Hampir setiap demo atau unjuk rasa terjadi, selalu saja berbuntut kerusuhan. Gerakan yang mengatasnamakan membela moral justru mengabaikan peratura moral tertulis dan tidak, yang harus dipatuhi. Membela kepentingan rakyat, katanya, justru malah menghambat kepentingan masyarakat.
Korban berjatuhan mahasiswa mahasiswi cuci tangan. Pihak eksekutif mahasiswa tinggal bilang, perusuh bukan kami. Mereka adalah penunggang. Aparat pun jadi korban. Mereka yang bertugas menjaga keamanan dipersalahkan atas tindakan kekerasan. Padahal para perusuh dan pelaku kekerasan memang sudah bertindak melampaui batas dan menyesalkan.
Mahasiswa mahasiswi menularkan virus kerusuhan. Tapi nggak semua mahasiswa dan mahasiswi tentunya. Sebut saja mereka yang menjadi pelopor kerusuhan sebagai oknum. Namun yang perlu kita ingat adalah, kita lupa membaca, kita sudah terlalu mudah percaya kepada katanya.
Katanya si A, katanya si B, Katanya Netizen, Katanya warganet, katanya meme viral, katanya potongan video, dan jutaan katanya lainnya. Kini katanya menjadi landasan utama banyak orang untuk menuntut sesuatu. Terutama menuntut keadilan tanpa memperhatikan apakah diri kita sudah berlaku adil dalam mengeluarkan tuntutan.
Hal yang miris ini sudah menjadi tren kebiasaan kita;
Kita menuntut ini, itu dan lain sebagainya atas nama membela keadilan, tapi lupa adil dengan yang lain.
Kita menuntut dan membela kepentingan rakyat banyak, namun lupa, jika jalanan umum ditutup, kepentingan rakyat banyak pula yang dikorbankan.
Demonstrasi atas nama gerakan moral, namun hasil yang ditampilkan, selalu berbuntut kerusuhan. Aturan yang ada, nilai nilai moral yang diwariskan orang tua serta guru guru kita terabaikan. Karena peserta demo kerasukan setan.
Pribadi yang mau dan mampu menaati peraturan kini sangat langka. Suara kritis yang mengkritisi demonstrasi dianggap sebagai pribadi yang oportunis. Orang tua yang bicara kebenaran untuk mengarahkan kita sebagai anaknya kejalan benar, dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan. Tengok saja kolom komentar pada Video ini.
Komentar negatif bahkan menjurus ke penghinaan bertaburan. Padahal, seharusnya apa yang disampaikan oleh orang tua kita ini, mestinya kita serap hal positif yang berjuta makna kebaikan untuk kita semua. Kesimpulan yang ada, kita darurat membaca. Negeri kita darurat membaca. Semua kini, hanya ikut ramai, ikut ikutan dan tak lupa atas nama perjuangan membela kebenaran. Virus aksi tanpa memahami isi, kini sudah menebar kesegala penjuru menghiasi.
Coba kita tanyakan kepada yang menolak ini, itu dan segala sesuatunya. Sudahkah memahami sepenuhnya tentang isi apa yang di tolak. Tentang baik buruknya yang di perjuangkan. Bagi kita saat ini dan jangan lupa bagi penerus atau generasi setelah kita nanti. Cobalah sedikit saja kita asah; kemauan membaca, kemauan menelaah, kemauan mempertimbangkan, kemauan bertanggung jawab dan lainnya. Barulah boleh kita meluapkan nafsu beraksi.
Nafsu aksi, sudah berapi api. Apa isi, sudah tak banyak yang peduli. Orasi dianggap kitab suci. Sementara kitab suci dianggap fiksi. Sungguh miris, namun ini terjadi. Sampai kapankah kita akan begini.
Muda mudi generasi terkini. Yang sedang menempuh pendidikan, semoga nanti lulus tak
bingungmencari pekerjaan. Itu yang kita harapkan. Mahasiswa dan mahasiswi adalah
harapan kita semua untuk kemajuan bangsa. Mereka adik atau anak anak kita, semoga banyak diajak kepada kemauan untuk sadar diri. Bukan cuma dibanggakan karena aksi demonstrasi.
Tulisan ini tentunya akan banyak yang tidak suka. Karena yang jadi trendi sekarang adalah
demonstrasi. Yang mengajak mengutamakan diskusi untuk memahami isi, daripada
demonstrasi, sudah pasti banyak yang benci.
Tapi biarlah, ts menjadi orang yang sedikit. Orang yang akan dibenci penggemar demonstrasi. Namun, cobalah sedikit saja kita sadar diri dan mencoba untuk berusaha saling memahami.