arganovAvatar border
TS
arganov
Lupa Padaku
Ibu, Aku Ingin Pulang 5

"Aku tidak tahu apa yang terjadi Mel, tiba-tiba Ibumu dilarikan ke rumah sakit. Kami sedang menunggu hasil pemeriksaan sekarang. Kamu harus pulang. Ibumu sekarang sendirian."

Aku berhenti untuk melipat beberapa helai pakaian yang akan dibawa. Kemarin tiket pesawat untuk pulang telah di beli. Hanya saja diperjalanan pulang menuju kos-kosan, rahu mampir di dalam otakku. bagaimana jika Ibu tak ingin aku kembali? Bagaimana jika tuduhan tentang menganggu suaminya dulu masih mengakar? Akankah ia membiarkan aku menginjakkan kaki di sampingnya?

lagi-lagi perasaan sakit seperti teremas menyerang dada. Rasa yang sama ketika Ibu mengusirku hari itu. Padahal setiap hari berada di perantauan, akusalalu rindu untuk pulang. Rindu pada aroma hujan di kampung halaman. Pada suara Ibu yang memanggil namaku. Lalu rindu ketika Ibu berkata aku akan baik-baik saja saat sakit.

Deringan telepon genggam mengembalikanku dari ranah lamunan. "Halo, Mbak Syl. Aku pulang kampung sore ini," katanya memberitahu.

Terdengar suara Mbak Syl bersyukur atas keputusan yang kuambil. "Sudah saatnya kamu menghadapi yang telah kamu tinggalkan, Mel. Dia ibumu."

Aku tahu itu Mbak Syl. Hanya saja tidak semua hal aku ceritakan padamu. Soal kenapa aku bertahan di kota metropolitan dan tak mau kembali pulang.

***

Sungainya masih sama. Alirannya jernih dan sedikit susut saat ini. Mungkin karena saat ini adalah pertengahan musim kemarau. Aku dulu sering bermain di sungai, menangkap ikan atau hanya sekedar mandi. Lalu saat sampai di rumah Ibu akan marah dan mencubitku sekali. Ia akan berkata dengan keras, "Bagaimana kalau hujan di hulu? Kamu akan dihanyutkan ke hilir!"

Padang rumput tempat aku mengembalakan dua ekor kambing pemberian seorang kerabat dulu telah berubah saparuh menjadi perumahan, sayang sekali, itu tempat bermain yang bagus untuk anak-anak. Jauh dari jalanan dan nyaman dengan rumput yang empuk. Bukit yang biasa kupandang dari depan rumah, yang berusaha kulukis sama persis ketika kelas V SD, seperlima bagian hijaunya mengguning. Kemarau rupanya meluluh lantakkan banyak hal.

"Rumah Mak Rosna, Dik?"

"Ya-iya." Aku tak sadar jika sudah sampai di depan rumah Ibu. Setelah membayar ongkos ojek, aku memperhatikan pekarangan. Rumah itu tidak banyak berubah. Hanya saja ada banyak hamparan melati kini disekeliling rumah. Entah sejak kapan itu ditanam.

Aku mengigit bibir menahan tangis. Kenapa rasa sakit itu muncul lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Apakah ini rasa bersalah atau rasa lain? Aku tidak terlalu paham.

Dengan perasaan campur aduk aku menyeret koper ke depan rumah. Pintu rumah tidak  terkunci. Tiang depan sudah lapuk di makan rayap. Sepasang kursi rotan yang dulu biasa aku duduki untuk belajar hanya tinggal satu yang utuh.  Kudorong pintu rumah, di dalam masih sama, bahkan lebih lusuh dari pada sebelumnya. Apa yang terjadi, Bu? Apa yang terjadi? Pertanyaan itu kuulang-ulang dalam hati.

***

"Diabetes?"

"Ya dan kondisinya buruk."

Aku tercenung. Lama tidak bersama Ibu, aku tak tahu apa-apa soal beliau. "Seberapa buruknya, Dok?" tanyaku.

"Kadar gula darah Ibu Anda cukup tinggi. Saat kami memeriksanya kemarin, berkisar di 300 mg/dL. Untuk sekarang kami akan memberikan obat dan juga saran untuk pola makan." Dokter menulis seuatu di kertas dan menyerahkannya padaku. "Saya harap Anda mengawasi Ibu Anda dari sekarang. Minta ia meminum obat dengan teratur."

Aku berterima kasih dan pergi. Ibu ditemani oleh Ditha saat aku tinggalkan. Sekarang beliau sendirian duduk memandang jendela rumah sakit.

"Apa itu kamu Ditha? Lama sekali di toilet." Ibu menoleh, tapi tak menyadari jika itu adalah aku.

Aku tidak menjawab dan duduk di kursi tempat duduk Ditha tadi.

"Apa Melati tidak pulang?"

Padahal aku duduk di sampingnya dan ia masih berpura-pura tidak melihatku. Aku menahan diri untuk tidak menangis dan juga tidak menjawab pertanyaannya.

"Aku ingin dia pulang."

Dalam hati aku berteriak jika sudah ada di sampingnya. Apakah ia sudah tak menggenali wajahku setelah sekian lama? Apakah rasa benci membuat ia lupa dengan wajah putri semata wayangnya?

"Loh, Mel, kamu sudah di sini? Aku pikir masih di ruangan dokter, hampir saja aku susul ke sana. "Ditha datang dengan tergesa-gesa.

"Ya," sahutku pelan. Sebab air mata Ibu lebih menarik perhatianku.

"Mel? Ini Melati?" Air mata Ibu jatuh semakin deras. "Maaf, Mel, Maaf. Ibu tidak menggenalimu sekarang."

Aku kembali tidak menjawab.
bukhoriganAvatar border
jiyanqAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 3 lainnya memberi reputasi
4
950
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan