kopinisasi
TS
kopinisasi
Panjang Umur Kasih Sayang


Spoiler for Trailer Film Pendek 'Panjang Umur Kasih Sayang':


Quote:


Part I

Lagi-lagi aku sendiri, entah teman-temanku yang menjauhiku atau aku yang menjauhi mereka, yang jelas aku lebih nyaman seperti ini, sendirian. Ditempat ini, kafe favorit yang menyediakan  kopi sesuai seleraku, kental dan tidak terlalu manis, kopi tubruk yang cocok dengan lidah sederhanaku ketimbang kopi ala kafe kelas menengah keatas yang mahal.

Sejak tadi aku duduk disini masih saja seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Jemariku bergerak semaunya diatas papan ketik laptop sebab otak tak menemukan ide barang sedikitpun. Sampai seorang pelayan datang menghampiriku.


“Kopi hitam pekat dengan sedikit gula?” kata pelayan itu sembari meletakkannya diatas meja.


Aku mengangguk tanpa menolehnya. “Iya, makasih.”


“Sendirian aja nih?” ia masih berdiri ditempatnya sambil mencoba melongok ke laptopku.


“Iya.” Kali ini aku menoleh kepadanya sambil tersenyum sekenanya.


“Di hari Valentine begini?” pelayan itu pasti mencoba ramah kepadaku, aku mengerti. Tapi sepertinya terlalu banyak bicara meskipun ia tahu aku adalah pelanggan tetap disini.


“Memangnya kenapa? Lagipula aku nggak ngerayain Valentine.” jawabku mengkerutkan dahi dan tetap fokus ke layar laptop tanpa menolehnya.


Pelayan sialan itu dengan santainya meninggalkanku. “Buruan cari pacar mas Sandy, nanti keburu jadi bujang lapuk lho.” Kali ini aku benar-benar kesal dengan ucapan terakhirnya. Aku melihatnya berlalu masuk kebelakang meja barista sambil menahan jengkel.


Pelayan itu namanya Rey, tempo hari ia sempat cerita padaku bahwa ia baru saja jadian dengan wanita pujaan hatinya, Sari. Dan aku menduga ia sedang mengejekku kali ini. Kami sebenarnya sudah cukup akrab meskipun tidak dekat karena aku sering berkunjung kesini. Terkadang aku juga minta temani dia semeja denganku untuk sekedar mengobrol dan minum kopi ketika sedang sepi pengunjung, bahkan sampai aku temani dia berkemas menutup kafe, aku tidak membantunya, aku duduk dimejaku ia yang beres-beres. Jadi ketika tadi ia meledekku seperti itu cukup wajar, tapi tidak kepada pengunjung yang lain.


Aku menyandarkan punggungku pada kursi dan menghela napas, masih aku pandangi layar laptopku. Aku memiliki firasat mungkin karena aku belum minum kopi jadi otakku terasa buntu, sebenarnya hanya perasaanku saja. Aku raih cangkir kopi yang tadi di antar Rey keparat itu, dengan penuh gairah seperti vampir melihat darah aku meminumnya dan, sial! Lidahku melepuh kepanasan sebab aku lupa meniupnya dahulu.


Perhatianku terdistraksi oleh notifikasi dari ponselku, salah seorang temanku Jupri, menandaiku disebuah komentar pada unggahan akun instagram yang sering membagikan konten lucu.


“wkwkwkwk mirip temenku Sandy, nama  panjangnya Sandy-rian, jomblo akutt.” Terangnya di kolom komentar pada video yang memperlihatkan seorang pria yang ditinggal seligkuh kekasihnya dihari valentine.


Jupri sukses membuat hariku bertambah menyebalkan, aku tidak menanggapi komentarnya apalagi membalas. Ku alihkan ponselku ke mode pesawat dan meletakkannya diatas meja, aku kembali ke microsoft wordyang masih saja putih bersih tanpa noda seperti iklan deterjen di layar laptopku. aku meletakkan sikuku diatas meja sedang telapak tanganku menggenggam separuh mukaku sendiri, aku memejam mata, menggali lebih dalam kepada setiap kemungkinan, perasaan dan sekitarku. Seperti dukun yang mendapat nomor togel ditengah kuburan tiba-tiba aku tersenyum, aku tahu apa yang harus aku tulis.


