mengejaAvatar border
TS
mengeja
Kisah Balatentara Dai Nippon Tanpa Kepala di Kali Bekasi


Ada kenangan tersendiri untukku saat mendengar nama Bekasi. Sebuah kota di sebelah timur Jakarta yang mendapat julukan Kota Patriot. Tak sembarangan sebuah kota mendapat julukan seperti itu. Tentu ada cerita tentang bagaimana julukan tersebut bisa tersemat.

Mendekatlah. Akan kuceritakan kisah balatentara Nippon Kaigun tanpa kepala. Kejadiannya sudah lama sekali, sekitar tahun 1999 saat aku berusia 9 tahun. Saat itu setahun setelah Kerusuhan Mei 1998, Ayah mengajakku pergi ke rumah Paman Is di Bekasi. Beliau adalah adik bungsu Ayah yang menikah dengan seorang janda Tionghoa. Keputusannya berpindah agama untuk menikahi Tante Afang membuat ia terbuang dari keluarga besar.

Ayahku sebagai anak sulung lebih bijak dan diam-diam tetap menjalin kontak dengan Paman Is. Ini alasan Ayah mengajakku ke rumah Paman Is di wilayah Proyek, Bekasi. Untuk membantu membereskan toko elektronik milik istrinya yang setahun lalu rusak akibat dijarah massa. Ayah bilang kasihan keluarga Paman Is tak ada yang membantu karena semua keluarga Tante Afang sudah pindah ke Pontianak.

Bayangan tentang aktivitas melelahkan hinggap di kepalaku, namun tak jadi sebab Ayah bilang jatahku bukan yang berat-berat. Hanya menyapu, mengumpulkan puing-puing, atau tugas ringan lainnya.

Dari rumah kami pergi ke Stasiun Jatinegara untuk naik KRL menuju Stasiun Bekasi. Dari situ kami berjalan beberapa meter ke arah timur, melintasi Kali Bekasi, dan tiba di kawasan Proyek. Di kejauhan tampak Paman Is dan Tante Afang sedang bahu-membahu membersihkan toko. Mereka senang sekali melihat kedatangan kami. Tante Afang langsung menyuguhkan kami gorengan dan es sirop.

Selain kami berempat, ada satu anak yang diupah Tante Afang untuk ikut membantu, Ijal namanya. Aku langsung akrab dengan Ijal, mungkin karena kami sebaya. Selain menyapu, tugas kami adalah membawa puing-puing untuk dibuang ke Kali Bekasi. Paman Is sebelumnya memperingatkan agar tak perlu turun ke pinggir kali, cukup membuang sampah dari atas jembatan. Namun setelah tiga kali bolak-balik, seorang pemuda menyuruh kami untuk turun ke pinggir kali seperti penduduk setempat membuang sampah. Karena jika dilempar dari atas jembatan, khawatir mengenai orang yang membuang sampah di bawah atau para pemancing yang terkadang mencari ikan di sekitar jembatan.


Monumen Kali Bekasi dan jembatan kereta api.
Sumber


Pelan-pelan aku dan Ijal turun ke bawah dan membuang sampah dari tepi kali. Menjelang azan Zuhur, kami beristirahat untuk makan siang. Tante Afang membelikan Nasi Padang dengan lauk rendang dan telur dadar tebal. Ijal makan lahap sekali. Ia bilang jarang makan enak seperti ini.

Sekitar jam 13.30, kami kembali sibuk. Tak seperti orang dewasa, aku dan Ijal hanya bekerja ketika sampah puing mulai menumpuk di depan toko. Selebihnya kami bermain perang-perangan dari potongan kayu atau sesekali berlama-lama di tepi kali usai membuang sampah.

"Kali ini sebetulnya seram, loh," kata Ijal serius.

Aku menoleh ke arahnya, "Seram kenapa?"

"Engkong gue bilang ada penunggunya."

"Tapi ini kelihatan cetek," ucapku seraya melihat riak air yang mengalir di Kali Bekasi.

"Ini kan musim panas. Kalau musim hujan, tempat kita duduk ini sudah terendam air," ujar Ijal menjelaskan.

"Penunggunya apa?" tanyaku ingin tahu.

"Banyak. Paling seram sih hantu tentara Jepang di jembatan kereta api itu, tuh!" telunjuk Ijal mengacung ke arah jembatan rel kereta api. "Mereka banyak terus kepalanya buntung, suka muncul kalau malam hari. Berbaris di atas jembatan sambil menenteng kepalanya di balik lengan."

Aku bergidik ngeri. "Ngapain?"

"Ya muncul, lah. Namanya juga setan," terang Ijal.

Kutatap jembatan rel kereta api di kejauhan, membayangkan para serdadu Jepang tanpa kepala yang berjalan di atas jembatan sambil menenteng kepalanya di balik lengan.

"Dor!" cetus Ijal tiba-tiba.

Aku terperanjat kaget, sementara ia malah terbahak-bahak. "Sialan lu!"

Kami kembali sibuk bolak-balik membuang sampah ke kali dan baru selesai saat sore hari. Tante Afang memberikan sekantung salak untukku dan Ijal sebagai upah tambahan. Kami menikmatinya di tepi kali ditemani sepoi-sepoi angin sore yang menyejukkan. Entah bagaimana kakiku menyenggol plastik salak. Beberapa salak menggelinding ke bawah, ada pula yang jatuh ke kali.

Ijal sigap menuruni tepi kali yang curam untuk mengambil beberapa salak yang masih bisa diselamatkan. Aku ikut turun membantu, meskipun Ijal melarangnya. Aku yang tak terbiasa berdiri di tempat miring malah merosot ke bawah lalu terperosok ke kali. Serta-merta aku bangkit dan merayap ke atas dengan kedua lutut dan tanganku.

Melihatku berjalan seperti itu justru membuat Ijal terbahak-bahak. Katanya aku berjalan seperti babi yang keluar dari kubangan lumpur. Kami kembali ke toko menjelang Maghrib.

Persahabatanku dengan Ijal tak putus sampai di situ. Sesekali aku mampir ke rumahnya jika sedang berkunjung ke rumah Paman Is. Persepsi tentang serdadu Jepang tanpa kepala di Kali Bekasi terus membekas di benakku. Setiap kali melintasi kawasan Stasiun Bekasi, Patung Lele (sekarang menjadi tugu bambu), Kali Bekasi, dan Proyek, aku langsung teringat serdadu Jepang tanpa kepala. Sampai sekarang saat aku dewasa.

Tabir gelap perlahan terbuka ketika aku membaca sebuah artikel sejarah tentang tragedi pemenggalan 90 prajurit Nippon Kaigun (AL Jepang) oleh para pejuang RI di tepi Kali Bekasi pada sore hari tanggal 19 Oktober 1945.


Dai Nippon (balatentara Kekaisaran Jepang).
Sumber


Sebuah pembantaian yang seharusnya tak perlu terjadi sebab 90 prajurit Nippon Kaigun itu bersifat menyerah. Rangkaian kereta api dari Stasiun Jatinegara rencananya akan membawa 90 prajurit Nippon Kaigun ke Landasan Udara Kalijati, Subang untuk dipulangkan kembali ke Jepang. Namun 9 gerbong itu malah diberhentikan para pejuang di Stasiun Bekasi untuk pemeriksaan yang berujung kericuhan. Seluruh prajurit Nippon Kaigun ditangkap dan digiring satu per satu ke tepi Kali Bekasi untuk disembelih.

Saking banyaknya korban, Kali Bekasi sampai memerah oleh darah. Mayat para prajurit Nippon Kaigun turut dibuang ke dalam kali. Pasca pembantaian, masyarakat Bekasi dihantui oleh arwah penasaran 90 prajurit Nippon Kaigun yang bergentayangan. Pada malam hari Bekasi menjadi sunyi. Orang-orang enggan keluar dan memilih berdiam di rumah karena khawatir 90 prajurit Nippon Kaigun akan membalas dendam.

Cerita ini terpelihara turun-temurun di seputar Kali Bekasi yang menjadi ladang pembantaian. Masyarakat setempat percaya jika Kali Bekasi tiba-tiba berwarna merah, itu pertanda malam harinya hantu 90 prajurit Nippon Kaigun tanpa kepala akan muncul berbaris di atas jembatan rel kereta api sambil menenteng kepala di balik lengan. Berikutnya akan ada berita orang tenggelam di Kali Bekasi yang kebanyakan bukan warga setempat.


Monumen Kali Bekasi.
Sumber


Pada tahun 2013, Pemerintah Jepang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bekasi mendirikan Monumen Kali Bekasi persis di tepi kali, tak jauh dari area stasiun. Pembuatan monumen ini untuk memperingati Insiden Kali Bekasi 19 Oktober 1945 yang menewaskan 90 prajurit Nippon Kaigun. Hingga saat ini banyak warga Jepang atau veteran Jepang yang berkunjung. Biasanya mereka melakukan upacara tabur bunga di sekitar monumen dan Kali Bekasi.
Diubah oleh mengeja 17-03-2020 12:23
RobotElektrikAvatar border
pulaukapokAvatar border
sulkhan1981Avatar border
sulkhan1981 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
5.4K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan