Dear ananda, sosok wanita paling kucintai, melebihi cintaku kepada mojang yang tersayang. Aku sedikit merindukan saat-saat kita bercengkrama di sungai tempat kau mencari rezeki untuk dibagi-bagikan kemudian.

Taukah kau adiku tersayang, beberapa hari ini kau banyak menguras waktu, airmata dan juga membuat perut ini semakin kecil saja. Padahal jikalau tubuhku sekurus dirimu, maka sudah dipastikan wajah ini tidak lagi mempesona. Sebab yang paling utama dalam penampilan adalah wajah.

Tapi bukan itu masalahnya, dik. Suatu hari nanti, jika kau sehat dan kembali menulis. Aku ingin kau menjadi pribadi yang melihat cinta hanya dari sudut kenyataan saja. Bukan sebuah fantasi bahwa sebuah cinta itu bisa disederhanakan sesuai dengan rangkaian cinta yang membuatmu semakin tenggelam tanpa pegangan pasti.

Dik, ketulusan itu memang ada. Namun kadarnya sudah berkurang pada masa ini. Tidak ada yang namanya kepercayaan yang bisa disederhanakan. Semua butuh ruang bijak untuk berkomunikasi secara wajar, sewajar-wajarnya.

Hidup ini keras, dik. Untukmu terutama, yang selalu berjuang untuk berdamai dengan pemikiran yang ada di pikiranmu. Apalagi infeksi dalam otak yang telah mengobrak-abrik kehidupan yang seharusnya kau jalani dengan normal.

Mungkin jika seandainya aku menjadi dirimu, aku tidak akan sanggup menjalaninya. Namun kupastikan saat hidup dan bernapas, kusederhanakan hidup dengan kepuasan dunia di atas kesenangan yang disepakati oleh hati. Yaitu dengan hanya melihat cinta kepada isi di dalam sakunya saja.

Sebab nanti jika kau ditinggalkanpun tidak akan merasakan sakit. Karena kau memulai cinta dengan kesepakatan isi dalam kantong saja. Memainkan peranan hati tidaklah semudah berkata cinta, dik. Saat terjatuh nantinya kau akan begitu sesak dan sakit. Bukan mengajari caranya menjadi seorang materialistis dik. Namun bukankah hidup itu membutuhkan uang juga, dik?

Jadi pahamilah bahasa kenyataannya, dik. Sudah tidak ada lagi yang namanya cinta yang bisa disederhanakan sesuai yang kau inginkan.

Tapi entahlah dengan pemikiran yang paling luar biasa dalam hal masalah keuangan. Di points ini aku memang mengacungkan jempol. Bayangkan saja pada setiap momen gaji turun. Kau hanya mengambil sejuta untuk tabungan saja. Sisanya kau bagi-bagikan kepada orang-orang yang bahkan bukan saudaramu. Kecintaanmu kepada pada komplotan anak-anak jalanan menjadi aktivitas candu pembagian gaji setiap bulan.

Sedangkan untuk hal-hal pribadi aku juga tidak tahu darimana kau mendapatkannya. Pernah satu kali aku merasa begitu ingin mengetahui darimana kau mendapatkannya. Ternyata dari hasil menulis dan menjual karya-karya seni yang ada didalam otakmu.

Taukah kau, Dik! Jum'at kemarin lukisan itu terjual 7 juta. Aku berdecak kagum, apalagi lukisan itu hanya menggambarkan seseorang pria dengan kerumitan otak disekelilingnya saja. Dan aku yakin ide melukis itu berasal dari penyakit yang kau derita, bukan? Sedangkan tentang siapa sosok lelaki itu hanya kau saja yang mengetahuinya.

Dik, sadarlah sayang. Kami mencintaimu lebih dari kecintaan kami kepada tubuh yang merapuh akibat kurangnya istirahat. Demi dan hanya untuk mencari segala perlengkapan untuk kesembuhanmu. Memang kuakui, darahmu itu pantas disebut sebagai darah biru. Karena selain mahal juga tidak mudah ditemukan walau kami sudah lama mencarinya.

Tapi pastinya tabunganmu habis terkuras kemudian, Dik. Namun jawabanmu hanya membuat aku semakin muak saja.



Dik, mencintai anak-anak panti itu diperbolehkan saja. Namun jika membuat perutmu kelaparan, atau membuat jantungmu tak bernapas, apakah itu bisa dinamakan kebaikan? Aku yakin Tuhan tidak pernah mengajarkan begitu bukan? Ya walau aku tidak mengetahui ajaran agamamu, namun pastinya tidak tersurat dan tersirat akan hal itu bukan?

Dik, bangunlah dan kembali melihat dunia. Karena mataku sudah tidak lagi sanggup melihat kekosongan dalam hatimu. Sadarlah bahwa dunia masih indah dan mereka sangat menantikan kehadiranmu.

With love


Aulia BMC