Liberty. Padahal, posisi USS Saratoga (salah satu kapal induk tempur Amerika yang mengangkut skuadron jet tempur di atas deknya) hanya berjarak 30 menit dari USS Liberty. Justru setelah seharian penuh terombang-ambing di lautan lepas, barulah dua kapal perusak Amerika Serikat datang menghampiri USS Liberty untuk membantu dan melakukan perbaikan.
Sekitar satu jam setelah kabar perihal insiden USS Liberty terdengar, pemerintah Israel segera menghubungi atase Amerika Serikat di Tel Aviv dan berdalih bahwa pasukannya “salah serang” karena “menyangka USS Liberty sebagai sebuah kapal milik Mesir”. Lyndon B. Johnson, presiden Amerika Serikat kala itu, menerima begitu saja permintaan maaf lisan tersebut. Sementara itu di Capitol Hill, salah satu organisasi lobi zionis-israel bernama AIPAC (America-Israel Public Affair Committee)bergerak cepat lewat para anggota kongres untuk “mengamankan” insiden USS Liberty tersebut, supaya rakyat Amerika tidak mengetahui peristiwa ini. Hasilnya, Presiden Lyndon B. Johnson bersedia memimpin langsung upaya untuk “merahasiakan” insiden paling memalukan ini. Setelah 16 tahun Lyndon B. Johnson lengser dari kepresidenan, rakyat Amerika kala itu pada umumnya tidak mengetahui peristiwa mengenaskan ini. Selanjutnya, Smith Hempstone, koresponden Washington Star, memberitakan dari Tel Aviv: Dalam sepekan setelah Israel menyerang Liberty, tak satupun jenis orang Israel yang sering dijumpai oleh koresponden ini setiap hari – supir taksi, petugas jaga, bartender, tentara – yang sedih mengungkapkan penyesalan atas kematian orang-orang Amerika ini.

Film dokumenter tentang USS Liberty


Mulai dari tahun 1949 sampai dengan 1991, pemerintah Amerika Serikat telah memberikan pada Israel $ 53 milyar bantuan keuangan. Itu setara dengan 13 persen dari semua bantuan ekonomi dan militer Amerika Serikat yang diberikan ke seluruh dunia dalam periode tersebut. Mengingat Israel adalah suatu negara dengan penduduk sedikit (sekitar 7 juta jiwa) angka-angka ini jauh melampaui proporsi bagi bantuan Amerika Serikat untuk negeri-negeri lain, atau bahkan untuk wilayah-wilayah lain di dunia. Kemudian pada tahun 1992, Senator Robert Byrd dari Virginia Barat pernah berkata di dalam sebuah sidang Senat: Kita telah mengucurkan bantuan luar negeri pada Israel selama beberapa dasawarsa dengan jumlah dan syarat-syarat yang belum pernah diberikan kepada satu negeri lain manapun di dunia ini. Dan kita adalah satu-satunya negara yang telah melakukan hal itu. Sekutu-sekutu Eropa kita, sebagai perbandingan, hampir tidak memberikan apa-apa. Melihat begitu melimpahnya Amerika Serikat memberikan bantuan luar negerinya kepada Israel, seharusnya Paman Sam mendapatkan keuntungan finansial yang besar. Salah satunya dengan menerapkan Buy American Act  kepada Israel. Buy American Actadalah undang-undang yang mewajibkan pada semua negara asing penerima dana bantuan militer Amerika Serikat untuk membelanjakan paling sedikit 80 persen dana bantuan tersebut di dalam negeri Amerika sendiri. Namun pada tahun 1990-an, sebagai akibat lobi zionis-israel, Amerika Serikat tidak memberlakukan Buy American Act kepada Israel, setiap kali Israel menerima dana bantuan militer.

Pada pemilihan tahun 1990, kelompok-kelompok kepentingan Yahudi Amerika menyumbangkan jutaan dolar uangnya kepada para kader partai yang menjadi calon anggota Kongres dan Senat. Semua penerima sumbangan itu adalah para kader partai yang dalam salah satu program kampanyenya mendukung kuat Israel. Mereka diantaranya adalah Carl Levin (kader Partai Demokrat dari Michigan) $563.073; Paul Simon (kader Partai Demokrat dari Illinois) $449.417; Tom Harkin (kader Partai Demokrat dari Iowa) $344.650; Clairborne Pell (kader Partai Demokrat dari Rhode Island) $225.811, Mitch McConnell (kader Partai Republik dari Kentucky) $213.900, Mel Levine (kader Partai Demokrat dari California) $89.779; Sydney R. Yates (kader Partai Demokrat dari Illinois) $72.250; David R. Obey (kader Partai Demokrat dari Wisconsin) $57.949; Ron Wyden (kader Partai Demokrat dari Oregon) $53.340; dan Wayne Owens (kader Partai Demokrat dari Utah) $52.450. Hal ini sesuai dengan pendapat Edward Tivnan: Beberapa politisi Amerika yang ambisius tidak dapat memimpikan jabatan yang lebih tinggi tanpa mengharapkan uang Yahudi.


Dalam sebuah pertemuan yang digelar oleh AIPAC di Washington DC pada 13 Mei 2002, semua peserta yang menghadiri pertemuan tersebut menyanyikan Hatikva (lagu kebangsaan Israel), dan tidak menyanyikan Star Spangled Banner (lagu kebangsaan Amerika Serikat). Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh AIPAC di dalam Capitol Hill dan Gedung Putih.

Selain itu, Israel pun berhasil memaksa Amerika Serikat agar menekan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencabut Resolusi PBB No. 3379-D/10/11/75 tentang Zionisme adalah Gerakan Rasisme. Hasilnya, resolusi yang telah bertahan selama 15 tahun (1976-1991) ini pun dicabut. Kemudian di tahun 2004, Israel melalui lobi Yahudi Amerika-nya berhasil memaksa Paman Sam untuk mengesahkan Global Anti-Semitism Awareness Act (undang-undang yang mewajibkan Amerika Serikat untuk melindungi warga Yahudi di seluruh dunia) yang kemudian direvisi pada tahun 2016 menjadi Anti-Semitism Awareness Act (undang-undang untuk melindungi warga Yahudi di wilayah Amerika Serikat). Makanya, wajar jika pada tahun 2016 Amerika Serikat memberikan bantuan kepada Israel lewat program Foreign Military Financing sebesar $38 juta yang akan berakhir pada tahun 2026 nanti. Jadi sampai dengan sekarang, di mata orang-orang Yahudi, Amerika Serikat itu adalah negara yang takluk, tunduk, dan takut kepada Israel.

Setelah mengetahui sekelumit fakta tentang seramnya pengaruh Israel terhadap Amerika Serikat begini rupa, maka ramalan Benjamin Franklin (salah seorang Bapak Bangsa Amerika Serikat) pada tahun 1787 di Philadelphia telah menjadi kenyataan: Saya sepenuhnya setuju dengan Jendral Washington, bahwa kita harus menyelamatkan bangsa yang masih muda ini dari pengaruh buruk dan penghalang. Malapetaka itu, saudara-saudara, adalah Yahudi. Jika kalian tidak mengeluarkan mereka dari Amerika Serikat, dengan kekuatan undang-undang, dalam waktu kurang dari 100 tahun, mereka akan berkerumun di sini dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga mereka akan menguasai dan melahap negeri dan mengubah bentuk pemerintahan yang telah kita perjuangkan dengan pengorbanan darah, nyawa, harta dan kebebasan kita. Jika Yahudi tidak diusir dalam waktu 200 tahun, anak cucu kita akan bekerja di ladang-ladang untuk memberi makan mereka, sementara mereka diam di gedung-gedung pembukuan menunggu keuntungan.


Sumber:
Paul Findley, MEREKA BERANI BICARA: Menggugat Dominasi Lobi Yahudi, Penerjemah: Hamid Basyaib, Penerbit Mizan, Bandung, 1990.

Paul Findley, DIPLOMASI MUNAFIK ALA YAHUDI: Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel, Penerjemah: Rahmani Astuti, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.

William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, Penerjemah: Mustholah Maufur, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004.

Diubah oleh inal74 09-11-2019 19:27
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan sebelahblog memberi reputasi
2
2.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan