Ayah, kaulah cinta pertamaku. Lelaki yang mengajarkanku tentang arti kasih sayang dan ketulusan. Meskipun kian samar, tapi senyum bahagia dibalik penatmu setelah berjuang seharian untuk menghidupi keluarga kecilmu masih terukir diingatanku.

Meskipun tak banyak kenangan yang kita ciptakan kala kebersamaan dulu. Namun semua moment itu tersimpan rapi dibenakku. Sedikitpun tak ingin aku kehilangan satu-satunya yang dapat mengingatkan kebahagiaan kita.

Ayah, aku mencoba tegar ketika kau harus kembali kepada-NYA. Meskipun kepergianmu menorehkan duka yang dalam dihatiku. Cinta pertamaku telah pergi dari kehidupanku. Hanya disetiap sujud kulafazkan doa untukmu. Semoga kau bahagia di tempatmu sana. Alfatihah.

Dua puluh empat tahun sudah kepergianmu, Ayah. Aku hanya mampu merinduimu dalam diam. Memelukmu dalam kehampaan. Airmata menjadi sahabat kala kerinduan ini datang melanda. Namum rindu ini seakan tak ada penawarnya.

Aku selalu berusaha mengingat wajahmu melalui cermin dan satu-satunya foto peninggalanmu yang kinipun telah usang dimakan waktu.

Terima kasih ayah telah menjadi lelaki terbaik untukku. Dirimu memang tak lagi ada didekatku. Namun namamu, tetap hidup dihatiku.

Ayah, aku benar-benar rindu. Apakah kau tahu itu ? Tak bisakah kau hadir sekali saja dalam mimpiku? Lalu, biarkan aku merasakan hangat pelukmu. Kemudian bercerita tentang bagaimana gadis kecilmu ini menjalani hari-hari tanpamu. Menceritakan semua kisah saat kau tak ada didekatku.

Aku lupa ayah kalau gadis kecilmu ini kini telah berubah. Telah menjadi wanita dewasa. Rambut lurus hitam legam dengan postur tubuh tinggi. Ibu bilang aku mirip dengamu, ayah. Maka kini aku tak perlu takut lagi jika gambaran tentangmu akan pudar. Cukup aku berdiri di depan cermin maka aku dapat melihatmu dalam diriku.

Kenangan kita semoga tak pudar dari ingatanku, ayah. Akan tersimpan indah ditempatnya. Bahagialah ditempatmu sana. Akupun telah tegar menerima semuanya. Bahwa takdir kita telah terpisah. Rindu dan cinta untukmu ayah. Alfatiha.