Heading 1: Heavy ValenTime


Aku tidak pernah merasa sangat bersemangat seperti ini sebelumnya. Benar-benar tahu apa yang akan aku tulis, dan ini sangat menyenangkan. Jemariku kini lebih sinkron dangan isi kepala tidak seperti sebelumnya.


Pertama akan aku perkenalkan dahulu seorang gadis bernama Valencia rolen, agak cuek, suka memakai jeans dan sepatu docmart. Dia adalah anak semata wayang dari seorang pengusaha waralaba, meskipun hidup serba berkecukupan, ia bertolak belakang dari gaya hidup mewah, terlebih ayahnya yang suka bermain perempuan menimbulkan gejolak hubungan dengan ibunya, ia sering mendapati kedua orang tuanya bertengkar mengenai kebiasaan buruk ayahnya itu. Dia pun jarang mendapatkan perhatian dari orang tuanya sejak itu.


Di suatu pagi, seperti biasa ayah dan ibunya cekcok, berdebat tak ada yang mau mengalah membahas dari mana saja semalam Robert Rolen, ayahanda Valencia di ruang tengah hingga terdengar sampai ke kamar Valen. Suara berisik pertengkaran itu sampai membuat Valen terbangun, ia kesal, menarik selimutnya sampai keatas kepala agar tidak terdengar, tapi ia salah, suara orang tuanya masih tetap kedengaran.


Valen bangkit dari kasurnya duduk bersandar pada bantalan ranjang sambil mengacak-acak rambutnya sendiri penuh emosi. Membuang pandangannya ke arah jendela yang tertutup gorden putih, cahaya matahari begitu terang menembus masuk dari celah-celah gorden itu. Valen masih terdiam memandangi jendela dengan kesadaran yang masih mengambang, perlahan menstabilkan matanya yang dipaksa terbuka akibat terganggu oleh kedua orangtuanya. Pertengakaran itu sepertinya mulai mereda meskipun sapatah dua patah kata masih terdengar saling bersautan, tidak setegang tadi.


Terkadang menjadi perempuan membuat valencia muak, iya melirik kalender diatas meja disebelah tempat tidurnya, tanggal 5 jadwal datang bulannya tiba. Ia beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


Valencia tidak seperti gadis pada umumnya, ia cuek untuk masalah bersolek apalagi terpaku didepan cermin untuk waktu yang lama. Bulu mata, pensil alis dan gincu serta kerabatnya adalah benda yang dihindarinya. Nyaris stelan yang ia kenakan selalu sama dan bisa dibilang itu-itu saja, tshirt, hoodie, celana jeans dengan dengkul yang bolong dan sepatu boot kesayangannya, dr Martens.


Ayah dan ibunya duduk disofa yang sama, namun berada dikedua ujungnya dan menyisakan ruang yang luas ditengahnya, tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulut mereka masing-masing saat Valen keluar dari kamar. Valen tidak menegur mereka dan bergegas menuju pintu depan.


“Mau kemana kamu?” tiba-tiba suara sang ibu menegur.


Valen tidak menoleh dan tetap melanjutkan langkahnya. “Mau beli pembalut.” Tegasnya.


“Nggak sarapan dulu Val?”


“Nggak ma, belum laper.” Valen setengah berteriak menjawab sang ibu karena sudah berada diluar pintu.


Ia menghela napas lalu memasang headphonedikepalanya, berjalan keluar pagar, memasukkan kedua tangannya dimasing-masing lubang kantong hoodienya. Terus berjalan melewati trotoar, menikmati musik kesukaannya, sesekali membetulkan backpack canvas yang ia sandang sebelah saja, menyapu pandangannya kesegala penjuru komplek perumahan tempat ia tinggal.


Dirumah ia memiliki mobil dan motor yang bisa ia pakai kapan saja, tapi Valen lebih suka berjalan kaki. Jika ada keperluan mendadak saja baru ia menggunakan ojek onlineagar cepat sampai, dan taksi online jika hujan, di era serba online ini segalanya menjadi mudah. Mungkin terdengar bodoh menggunakan transportasi online jika dirumah memiliki kendaraan yang siap pakai. Tapi kendaraan itu tidak serta merta ada untuk Valen, melainkan alat pembujuk ayahnya agar Valen mau mengurusi usaha ayahnya, dan Valen menolak itu.


Sambil berkacak pinggang dideretan rak yang berisi berbagai macam merk pembalut mata Valen masih mencari sesuatu padahal yang ia cari sudah ada didepan mata. Ia menghela napas, diam sebentar dan berpikir ribet sekali menjadi perempuan. Ia mengambil satu pembalut itu dari rak dan berjalan lesu menuju kasir. Ia merasa seperti tak enak badan, mungkin efek dari datang bulan. Sampai dikasir Valen meletakkan satu bungkus pembalut itu dimeja kasir, ia terkejut sekaligus malu.


“Maaf mas, aku lupa bawa dompet, ketinggalan dirumah.” Valen menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia malu sekali.


“Duh, gimana ya mbak. Mbak tinggal aja dulu belanjaannya, pulang dulu ambil uangnya nanti kesini lagi, nggak bakal hilang kok.” Penjaga kasir minimarketitu memberi saran kepada Valen yang salah tingkah.


“Eh, iya deh.” Jawab Valen pasrah.


Tiba-tiba seorang laki-laki dari belakang Valen memotong. “Berapa belanjaan mbak ini?” penjaga kasir dan Valen heran.


“Eh, tiga puluh satu ribu lima ratus, mas.” Jawab penjaga kasir.


Laki-laki itu mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Valen masih belum paham apa yang terjadi, rasa kaget, malu dan terkesima sudah tidak bisa ia bedakan.


Valen menarik tangan laki-laki itu menahan agar penjaga kasir tidak mengambil uangnya. “Maaf mas, tidak perlu repot-repot, biar aku pulang dulu ambil uangnya.” Laki-laki itu menggeleng. “Sudah nggak apa-apa, dari pada mbaknya bolak-balik kerumah dulu terus kesini lagi.” Jawab laki-laki itu sambil terus berusaha memberikan uangnya kepada penjaga kasir.


“Oke deh kalo mas maksa.” Valen menyerah setelah berpikir benar juga kata laki-laki itu, dari pada bolak-balik.


“Nah, gitu dong, izinkan saya berbuat baik.”


“Eh,  makasih,  mas?”


Dengan cepat laki-laki itu menyodorkan tangannya. “Soni.”


“Valencia Rolen, panggil saja Valen.” Ia membalas jabatan tangan laki-laki itu.


“Maaf mas, mbak, gantian sama yang ngantri dibelakang.” Potong penjaga kasir kepada mereka berdua.


Valen dan Soni terkejut lalu tertawa. “Aduh, maaf mas, jadi berapa?” kata Soni menanyakan sisa yang harus dibayar, Soni membeli kertas sampul.


Mereka keluar minimarketsambil saling tersenyum-senyum karena membuat pembeli yang lain menunggu mereka. Lalu keduanya terdiam didepan teras minimarket itu.


“Eee..” keduanya nyaris berbarengan ingin bicara. Mereka berdua tertawa.


“Kamu duluan aja.” Valen mempersilahkan.


“Nggak apa-apa, kamu duluan aja, ladies first.” Jawab Soni.


“Aku cuman mau bilang, sekali lagi, makasih udah mau nalangin.” Ucap Valen sambil mengangkat barang yang ia beli tadi.


“ohh..” Soni tertawa. “oke-oke, nggak perlu diangkat tinggi-tinggi juga kali.” Soni tertunduk dan menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan. “Iya nggak apa-apa, santai aja.” Ucapnya kemudian.


“Aduh, sorry-sorry..” Valen tersipu dan dengan cepat ia menyembunyikan pembalut itu kebelakang badannya.


“Aku harus kembali ke kantor, ada tugas yang harus aku kerjakan.” Soni menunjukkan kertas sampul yang tadi dibelinya.


“Oh iya, hati-hati, makasih lho ya.”


“Iya, sama-sama, kamu nggak apa-apa, pucat gitu mukanya.”


“Nggak apa-apa, biasa, efek datang bulan.”


Soni tersenyum dan berlalu menuju mobilnya di parkiran. Sedang Valen masih berdiri ditempatnya,  pandangannya mengantar Soni sampai hilang diantara mobil-mobil dijalan raya. Valen berjalan meninggalkan minimarketsambil memijat kepalanya sendiri dengan satu tangan, belum jauh, baru beberapa langkah saja dari minimarket itu, pandangan Valen tiba-tiba gelap. Beruntung seorang laki-laki salah satu pengunjung minimarket baru saja keluar dan mendapati Valen terkulai tak sadarkan diri. Dengan sigap laki-laki itu menghampirinya.


Bersambung...
Diubah oleh kopinisasi 05-02-2020 16:01
Gimi96NadarNadznona212
nona212 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
2.2K
18
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan