penacinta
TS
penacinta
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas! (7)
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas!

#Part 7



Setelah membayar dan mengucapkan banyak terima kasih pada sang pemilik kedai mie ayam itu, aku pun langsung berjalan menuju alamat yang tadi ia tunjukkan. Menyusuri sebuah gang sempit sambil mencari plang papan nama kost putri. Tak lama kemudian, mataku pun menangkap nama kost PUTRI MELATI, aku pun bergegas bertanya pada orang yang ada di sana, siapa pemilik kost ini. Akhirnya aku ditunjukkan pada sebuah rumah besar di bagian ujung bangunan kost yang berjajar.

Kuketuk pintu rumah itu, tak menunggu lama sang pemilik rumah pun keluar. Wanita paruh baya dengan tatapan sedikit sinis. Mungkin ia melihat tampilanku yang kumuh ini.

“Permisi, Bu, stadi saya tanya sama orang, katanya ini rumah Ibu yang punya kost-kostan itu, ya?” tanyaku berbasa-basi.

“Iya, betul. Kamu mau ceri kost?”

“Iya, Bu. Kalau boleh tahu harga perbulannya berapa, ya, Bu?”

Wanita itu melihat aku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seperti tidak yakin kalau aku ini mampu membayar biaya kost.

“Kamu dari mana? Ada KTP?”

“Oh, ada, Bu. Sebentar,” ujarku seraya membuka tas yang aku bawa untuk mencari dompet. Setelah kutemukan, langsung aku mengambil KTP milikku dan menunjukkan pada wanita itu. Ia menerima lalu membaca KTP milikku sekilas.

“Kamu statusnya menikah? Suamimu mana? Saya gak mau ikut kena masalah kalau menerima orang gak jelas asal-usulnya.”

“Mmm … suami saya ada, Bu, tapi saya memang sedang ada masalah keluarga,” jawabku ragu.

“Tuh, kan. Aduh. Bukannya saya gak mau bantu kamu, ya, saya cuma khawatir kamu gak bisa bayar!” ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Sontak saja aku terkejut karena ditolak mentah-mentah.

“Saya bisa bayar, Bu, ini saya ada uang!” Kutunjukkan jajaran uang lembaran merah di dalam dompetku.

“Hah? Kok uang kamu bisa banyak begitu?” tanyanya curiga.

“Ini, Bu, masih ada tanda putih bekas cincin di jari saya. Saya baru saja jual cincin. Seterusnya Ibu gak perlu khawatir, saya punya Kakak yang kerja jadi TKW di Taiwan, ia akan kirim uang ke saya setiap bulan,” ujarku berusaha meyakinkan.

“Oke kalau begitu, tapi saya gak akan kasih toleransi kalau kamu telat bayar uang kost, ya!”

“Baik, Bu.”

“Kamar yang isinya dua orang, lima ratus ribu per bulan. Kalau yang satu kamar sendiri, satu juta per bulan. Fasilitas lengkap, ada kasur, lemari, kamar mandi, dan dapur mini dengan wastafel di dalam kamar,” ujarnya menjelaskan.

“Kalau gitu saya ambil yang sendiri saja, Bu. Mungkin nanti suami saya datang,” ujarku asal, meski dalam hati memang berharap.

“Oke, ikut saya! Kalau suami kamu datang, wajib lapor lagi sama saya, tunjukkan buku nikah!” ujarnya tegas, aku mengangguk. Buku nikah milikku sudah aku bawa. Jadi itu bukan masalah.

Wanita itu masuk sebentar ke dalam rumah untuk mengambil kunci, lalu berjalan di deretan rumah kost miliknya. Penghuni kost ini lumayan ramai. Isinya sudah pasti para perempuan, kebanyakan mahasiwi dan karyawati.

Wanita itu membukakan salah satu kamar yang letaknya paling ujung, dekat dengan pintu gerbang.

“Ini kamarnya, silahkan dilihat dulu!”

“Baik, Bu!”

Aku pun masuk dan melihat suasana di dalam kamar. Aku merasa kamar ini cukup nyaman meski tidak luas. Masih wajar dengan harga segitu. Kulihat di dalam kamar ada sebuah ranjang ukuran queen size, dan juga ada kipas angin. Lumayan, aku tidak akan kegerahan jika cuaca sedang panas. Kamar mandinya juga bersih dengan satu bak mandi kecil dan closet jongkok. Di dapur, ada disediakan kompor gas satu tungku, sebuah kuali ukuran sedang, panci, dan peralatan makan.

“Gimana?”

“Saya mau, Bu.”

“Baik, biaya dibayar per tanggal hari ini setiap bulan, ya! Untuk isi barang di dalam kamar tidak boleh dibawa pergi jika suatu hari kamu pindah dari sini.”

“Iya, Bu.” Aku mengeluarkan uang dari dompet dan memberikannya pada wanita itu.

“Oke, kalau kamu butuh bantuan saya, langsung ke rumah saja, nama saya Bu Rissa.”

“Baik, Bu Rissa.”

“Aturan lain dari kost ini ada di dinding depan dekat pintu pagar, kamu bisa baca.”

“Iya, Bu, akan saya baca. Terima kasih,” ucapku. Wanita itu pun pergi setelah menyerahkan kunci kamar padaku.

Alhamdulillah … akhirnya aku bisa punya tempat berlindung. Hanya tinggal satu lagi, aku harus membeli ponsel untuk bisa menghubungi Mas Wisnu dan Mbak Dini.

Setelah aku membereskan pakaianku ke dalam lemari dan mandi, aku pun langsung keluar lagi untuk menuju toko penjual ponsel. Aku juga akan membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam.

Meski aku belum terlalu paham dengan lingkungan sekitar sini, aku berusaha untuk mengingat jalan yang aku lalui. Aku pun menggunakan jasa ojek pengkolan untuk minta diantar ke toko ponsel.

Sampailah aku di sebuah toko, aku meminta pada Bapak tukang ojek untuk menunggu sebentar. Aku masuk dan membeli sebuah ponsel second yang kondisinya masih baik. Biarlah, aku harus berhemat. Meski second, tapi fungsinya tetap sama.

Bapak tukang ojek pun kuminta untuk mengantarku ke kedai, beruntung kedai yang ia sarankan ada di arah jalan pulang. Aku membeli beras dan juga kebutuhan dapur lainnya, lalu kembali ke kost. Bapak tukang ojek hanya meminta bayaran dua puluh ribu saja untuk jasanya mengantarku pulang pergi.

Aku pun kembali ke kamar kost, langsung memasang kartu SIM milikku dan mengeset ponsel yang baru aku beli.

“Alhamdulillah … selesai,” gumamku girang. Akhirnya aku bisa mendapatkan kembali data-data dari ponselku yang lama.

Segera aku menghubungi nomor ponsel Mas Wisnu, namun sayang beribu sayang, tak sekalipun ia menjawab telponku. Kamu kemana, Mas?

Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Mbak Dini via WhatsApp. Mbak Dini pun menjawab panggilanku.

“Ya Allah, Rin, kamu kemana aja dua hari ini?” Mbak Dini terdengar panik di seberang sana.

“Maaf, Mbak, aku diusir sama ibunya Mas Wisnu. Hape aku dibanting sampai hancur. Sekarang aku ngekost, aku jual cincin kimpoi. Sebelumnya aku menginap satu malam di rumah Bi Halimah, tapi aku hampir saja jadi korban kejahatan Paman Sobari,” ucapku sambil terisak.

“Ya Allah, Rin! Kamu gapapa, kan? Mbak juga kemarin coba tanya sama si Wisnu, tapi malah gak dijawab. Kemana, sih, dia? Dia gak nyariin kamu?”

“Enggak, Mbak. Aku juga barusan coba telpon Mas Wisnu, tapi gak ada jawaban.”

