LaditachudaAvatar border
TS
Laditachuda
Gadis di Vila Merah
Vila Merah




Entah mengapa vila milik sepupuku ini dijuluki Vila Merah. Warna dinding ataupun atapnya sama sekali tidak ada yang merah. Perabotan di dalamnya juga warnanya normal-normal saja. Padahal katanya perabotan yang mengisi vila itu tidak banyak berubah dari dulu.

"Di sini mah enggak ada yang berubah, Neng," celetuk Mang Ucu sambil menghisap rokok.

"Kenapa atuh disebut Vila Merah, Mang?" tanyaku penasaran.

Mang Ucu mengeluarkan asap bulat-bulat dari mulutnya. "Itu karena ada hantu merah di sini. Tuh, di bale kayu itu tempatnya."

Aku yang masih terpesona dengan kelihaian Mang Ucu menciptakan bulatan asap sedikit terhenyak mendengar perkataannya. Padahal bale kayu itu tempat favorit aku mengaso.

"Makanya enggak boleh ada yang bawa perempuan ke vila ini. Hantu merah itu suka minta tumbal. Dulu anak perempuan Tuan Heni jadi gila, soalnya sering diganggu hantu itu. Sampai akhirnya bunuh diri, tuh di kamar lantai paling atas."

"Oh, damn!Langsung seribu penyesalan berletupan di hatiku saat itu.Kenapa Dave sama Mira enggak cerita soal ini?Saat itu juga tekadku membulat untuk menghajar keduanya.

"Tapi Mang, aku pan perempuan!" timpalku dengan suara sedikit tercekik.

Mang Ucu menatapku keheranan. "Siapa bilang kalau Neng itu laki-laki atuh?" Lalu dengan polosnya meneguk kopi dari cangkir kaleng.

Astaga si Mang Ucu! Aku hanya bisa mengelus dada sambil berharap tidak bertemu hantu merah. Hantu yang kata Mira jadi penjaga pohon di dekat bale kayu itu. Hantu itu memang sengaja disimpan di pohon oleh nenek moyang Tuan Heni untuk menjaga harta benda vila.

Sayangnya, ada pantangan yang harus dipatuhi, yaitu jangan sampai ada perempuan di sekitar vila. Sialnya, Tuan Heni yang merupakan generasi terakhir keluarganya malah memutuskan tinggal di vila bersama keluarganya. Hingga tragedi bunuh diri anaknya terjadi, dan vila itu terpaksa dijual ke tangan pribumi.

Aku bersyukur tidak ada kejadian mengerikan setiap kali diajak bermain ke vila oleh Mira dan Dave. Malahan lama kelamaan aku menganggap cerita itu hanya mitos belaka. Toh, aku enggak pernah mengalami apa-apa di Vila Merah. Walaupun Mang Ucu dan istrinya selalu penuh semangat bercerita kejadian-kejadian berhantu lainnya. Tetap saja aku tak pernah diganggu, atau menemukan hal-hal aneh di vila.

Memang sesekali aku melihat Dave dan Mira yang berbisik-bisik serius. Obrolan penuh rahasia mereka langsung terhenti total ketika melihat aku mendekat. Tapi aku tidak menaruh curiga dengan tingkah laku mereka waktu itu.

Quote:

Dokumen pribadi


Hingga suatu hari Dave memintaku menemani Mira mengerjakan tesis di vila. Tentu saja aku dengan senang hati menemani adiknya itu. Hanya saja ada sedikit rasa malas untuk pergi ke vila, apalagi aku sedang mendapat periode bulanan waktu itu.

Biasanya rasa malas itu pertanda ada sesuatu yang harus tidak dilakukan. Memang aku indigo atau sedikit indigo. Aku sudah biasa bertemu dengan hal-hal berbau gaib dari kecil. Dicolek jin, dilempari benda-benda, bahkan sampai diberi pertanda oleh mereka juga sering. Jujur, aku seringnya merasa seram, tapi tidak takut karena sudah biasa.

Biasanya rasa malas itu sering jadi pertanda jangan melakukan sesuatu hal. Tapi karena Mira bawel terus, akhirnya aku tekan rasa malas itu dan pergi ke vila. Ternyata vila sedang diperbaiki dan sedikit acak-acakan di halamannya. Gulungan kabel berserakan di lantai. Di dinding juga masih terlihat kabel yang belum tertutup rapi.

"Jangan kaget yah kalau tiba-tiba gelap nanti malam." Dave terkekeh sambil menghindari gumpalan tisu yang kulempar padanya.

Menyebalkannya Dave malah menirukan gerakan pocong yang melompat-lompat di tempat.

"Dave!" seru Mira. Jelas dia tidak senang dengan tingkah laku kakaknya.

Dave tertawa keras, lalu dia melompati anak tangga satu-satu sambil menirukan gaya pocong. Memang menyebalkan cowok yang satu ini.

Yang lebih menyebalkannya lagi ternyata semua ucapan Dave jadi kenyataan. Entah kenapa ketika memasuki waktu magrib listrik di vila mati-mati terus. Dave berulangkali ke lantai bawah membetulkannya. Dave mengeluarkan sumpah serapah ketika listrik kembali mati.

"Gue harus ke bawah, nih. Ada yang harus dibeli di toko listrik. Takutnya nanti keburu tutup," ucap Dave sambil buru-buru menyambar jaket yang disampirkan di sandaran kursi.

Aku mengintip dari lantai atas yang memang didesign ada bagian terbuka ditengahnya. Jadi orang yang ada di lantai atas bisa melihat dapur di lantai bawahnya.

"Ikuutt." Mira tiba-tiba menuruni anak tangga dengan cepat, langsung keluar dari pintu depan mengikuti kakaknya.

Aku masih belum sadar kalau bakal sendirian di vila. Ketika mendengar suara motor barulah aku terkejut.

"Miraaa!" Seruku dari jendela kamar atas, berusaha mencegahnya ikut dengan Dave.

Tentu saja Mira hanya tertawa sambil melambai-lambaikan tangan ke atas. Adik kakak itu menuruni jalan vila pelan-pelan. Hujan memang turun sejak tadi sore, jalan berkerikil itu jadi agak licin.

Aku bergeming di ambang jendela. Hawa dingin dan aneh mulai merayapi punggungku. Sedetik kemudian aku tersadar kalau berada di kamar bekas anak perempuan Tuan Heni. Kamar berbentuk oval itu memang sengaja dikosongkan untuk tamu saja.

Tanpa melihat kanan kiri, aku langsung keluar kamar dan duduk di depan TV. Suara televisi sengaja kuputar dengan volume maksimal agar mengusir hawa dingin itu. Berkali-kali kuteguhkan hati dan berkata, "Mang Ucu ada di rumah kayu, Mang Ucu ada di rumah kayu." Tentu saja aku ragu-ragu, karena biasanya setelah magrib Mang Ucu pulang dulu ke rumahnya.

Tiba-tiba vila kembali menjadi gelap. Aku terpaku menatap layar TV yang jadi hitam. Cahaya remang-remang dari lampu di bale kayu menyelamatkan mataku dari kegelapan total. Dengan gugup tanganku meraba-raba karpet, mencari hape. Cahaya dari layar hape membuat hatiku lega. Kemudian aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, lalu menyalakan tombol listrik yang ada di dapur.

Seketika vila terang kembali. Tapi aku memutuskan untuk menunggu Mira dan Dave di lantai bawah saja. Sengaja aku menunggu mereka sambil menelpon teman untuk mengusir rasa seram karena hawa dingin itu. Aku sadar sedang tidak salat. Biasanya ketika sedang tidak bersih aku sering diganggu makhluk astral.

Hujan kecil turun lagi ketika aku sedang asyik menelepon. Tiba-tiba hidungku mengendus bau dedaunan dibakar. Di pikiranku Mang Ucu sedang membakar daun. Asap dari dedaunan yang dimakan api lewat di ambang pintu. Pintu depan memang sengaja aku buka tadi. Asapnya makin lama makin banyak yang lewat. Tapi hanya lewat saja di depan pintu. Aku tidak merasa aneh atau bertanya, kenapa asapnya tidak ada yang belok masuk ke dalam vila.

"Si Mang Ucu ngebakar daun asapnya tebel gitu," celetukku pada teman.

"Ngebakar daun? Bukannya lagi hujan. Kok bisa ngebakar daun?" timpal temanku dari seberang telepon.

Deg! Hape hampir saja lepas dari tangan ketika mendengar perkataan teman. Tanpa permisi aku langsung memutuskan pembicaraan di telepon. Aku pun memberanikan diri keluar, ke teras vila, lalu mengintip ke samping kiri vila tempat rumah kayu berada. Memang benar, tidak ada Mang Ucu di sana, tidak ada api yang membakar daun-daun. Lalu asap darimana yang tadi itu?

Sekujur tubuhku langsung merinding, kaki terasa kebas dan tidak bisa digerakkan. Beruntungnya suara roda motor menyelamatkanku dari mati ketakutan. Mira turun dari motor sambil menjinjing kantung plastik besar.

"Widyaa. Kita bakar-bakaran sosis malam iniii," serunya gembira.

Oh, sumpah, aku jadi alergi mendengar atau membicarakan yang ada unsur bakar-bakarnya sejak malam itu. Apalagi keesokan harinya ada sangkalan dari Mang Ucu tentang kegiatan pembakaran yang aku perkirakan dilakukan olehnya.

"Mau apa atuh Mamang ngebakar daun pas hujan?" sangkal Mang Ucu.

Tambah lemas badanku mendengar perkataan Mang Ucu. Mira dan Dave aku wanti-wanti jangan pergi seperti semalam tadi. Mereka tertawa ketika mendengar ceritaku. Bisa saja itu asap pembakaran dari tetangga kata mereka berdua.

Entahlah, yang pasti sudah cukup aneh bagiku asap putih itu hanya lewat depan pintu saja tanpa sedikit pun masuk ke dalam. Kedua sepupuku berjanji tidak akan meninggalkan aku sendirian lagi.

Kejadian menegangkan semalam membuat aku cepat mengantuk di siang harinya. Hujan gerimis membuat tidur siangku sangat nyenyak hingga tidak menyadari ditinggalkan sendirian lagi. Entah pengaruh semalam, entah karena kelelahan, aku malah bermimpi di siang bolong jadinya. Mimpi yang aneh, ada seorang kakek menaiki tangga, lalu menyapaku, "Sudah bangun, Neng?"

Sapaan kakek itu membuatku terbangun kaget. Setelah sekian lama mengerjapkan mata karena ruangan yang agak gelap, aku baru sadar kalau sendirian lagi di vila. Dari kandang sapi aku mendengar suara musik, pasti mereka lagi di kandang sapi semua,pikirku kemudian.

Aku memaafkan Mira dan Dave waktu itu karena masih siang hari. Walaupun begitu, ruangan yang remang-remang cukup membuatku seram. Aku kemudian menekan semua saklar lampu di lantai atas. Ketika sedang melakukannya hawa dingin dan aneh itu kembali merayapi punggung. Tapi aku mengacuhkannnya kali ini.

Masih setengah mengumpulkan nyawa, aku pun masuk ke kamar mandi. Lampunya tidak kunyalakan karena masih terang dari jendelanya. Saat itu memang sekitar pukul empat sore. Masih cukup siang untuk memaafkan kedua sepupuku itu.

Ketika selesai mandi aku mulai merasakan kedinginan. Padahal tadi aku mandi memakai shower, airnya juga cukup hangat, jadi aneh karena merasa sangat dingin sesudah mandi. Malah jari tanganku jadi kaku dan sulit menggerakkan kunci gerendel. Berulang kali aku berusaha menggerakkan kunci selot itu, tapi tetap saja diam tak bergerak.

Lalu hawa dingin menusuk itu membuat bagian belakang leherku sakit. Seperti ditusuki jarum-jarum kecil rasanya. Spontan aku memegang belakang leher sambil berbalik. Aku tertegun, ketika mata menangkap sesosok bayangan menjulang tinggi di hadapanku. Kukerjapkan mata, tapi sosok itu tetap ada.

Ia tinggi dengan wajah seputih pualam. Rambut hitamnya menjurai lurus dikedua sisi tubuh. Matanya hitam tanpa kehidupan. Bibirnya tipis, dan aku bersumpah melihat ada setitik warna merah darah diujung lekukan bibirnya. Gaun tidur warna putih gading yang dipakainya menyentuh lantai kamar mandi. Dia cantik. Aku terpukau oleh kekuatan dimensi lain yang mengitari gadis itu. Dia cantik, dia hantu yang cantik.

Ketika lengannya mulai menjulur dan berusaha meraihku, kecantikan itu langsung pudar di mataku. Wajah gadis hantu itu tampak begitu berminat. Ia bergerak mendekat, mencoba meraih tubuhku. Aku bergeming. Teringat cerita papa tentang jin-jin yang menyukaiku, dan betapa keras usaha papa untuk mengusir mereka dari tubuhku.

Ketakutan hampir melumpuhkanku, ketika kemudian suara azan dari hapeku terdengar. Ada yang meneleponku! Kesadaran sesaat itu membuat otakku yang lumpuh bekerja kembali. Surat-surat pendek aku dawamkan pelan, sambil berbalik pelan-pelan. Aku tak kuasa memandang wajahnya yang putih dan pucat.

Ketika berbalik, dengan cepat aku meraih selot dan menariknya. Karena gugup beberapa kali jari tanganku terpeleset di atas kunci. Aku tambah panik ketika jari-jari panjang dan kurus itu hampir menyentuhku. Sekuat tenaga aku tarik kunci selot sambil menyerukan ayat-ayat suci. Tuhan menolongku kali ini, bertepatan dengan suara ribut-ribut di dapur, kunci selot itu berhasil aku tarik.

Aku langsung berlari begitu pintu kamar mandi terbuka. Di bawah kudengar Mira memanggil-manggil. Aku ingin menjawabnya, tapi hantu gadis itu tiba-tiba muncul di hadapanku yang sedang menuruni tangga. Aku terpekik kaget, kaki kiriku hilang keseimbangan hingga meluncur melewati dua anak tangga sekaligus. Badanku menyusul meluncur jatuh hingga ke anak tangga terakhir.

"Astaga Widyaa. Kamu kenapa?" Mira langsung berlari berusaha menangkap tubuhku yang terjatuh. Dave ikut mencoba menahan laju jatuhku, dia naik beberapa anak tangga, berusaha meraih tubuhku.

Berkat kerjasama keduanya aku tidak sampai jatuh dengan leher patah. Hanya kaki kiriku yang terkulai lemah karena keseleo. Ketika aku sedang dikerumuni oleh Mira, Dave, dan Mang Ucu, hantu gadis itu melayang mengelilingi pagar lantai atas. Tepat di tempat ketika aku mengintip Dave ketika dia membetulkan listrik di lantai bawah. Wajah pucatnya sedikit bergerak, bibirnya menyungging. Aku yakin mendengar suaranya yang halus. Aku Liliana.

Semenjak kejadian itu aku tak berani menginap di vila ketika sedang datang bulan. Liliana menampakkan diri hampir setiap kali aku berkunjung ke vila. Mang Ucu bercerita, ketika aku memanggil Mira malam itu dari ambang jendela, sangat mirip dengan cerita anak Tuan Heni yang memanggil penghuni vila dari jendela kamarnya.

Mungkin Liliana ingin berteman denganku. Tapi aku tak mau berteman dengannya. Aku tak pernah terbiasa dengan makhluk-makhluk astral itu, walaupun mereka biasa berada disekelilingku dari kecil.

Bagaimana menurut Agan Frislly Herlind Citra Prima, Rika Ardilla tentang pengalamanku itu? Kenapa Liliana memutuskan menampakkan diri padaku setelah sekian lama diam? #oktoberhantu

tahubaksobakarAvatar border
riwidyAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.1K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan