lin680Avatar border
TS
lin680
Cerbung > Gadis yang Dijuluki Penyihir (bagian 2)


Setengah jam lagi masuk waktu istirahat, Tatiana masih duduk di tempat, memeluk lutut, menumpu dahinya di atas lengan. Bahunya terlihat berguncang, sebab isak tertahan.

Tak lama kemudian ia merasa ada seseorang menyentuh pundaknya, Tatiana mengangkat wajah. Mata kaburnya menyisir ruang sebatas pandang yang terlihat. Tampak bayang seseorang berseragam mendekat ke wajahnya, tapi hanya terlihat buram, meski bayang itu terus mendekat.

Kedua bola mata gadis itu sampai menyatu ke tengah, demi usaha memperjelas pandang. Ia tersentak saat bayang itu terasa terisap masuk melalui tanda lahirnya.

Tubuh Tatiana mengejang sebentar, sekejap ia rasa energi besar mengisi tubuhnya. Pandangan menjadi jernih, semua tampak jelas, melebihi saat ia  memakai kacamata.

Gadis itu kembali berdiri, senyum tipis muncul di bibirnya. Mata basah yang sendu berubah mengkilat tajam.

Kacamata di tangannya tergenggam erat, lalu dijatuhkan sembarang di lantai. Gadis itu menampakkan wajah kaku dan tatapan kosong.
Ia menegakkan badan, menyelipkan rambut sembari berjalan cepat menuju kelas. Dagu yang selama ini ditekuk kini terangkat, ia tampak percaya diri dengan penampilannya.

Seisi kelas terperangah, saat pintu yang ditutup terbuka keras memukul dinding, terlebih lagi  wajah raut seseorang yang masuk itu membuat mereka terpaku tanpa suara.

Mata Tatiana memandang ke semua orang di kelas, termasuk Pak Danu yang menganga, seolah tersihir. Sudut bibir gadis itu tertarik saat melangkah ke bangkunya, ada rasa puas melihat mereka takjub padanya.

Semua mata tertuju pada tanda di dahinya, berwarna darah, bukan hitam, seperti yang biasa terlihat saat rambutnya tersibak.
Belum juga sampai di bangku, tubuh berperawakan sedang itu tiba-tiba mengejang sesaat, berpegangan pada meja teman di sekitar tubuhnya. Detik kemudian ia menggeleng kepala, merasakan sesuatu mencelos dari keningnya.

"Jangan-jangan dia tadi kesurupan hantu kakus," tukas siswa berbadan gemuk seakan menyadarkan seisi kelas.

Pak Danu meminta siswi membantu memapah Tatiana yang menggapai-gapai, mencari tempat duduknya. Kembali menjadi Tatiana yang kikuk dan bingung, tak bisa melihat tanpa kacamatanya.

"Walah, benar habis kesurupan!"

"Iya, dimasukin jin iprit! Hahaa."

Beragam suara memenuhi pendengaran Tatiana, dibantu seorang teman ia bisa kembali duduk di bangkunya.

"Mana kaca matamu, Tatiana? Apa bisa melihat ini berapa?" Pak Danu mengarahkan dua pena setengah meter jarak dari wajahnya. Gadis itu mendengar suara dari dua bayangan tubuh Pak Danu.

"Em-empat, P-Pak ...."

Suara tawa keluar hampir dari semua siswa.

Guru itu menarik napas. "Oke, tunggu di sini, biar kamu dijemput pulang saja," lanjutnya, lalu kembali ke meja, menghubungi nomor kontak wali muridnya itu. 

***
"Mbok, Mbok'" panggil Mang Dirman saat mengarahkan Tatiana masuk ke rumah. Ia sengaja membawa anak majikannya melewati pintu belakang, karena di depan banyak teman si kembar sedang berkumpul.

Seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri.

"Ya Allah, kenapa non Tiana?"

Gadis itu didudukkannya ke kursi makan, Mbok Darmi menyeduh dengan gesit semangkuk sereal coklat—'obat ampuh' penenang Tatiana.

"Ini, buka mulutnya." Assisten yang sudah mengabdi tiga puluh tahun di keluarga ini penuh sayang menyuapi, hingga isi mangkuk habis.

Ia sangat paham kebiasaan Tatiana, sejak kecil sangat mudah gemetar, jika parah bibirnya sampai membiru. Hanya coklat atau sereal yang cepat menenangkannya seketika.

"Manja amat, sudah tua keleus!" celetuk gadis berambut licin muncul dari ruang tengah, mengambil air minum dingin di kulkas.

Ia Angeline, kakak kedua Tatiana. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit mulus dan bermata coklat.

"Biar Mbok bantu sampai ke kamar." Tangan Tatiana digandeng Mbok Darmi saat berdiri dan akan ke kamar.

"Eits, tetap di situ, sampe temen gue pulang. Jangan bikin malu!" ucap gadis berpipi merah itu sedikit mengancam sambil berlalu ke depan. Sepiring black forest di tangan kanannya.

Tiana tahu sedang banyak tamu, dari suara teman-teman si kakak kembar yang ramai menertawakan sesuatu di ruang tengah. Setiap berkumpul di rumah mereka selalu berisik.

Merasa sangat ingin berbaring, ia menggenggam tangan Mbok, kode meminta mengantarkannya ke kamar.

"Itu sodara, loe? Jam segini udah pulang?" Seorang lelaki bicara menunjuk Tatiana,  tawa dua gadis  lain terhenti, ikut menoleh ke arah tangga.

"Sakit, ya. An? Kok sampai dipapah gitu?" Perempuan berambut model bob memberi komentar, sambil mengambil sepotong kue dari Angeline.
Beberapa temannya sampai mengkerut alis, ikut cemas melihat Tatiana susah payah dibantu mbok, menaiki tangga ke lantai atas.

"Udeh, biarin. Biasaa, minta perhatian. Lain kayak gue, nggak ngapa-ngapain juga lu pada perhatiin, kan?" Amalya yang duduk di karpet menepis angin, kemudian kembali membahas sesuatu seru dengan teman di sebelahnya.

"Hahaa, tau aja. Apa, sih, yang enggak di elu," sahut lelaki berambut cepak, melempar bantal sofa ke punggung Amalya.

Suasana kembali riuh, dari enam orang teman si kembar cantik, dua lelaki berpenampilan trendi sedang menonton film pada layar datar di depannya, sementara yang lainnya ribut dengan obrolan membahas fashion terbaru, sampai gaya teman di kampus satu persatu dikupas.
Tatiana yang tak pernah nyambung, tak mungkin diajak bicara seseru itu oleh dua kakaknya.

"Istirahat aja, ya, Non. Apa Mbok ikut di sini?" tanya Mbok Darmi sesaat, setelah Tatiana berbaring—masih dengan seragam di badannya.

"Eng-gak u-sah, M-Mbok," jawabnya terbata. Wanita itu mengusap kepalanya, sebelum kembali ke bawah Mbok memberikan kacamata lain ke tangan Tatiana, dari kotak persegi di meja.

Mbok Darmi sudah biasa, sejak kecil gadis malang itu bisa pulang cepat dari sekolah. Dalam keadaan takut atau rusak dan hilangnya lensa pembantu penglihatannya. Ia tak bisa berbuat apa-apa, selain membantu menenangkan Tatiana.

Sepeninggal Mbok Darmi, kucing peliharaan gadis itu masuk, meloncat ke ranjang, mengeluskan bulunya pada lengannya.

"Cuppii ...." Merasa bulunya saja ia tahu kehadiran sahabat satu-satunya itu,  hewan manja berbulu hitam ditarik ke dekapan. Kucing hadiah dari papanya sepulang liburan bulan lalu—saat Tatiana memilih tetap tinggal di rumah.

"Menurutmu apa aku aneh, Cupi?" Gadis itu terlentang, mengelus kepala Cupi yang tengkurap di dadanya.

"Semua orang nggak suka padaku ... hanya kamu, Cupi ...." Jika bukan pada diri sendiri, pada Cupi inilah ia bisa berbicara lancar, meski suaranya bergetar.

Berhubungan dengan manusia lain membuatnya selalu takut, terlalu banyak yang ingin dihindari dari makhluk serupa dengannya itu. Sementara di pihak lain, hatinya tetap ingin memiliki teman yang menerima apa adanya, seperti Cupi ini. Kembali kucing itu didekap, bersamaan dengan bulir air mengalir dari pelupuk matanya.

Brakk!

Pintu terbuka tanpa ketukan. Tatiana cepat memasang kacamatanya.

"Tia, lu, liat nggak sepasang anting yang tertinggal di kamar mandi?!" Setengah menuduh Amalya mendekatinya.
Gadis yang ditanya itu segera duduk, menggeleng kepala cepat.

"Kan loe yang mandi habis gue tadi pagi!" Kali ini gadis putih itu berteriak padanya.

"Eng-engg--"

"Boong, pasti loe sirik, kan?! Cepet mana, balikin!" Gadis bercelana skinny itu menarik lengan Tatiana.

"Ada apa, Am?" Angeline muncul dengan dahi mengkerut. "Jangan rese ah, temen-temen belum pada balik, malu kalian teriak-teriak," tegurnya.

"Itu, anting pemberian Raymon ilang dari kamar mandi." Amalya panik, ia baru dihubungi lelaki itu akan dijemput.

Sementara Angeline menggeleng kepala melihat tingkah dua saudaranya itu. "Terserah lu bedua, asal jangan teriak-teriak," pungkasnya sambil keluar kamar.

Amalya terus menarik tangan gadis yang berpegangan pada besi ranjang, membuat lengan Tatiana sakit, sekuat apa pun melawan, kakak yang terpaut empat tahun darinya itu tak peduli. Pegangannya terlepas.

"Cepeeet, Tiana, loe taruh mana? Gue buruan mau pergi, nih." Tubuh kurus adiknya itu terseret hingga ke meja rias.

Tubuhnya yang gemetar ditarik akan ke kamar mandi, letaknya di antara dua kamar mereka. Tatiana ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya kelu.

Di saat yang sama dahinya berdenyut, semakin keras. Ia berpegangan pada pintu kamar.

"Ayo, mana?!" Kecurigaan Amalya bertambah melihat Tatiana yang takut dan kebingungan.

Sejenak gadis itu terkesiap, seperti orang tersengat, lalu mengerjap beberapa kali. Ia membuka kacamatanya.

"Loe, kenapa?" Amalya terhenti, ia menyibak rambut Tatiana, untuk melihat wajahnya. Tatapan adiknya itu lurus dan kosong.

"Hei, ke mana?" Amalya mengikuti Tatiana yang tiba-tiba setengah berlari masuk ke kamar mandi. Ruang cukup luas, lengkap dengan ruang ganti dan penyimpanan pakaian.

"Di situ," kata Tatiana menunjuk bak besar berlapis keramik biru.

Mata coklat gadis itu langsung membulat, melihat arah tunjukannya. Tampak kilapan mata giwang di dasar bak, seakan benda itu melambai padanya.

Merasa dongkol, Amalya berteriak memanggil assisten rumah. Seorang perempuan kurus datang tergopoh, segera melakukan perintah, merogog dasar bak, meraih benda yang dimaksud anak majikannya itu.

"I-ini, Non." Baju dan separuh kepala wanita empat puluhan itu basah.

Amalya masih terlihat kesal, ia merampas anting itu dari tangan Bibik, lalu memelototi Tatiana.

"Bilang, kek, dari tadi! Bikin lambat aja!" Sebelum keluar ia mengguyur Tatiana dengan segayung air.
Amalya masuk ke kamar, mulutnya masih mengomeli adik yang tak bisa diajak bicara itu.

Di tempatnya, Tatiana masih berdiri, matanya menyala dari balik air yang menetes dari kepalanya. 'Telinga korengan, tau rasa!' pekik hatinya marah.

Assisten rumah mendorong handuk ke tangan Tatiana, membuat ia tersentak. "Keringkan badannya, Non. Bibik mau turun dulu ganti baju."

"AWWW. MAMAA PANAAAASS! AAAGH!" Teriakan dari kamar sebelah terasa membelah seisi rumah luas itu.

Tatiana dan Bibik bergegas melihat ke kamar si kembar, semua teman Angeline di bawah berhamburan naik, mereka mengira ada perampok masuk lewat kamar atas.

Begitu pintu terbuka, Amalya memegang kedua telinganya yang berdarah. Gadis berbibir tipis itu menggetar, terlihat berusaha membuka anting di kedua telinga.

"Panass," tangisnya merintih. Benda itu serasa bagai logam yang dipanaskan dan langsung menempel di kulit telinganya.

Ia sampai meloncat-loncat, sambil berteriak menahan sakit. Begitu terlepas benda mahal itu dilemparnya sembarang.

Di saat yang lain ikut kebingungan bagaimana cara menolong Amalya, Tatiana terpaku di tempatnya berdiri, kerlingan mata jernih dan senyum tipis muncul, sebelum kembali tersentak, saat sesuatu keluar dari tanda lahirnya.
Diubah oleh lin680 16-03-2020 07:28
nona212Avatar border
tarigannaAvatar border
key.99Avatar border
key.99 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
2.1K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan