suara.jiwaAvatar border
TS
suara.jiwa
Kuda Besi Putih
Selama catur warsa sudah menjauh dari pijakan, melenggang ke tanah seberang untuk menggali diri atas nama impian. Tak bisa lagi dibilang belia, mulai tersipu berdiri sebatas andalkan subsidi. Mencoba mandiri bertumpu pada dua pemikiran, keharusan melangkah untuk bertahan hidup, dan tanggung jawab kepada mereka yang telah memberi percaya untuk menuntut ilmu demi asa. Selembar kertas menjadi bekal mencari peluang, jajakan angka untuk memikat kesempatan hingga berujung pada kata sepakat. Mencari tempat berkarya mengharap upeti, seringgit dua ringgit asal cukup memenuhi hajat diri.

Rilla, IPK mu 3.38. Benar kamu mau kerja apa aja,” tanya seorang Bapak dari HRD saat interview kerja.
Betul Pak. Saya mau kerja apa saja, asal bisa diterima di kantor iseni,” jawabku dengan cepat.
Hmm... good, bagus.. skil bagus. Ok, saya terima. Kamu bisa mulai kerja besok lusa dan untuk job desc akan diberi tahu lebih lanjut nanti. Kamu bersedia?,” kembali Bapak bertubuh gempal berkemeja biru itu melempar pertanyaan.
Baik, Pak,” pungkasku tanpa ragu.
 
Adalah sekelumit penggalan wawancara kerja dari ragam test di lalui, lowongan kerja yang informasinya ku dapat di internet. Jabat tangan menjadi simbol, terima kasih dan uluk salam terlisan sebagai penutup kepada bapak-bapak yang belakangan aku ketahui bernama Pak Firman.
 
Alhamdulillah,” terucap berkali-kali beriringan dengan mata tertuju pada angka di layar lift yang terus berganti.
 
Jalan menuju pulang serasa penuh tawa riang, tak lagi ku dengar nada minor dari suara penjajak lagu di jalanan. Senyum lebar dan tak lagi mengerutkan jidat indikasikan satu keharusan yang hampir terpenuhi.


Sebuah pagi tak seperti biasa, sang surya masih setia menemani awal hari yang telah lama dinanti. Sinarnya mulai menyengat, seiring isi kepala penuh tanya atas pagi terbalut misteri. Kereta primadona ribuan umat yang tak kunjung lewat, jalanan yang lengang dari pasukan hijau, puluhan raut mendung berbaris di seberang penuh tatap kekhawatiran. Kegelisahan itu pun akhirnya merangkulku, membisik rasa ragu akan tak sampai di sebuah tempat dengan cepat.

Seketika bunyi rem berdecit muncul tanpa aba-aba, menusuk telinga hingga mampu jadikan mata menyipit. Kuda besi putih berlalu dan kemudian berhenti cepat, pijakan dua kaki pengendaranya tampak mengayun sambil menahan beban memaksa roda berputar mundur semakin mendekat. Tangan kiri dipakainya untuk membuka kaca pelindung kepala, seraya berucap ihwal terkini yang menyulap jalanan berstatus sepi.

Lagi ada demo mbak, jadi nggak ada bus, angkot, atau ojek online. Mba mau ke mana, kalau searah ayo bareng sama saya aja dan nggak usah bayar,” ajak pria pemotor berkelir putih.

Rupanya bunyi berdecit itu datang dari tunggangannya yang berhenti mendadak untuk tawarkan tumpangan. Alam telah bersabda, satu arah tujuan menjadi alasan kuat tak menolak niat baiknya. Tersudut oleh waktu dan terpenjara keadaan membuatku tak perlu berpikir panjang.

“Ke Gedung mentari di Jalan Sabang, Mas,” jawabku dengan volume suara sedikit keras.
Ayo mbak, saya ke arah itu kok. Bareng aja. Jangan khawatir, saya orang baik-baik,” jelasnya seperti berusaha meyakinkan.
 
Semua orang bisa saja berkelakar bahwa dirinya adalah orang baik-baik, namun entah mengapa kala itu serasa yakin dan mantap langkahkan kaki ke arahnya. Segera ku kenakan helm yang diberinya dan beranjak naik ke motor bertransmisi matik, melipat kaki sembari betulkan pengait helm yang belum terikat sempurna. Berlalu menyusuri jalanan yang di pinggirnya banyak dijumpai wajah penuh raut gundah. 

Setibanya di Gedung Mentari pria pengendara motor ini seperti khatam akan jalanan sekitar, ia langsung membelokan sepeda motornya dan bergegas menuju parkiran. Sontak tepukan ke pundaknya jadi isyarat mencoba memaksa pria tersebut menarik rem dengan tangannya, ingatkan akan tujuan ku yang telah purna.

Mas.. Mas.. saya stop di sini aja,” teriak ku sembari menepuk pundaknya.
Tenang Mba, saya juga kerja di gedung ini. ini langsung ke parkiran di bawah aja ya,” jelasnya sembari kekeh tancap gas.
 
Mungkin ini kehendak alam atau bisa saja sekadar kebetulan, ternyata pria pemberi tumpangan ini pun juga bekerja di Gedung Mentari, lokasi hari pertamaku bekerja berstatus probation. Kalimat terima kasih terucap untuk sosok pria penolong seraya berjalan dari area parkiran menuju lift gedung. Sembari menunggu pintu lift terbuka kalimat dua kalimat ia lontarkan layaknya memandu. Seketika pintu terbuka, dirinya meminta izin untuk pergi ke kamar kecil, ia pun bergegas ke toilet dan segera ku masuk ke lift menuju lantai 8.

Tak ada saling bertanya nama dan tak ada pula bertukar nomor telepon, sebatas kisah pengendara kuda besi putih pemberi tumpangan. Kamis, 18 Januari 2018 menjadi hari pertama kali jumpa dengannya, dipertemukan oleh keadaan yang kala itu jalanan nihil akan angkutan.




Diubah oleh suara.jiwa 29-06-2021 18:06
bukhoriganAvatar border
aryanti.storyAvatar border
aryanti.story dan bukhorigan memberi reputasi
2
644
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan