ALOHA GANSIS
WELCOME TO MY THREAD
Gansis pernah kepikiran gak sih selama kita hidup sudah menghasilkan manfaat apa saja buat orang lain? Jujur aja ane lumayan sering merenungkan hal satu ini dan selalu berakhir dengan jawaban “kayaknya hidup gue belom se-bermanfaat itu deh buat orang lain.”
Menurut agama yang ane percayai disebutkan bahwa, “sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang senantiasa memberi manfaat bagi sesama makhluk-Nya”. Nah, salah satu caranya adalah dengan menebarkan kebaikan. Kebaikan itu bentuknya bisa macam-macam gak mentok soal materi aja dan kalaupun pakai materi, jumlahnya gak harus berjuta-juta atau bahkan milyaran.
Ane gak pernah merasa pernah melakukan kebaikan besar, tapi ada satu kejadian yang sampai sekarang gak bisa ane lupa. Mungkin buat gansis apa yang ane lakukan ini sepele banget. Tapi buat ane, rasanya nampol banget di hati. Bukan maksud pamer atau sebagainya, toh ini beneran hal kecil banget. Anggap aja ini sebagai sharingpengalaman ane…
Quote:
Sumber: merdeka.com
Waktu itu awal tahun 2016, ane berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Di jurusan ane, ada beberapa Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang harus dilaksanakan sebelum musim skripsi. Salah satunya adalah PKL di desa. Kami ditugaskan membuat dan melaksanakan suatu program kesehatan berdasarkan data masalah desa tersebut yang kami ambil di semester sebelumnya. Waktu itu, angkatan ane mendapatkan desa yang letaknya di wilayah Banten, Jawa Barat.
PKL dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Satu kelompok bertanggung jawab memegang satu desa. Kelompok ane saat itu terdiri dari 6 orang (kebetulan perempuan semua). Bisa bayangkan? Enam orang perempuan meng-handlesatu desa. Berat, hampir setiap malam selalu saja ada yang kami keluhkan. Mulai dari makanan seadanya, rumah menginap yang kurang nyaman, medan yang sulit hingga kekurangan kendaraan.
Ya, kami berenam sibuk kesana-kemari mengujungi setiap Rukun Tetangga (RT) dengan hanya dibekali 2 motor hasil pinjaman warga sekitar. 2 motor untuk 6 orang. Mohon maaf saja kalau kami saat itu sering melanggar aturan berkendara. Mengendarai motor bertiga, belum lagi membawa banyak alat peraga untuk penyuluhan (bukan untuk ditiru! Sangat berbahaya!). Kalau di kota, mungkin kami sudah kena ejek sebagai ‘cabe-cabean’.
Kenapa kami tidak jalan kaki? Oh, ya, gansis harus tahu, jarak satu RT ke RT lain di sana lumayan jauh. Harus melewati sawah dan hutan sepi. Kami orang asing dan tidak mengenal baik tempat itu. Kalau kami jalan kaki, sudah pasti akan menghabiskan waktu banyak hanya untuk perjalanan dan bisa-bisa pulang kemalaman. Sedangkan kami diperingatkan oleh kepala desa setempat agar sudah kembali ke penginapan sebelum adzan maghrib tiba. (Loh? Kok jadi curhat? Ayoskip ke inti cerita).
Siang itu kami baru akan kembali setelah mengunjungi satu RT yang letaknya paling jauh dan paling dalam di desa itu. Untuk sampai kesana perlu waktu sekitar 45 menit melewati hutan yang sangat sepi. Jalanannya pun tidak mulus, membuat kami yang berkendara bertiga seringkali hampir terjatuh. Terpaksa turun dari motor dan mendorong motor beberapa kali karena masuk lubang. Sepanjang jalan entah sudah berapa kali kami mengeluh.
Di tengah hutan, kami bertemu dengan 2 orang bocah perempuan yang berjalan kaki ke arah berlawanan dari arah tujuan kami. Sepertinya mereka warga RT yang baru saja kami kunjungi. Satu bocah lebih besar dari bocah lainnya dan keduanya membawa panci alumunium bertutup. Awalnya, ane tidak tahu mereka ini dari mana, tapi logikanya, pasti kedua bocah ini sudah berjalan jauh sekali karena kami tahu sejauh apa jalan raya dengan hutan ini.
Sumber: kompas.com
Ane pun memutuskan menyapa, lalu bertanya. Kedua bocah itu menyebutkan nama dan usianya dengan malu-malu. Ternyata mereka kakak beradik berusia enam dan empat tahun. Katanya mereka baru pulang berjualan cilok di sekolah dasar yang letaknya tepat di pinggir jalan raya. Benar dugaan ane, mereka sudah berjalan sangat jauh dan tanpa dampingan orang yang lebih tua. Katanya mereka sudah tidak punya ayah dan ibunya sakit di rumah.
Ane juga bertanya hasil jualan mereka hari itu. Sang kakak mengeluarkan uang receh yang jumlahnya sekitar 12 ribuan. Mereka juga menunjukkan isi pancinya. Panci sang adik ternyata sudah kosong, sedangkan panci si kakak masih menyisakan beberapa butir cilok (kurang dari 10 butir yang kalau ditotalkan seharga 3000 rupiah). Artinya, kalau laris tak bersisa, mereka hanya akan mendapat 15 ribu saja.
Katanya, uang hasil jualan itu akan mereka belikan bahan jualan esok harinya, kalau ada sisa akan dibelikan beras dan lauk. Merasa iba, ane dan dua teman ane berniat memberi mereka uang, sekedar membantu. Sialnya kedua teman ane tidak membawa uang sama sekali dan ane hanya punya selembar uang di saku. Akhirnya, ane hanya memberi selembar uang 10 ribuan itu pada mereka, yang ternyata justru membuat mereka luar biasa kegirangan. Katanya itu nominal uang paling besar yang pernah mereka terima.
Sumber: DailyWoth.com
Melihat ekspresi dua bocah ini, kami bertiga tiba-tiba merasa tertampar. Ane pribadi jadi merasa kurang bersyukur. Sudah beruntung kami naik motor tapi masih mengeluh. Sudah beruntung kami bisa makan 3 kali sehari tapi juga masih sering mengeluh. Kami bisa meminta kiriman uang dengan mudah dari orangtua jika merasa kekurangan, sementara dua bocah ini harus mencari uang untuk makan keluarganya.
Apa yang ane lakukan ini masih bisa disebut kebaikan dan ada manfaatnya? Entahlah. Jujur saja ane merasa tidak memberi banyak atau menjamin keluarga dua bocah itu bisa makan enak dengan hanya selembar uang 10 ribuan. Tapi dampak paling besar dari kejadian itu justru adalah apa yang ane rasakan. Belajar lebih mensyukuri kehidupan dan menyadari bahwa banyak orang yang lebih sulit dari kita. Jadi, sebelum banyak mengeluh, ada baiknya kita mencoba mengingat apa-apa saja yang sudah kita punya saat ini.
Quote:
Thread created by Kaskus ID kaniarf
Sumber : Real Story TS
Sumber gambar: tercantum (via google image)