“Kurang ajar si Wisnu, istrinya diusir bukannya dicariin! Kalau aja bisa, Mbak pulang buat ngehajar si Wisnu itu!”

“Mbak tenang, ya, aku gak apa-apa. aku udah dapat kost meskipun harus jual cincin.”

“Ya Allah … kasihan kamu, Rin. Maafin Mbak juga, ya, Mbak kemarin juga udah mau kirimin kamu uang, sisa gaji Mbak bulan ini, tapi tiba-tiba temennya Mbak di sini bilang ibunya sakit, butuh pinjaman. Mbak pikir kamu gak akan butuh cepat, Mbak gak tau kalau ternyata kamu malah diusir. Mbak usahain besok langsung kirimin kamu, ya. Insya Allah besok temennya Mbak mulangin uang itu, Mbak juga gajian dari usaha sampingan, bantuin temen jualan sambel botolan di sini.”

“Mbak, maafin Arin sudah buat Mbak jadi risau,”

“Pokoknya kamu jangan nyerah, kamu harus bilang semuanya sama si Wisnu!”

“Iya, Mbak.”

“Ya sudah, Mbak masih harus kerja, mau mandiin si Mbah,” ujarnya. Mbah yang ia maksud adalah lansia yang dirawat olehnya di Taiwan.

“Iya, Mbak. Assalamu’alaikum ….”

“Wa’alaikum salam ….”

Hatiku sedikit lega. Memang Mbak Dini tak pernah pelit padaku. Namun aku tahu, beban hutang kami yang menyebabkan Mbak Dini harus bekerja keras sampai ke negeri orang. Syukurnya sekarang semuanya sudah lunas.

Aku kembali mencoba mengubungi ponsel Mas Wisnu, tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Sampai malam, setelah salat dan makan malam aku kembali mencoba mengubunginya, tapi kali ini panggilanku ditolak.

Ya Allah … ada apa ini? Akhirnya aku berinisiatif untuk bertanya pada Dik Ani, anak gadis tetangga depan rumah ibu mertuaku. Semoga ia tahu.

Aku pun menghubungi nomor Ani, dengan cepat langsung dijawab.

“Assalamu’alaikum, Mbak Arin. Ya Allah, Mbak. Akhirnya Mbak Arin telpon, kemarin Ani coba hubungi ndak bisa,” ujarnya dengan napas memburu.

“Wa’alaikum salam, Ani. Kenapa, Dik? Iya, Mbak kemarin ndak punya hape, hape Mbak rusak. Mbak pergi dari rumah, diusir sama Ibu.”

“Mbak jadinya pergi kemana? Mas Wisnu kecelakaan, Mbak!”

“Hah? Astaghfirullah … kecelakaan di mana? Ya Allah ….” Jantungku langsung terpacu, air mataku langsung tumpah.

“Di tempat kerjanya kemarin bersamaan dengan Mbak Arin pergi dari rumah Mas wisnu, sekarang Mas Wisnu dirawat di rumah sakit!” Ani menyebutkan nama sebuah rumah sakit daerah.

“Ya Allah … Ani, Mbak harus gimana?” selama ini aku memang hanya bertaman dengan Ani, sesekali kami saling curhat.

“Mbak ke rumah sakit saja, temui Mas Wisnu, Mbak! Kasihan Mas Wisnu.”

“Baik, terima kasih, ya, Ani. Mbak akan segera ke sana.”

“Iya, Mbak. Yang sabar, ya, Mbak. Mbak harus tabah, kuat sama cobaan ini.”

Kata-kata Ani barusan membuat tangisku semakin tak terbendung. Jadi itu alasannya mangapa Mas Wisnu tidak mencariku ke rumah Bi Halimah.

🌸🌸🌸
Sudah ditulis 25 part, link ada di komentar bawah ya
Gratis baca dari link aja gak perlu donlwbload
bukhoriganpakisal212
pakisal212 dan bukhorigan memberi reputasi
2
1.2K
2
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan