baccuAvatar border
TS
baccu
[COC] Chromance: Cinta Tak Terikat Sang Waktu



Orang bilang masa SMA adalah yang paling indah dalam hidup. Seandainya diberi kesempatan, aku ingin mengulang kembali menjadi remaja yang sedang mencari jati diri. Tidak mengenal lelah dan letih, menikmati setiap momen yang dilalui.

Hari ini terasa begitu panjang, hampir setiap menit kupandang jam dinding berharap untuk segera pulang.

“Ah, ternyata masih setengah jam lagi” gumamku lirih.

Tangan dan jemari ini sudah lelah menari di atas keyboard. Inilah rutinitasku sebagai pegawai kantor yang sedang menata hidupnya. Secangkir kopi yang diseduh siang tadi masih tersisa, kuteguk hingga tetes terakhir agar tidak percuma dan bergegas menuju dapur kantor.

Suara air keran membuat telingaku pengang karena dapur yang sepi. Sejenak aku melenguh, kutaruh cangkir dan sendok kecil pada wadahnya. Tiba-tiba terdengar suara keras pintu dibanting.

“Ngopi terus. Cuciin punyaku juga dong!” terdengar suara wanita yang tidak asing. Ternyata itu Sekar, rekan kerjaku. Orangnya memang suka jahil dan bercanda.

“Dih, nyuruh-nyuruh. Emang mau dikasih apa?” balasku sambil berusaha terlihat tenang walaupun jantung ini masih berlomba.

Dia berjalan pelan mendekatiku, kemudian memutar keran wastafel.

“Gajadi deh. Kapan-kapan aja ya” jawabnya dengan mengedipkan satu matanya ke arahku sambil senyum mengejek.

Kami mengobrol sembari dia mencuci gelas. Beberapa kali tertawa karena omongan dan tingkahnya yang konyol. Kemudian tidak lama terdengar bunyi bel, tanda bahwa jam kantor telah usai. Kami pun berpamitan menuju ruangan masing-masing.

“Aku pulang duluan ya” sapaku ke Herman, rekan seruanganku.

Akhir pekan yang melelahkan ini usai. Kupandang sejenak langit yang mulai berubah jingga sebelum memacu sepeda motor. Angin sore membuatku merasa ingin segera pulang. Tidak butuh waktu lama aku pun sampai di apartemen sederhana yang tidak jauh dari kantor.

Kamar apartemenku tidak terlalu besar, namun cukup untuk ditinggali dua orang. Hanya ada sekitar tiga lampu di sini karena aku suka gelap. Kulepas sepatu diikuti dengan kemeja dan celana. Selesai mandi aku berkaca, terlintas pertanyaan mengapa pria sepertiku masih single.

Terakhir kali menjalin asmara adalah 5 tahun lalu, tepatnya masih SMA. Sampai saat ini belum ada niatan kembali merajut cinta.

Kubaringkan tubuh lelahku ini di atas kasur empuk dari hasil gaji pertama. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan belas lewat dua belas menit. Aku mengambil handphonedan membuka-buka galeri berisi foto lama. Entah kenapa suka sekali melihat foto dan video semasa SMA. Mengenangnya membuatku terkekeh. Tidak lama mataku tertuju foto sepasang kekasih yang tersenyum lebar ke kamera.

Gadis dalam foto tersebut terlihat sangat cantik. Hidung mancung dengan rambut lurus sebahu dan kulit putih halus bagai bidadari. Disampingnya pemuda berambut hitam dan badan kurus terlihat ikut menyeringai. Pemuda itu adalah aku. Kupandangi beberapa foto lain saat kami sedang bercanda, bertamasya, makan bersama, hingga tak terasa aku terlelap.



Entah berapa lama tertidur, kepala terasa sangat berat. Aku bangkit dan mencari handphone, namun tidak ada. Terseok-seok berjalan menuju cermin kemudian tersadar bahwa ada sesuatu yang aneh.

Kupandang seluruh sudut ruangan dan seketika bulu kudukku berdiri, jantung berdebar kencang. Entah bagaimana caranya aku berpindah tempat. Dalam hati aku menyontak, mengucapkan kata-kata kasar yang kurang pantas. Tapi setelah kuperhatikan lebih seksama, aku mengenal tempat ini. Ini adalah kamarku di rumah yang berjarak sekitar 375 km jauhnya dari apartemen.

Bergegas aku berlari keluar kamar. Sesuai dugaan, ini adalah rumahku. Bingung, takut dan gundah bersatu padu. Sejenak berpikir apakah aku sudah mati dan berada di alam baka? Dalam pergumulan, aku dikejutkan suara dari belakang.

“Mau sarapan apa mandi dulu?” tanya suara perempuan. Namun anehnya aku mengenali suaranya. Ini adalah suara ibuku.

“Aku mau mandi dulu aja deh, Ma” jawabku sambil membalikkan badan ke sumber suara tadi. Seseorang yang berdiri di depanku saat ini adalah ibuku. Ada perasaan lega karena setidaknya tahu bahwa aku tidak sendirian.

Aku kembali ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Pikiranku masih kacau berusaha menerka kejadian ini. Terbesit ide untuk menampar diri sendiri, namun hanya rasa sakit yang kudapati. Setidaknya satu hal sudah terjawab bahwa ini bukan mimpi. Kulihat jam dinding bergambar Batman yang menghiasi kamarku dan waktu menunjukkan pukul enam lewat dua belas menit.

Nada dering handphoneyang tergeletak di atas meja belajar membuatku terperanjat. Segera kuambil dan muncul sebuah nama yang membuat jantung kembali berlomba. Kujawab panggilan tersebut, terdengar suara manja dari seseorang dibalik telepon itu.

“Ayang udah bangun? Ayo jadi ga? Katanya mau sarapan bareng” tanya suara tersebut.

“Bentar, aku mandi dulu ya” merespon suara gadis itu.

“Okey, nanti langsung jemput ya. Bye.”


Panggilan terputus dan tanganku gemetar. Aku tahu betul gadis yang memanggilku dengan sebutan tadi adalah April, pacarku semasa SMA. Kucari informasi lain dan mendapati bahwa hari ini adalah sabtu tertanggal 11 Juni 2011. Hanya ada satu hal yang kupikirkan sekarang. Mungkinkah ini mimpi, atau jiwaku benar-benar kembali ke masa lalu.




Setelah mandi, aku berpamitan dan memacu motor hitam yang sudah menemaniku dari kelas 1 SMA. Suasana rumah dan lingkungan masih sama seperti dahulu. Jalanan sepi, angin sepoi-sepoi dingin menerpa wajah yang masih sedikit gugup ini. Setelah berkendara kurang lebih 12 menit, aku tiba di depan sebuah kost yang masih kuingat dengan jelas. Ini adalah tempat pacarku tinggal selama bersekolah. April memang bukan dari sini, dia berasal dari Kota Kembang dan dipindahkan ke sekolah tempatku belajar sejak kelas 2.

Singkat cerita, kami baru berpacaran dari bulan Januari tahun ini. Sebenarnya kami berdua sama-sama menyimpan perasaan sejak lama. Sikapnya yang periang dan lucu membuatku semakin jatuh hati padanya. Mungkin karena selama dua tahun kami satu kelas dan dia seringkali meminta diajari matematika yang mana itu keahlianku. Tidak lama kemudian keluar seorang wanita cantik berambut hitam sebahu sambil tersenyum dan mengenakan helm retro warna hijau bergambar kodok.

Mataku terpaku pada sosoknya yang kuingat masih sama seperti dahulu. Senyumnya yang manis dan mata coklatnya yang lebar memandang ke arahku. Entah apa yang ada di benakku, semua rasa bercampur aduk. Namun di samping itu, aku merasa sangat bahagia bahwa bisa bertemu dengannya kembali. Bagaikan ada ratusan kupu-kupu yang beterbangan di dalam dadaku.

“Hei, ayo, jadi engga?” dia melambai-lambaikan tangan sembari berjalan ke arahku.

“Eh, iya. Mau makan dimana nih?”

“Bubur ayam aja yuk” dia mulai naik dan duduk di jok belakang motorku.

“Berangkat” jawabku dengan girang.


Rasanya seperti di atas awan ketika tubuhnya yang hangat memelukku dari belakang dan memasukkan kedua telapak tangannya di saku jaketku seperti biasanya. Waktu serasa berjalan lambat di momen tersebut dan langit terlihat lebih jingga. Terlintas di mataku kenangan saat kami pergi tamasya ke Daerah Istimewa berdua, menaiki motor yang kupanggil dengan nama Blewuk ini. Saat kami berkeliling kota, menjajaki sawah, berjalan di antara dua pohon beringin dengan mata tertutup yang konon jika berhasil; akan berjodoh.

Akhirnya tiba juga di depot bubur favorit kami. Tempatnya ramai seperti biasanya, diisi oleh beberapa orang tua mengenakan pakaian olah raga serta beberapa pemuda-pemudi. Setelah memesan dua porsi bubur, kami duduk di meja paling ujung. Melihat sosoknya tepat di depanku membuat jantungku berdebar semakin tidak karuan, aneh memang, padahal dia pacarku.

“Besok mau ke kost jam berapa?” tiba-tiba muncul pertanyaan yang memecah lamunanku.

“Besok? Kita mau kemana ya? Aku lupa, sorry.”

Dia tersenyum pahit dan memandangku dengan alis berkerut.

“Aku kan mau pulang. Besok mobil travel jemput jam 7 pagi.”


Mendengar jawabnya membuat dadaku bagai dihunus pedang. Ternyata ini adalah momen terakhir dimana kami akan menghabiskan waktu bersama. Aku ingat bahwa hari itu dia kembali pulang ke rumah orang tuanya dan melanjutkan studi di sana. Terdiam tak mampu menjawab ataupun harus merespon ucapan tersebut, April menggenggam tangan dan memandang mataku.

“Kita kan masih bisa telfon. Ga masalah LDR, yang penting jaga komunikasi kan?” ucapannya membuatku sedikit hangat. Namun tetap saja hatiku pedih ditampar fakta.

Aku paham bahwa momen menyayat hati tersebut sudah pernah kulewati. Namun mimpi aneh ini terasa sangat nyata, begitu nyata malah. Aku bisa merasakan genggaman tangannya yang kencang dan hangat. Aku bisa melihat sorot matanya dengan jelas. Jika ini mimpi, aku ingin menikmati saat-saat bersamanya sebelum kembali ke realita.

Setelah kami berdua menyantap bubur yang masih panas dan membicarakan berbagai hal seperti rencana kuliah dan apa yang akan dilakukan setelahnya, tiba-tiba dia melakukan hal yang membuatku ternganga. Sebuah amplop berwarna putih dengan motif hati, diikat menggunakan pita berwarna merah disodorkan padaku. Kuamati dengan seksama namun tidak ingat bahwa April pernah memberiku benda ini.

“Jangan dibuka sekarang dong. Nanti setelah aku pergi ya” katanya lembut dengan senyum tipis.

Aku tercengang mendengar ucapannya. Dengan gemetar, kumasukkan amplop itu ke dalam tas slempang yang selalu kugendong kemanapun. Rasa penasaran menyelimuti dengan apa isi amplop tersebut, namun di sisi lain aku tahu persis bahwa kejadian ini tidak pernah ada. Rahasia alam memang tidak ada yang tahu. Jika ini adalah masa lalu yang diulang, bagaimana bisa ada momen yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Selesai makan, kami berdua menghabiskan waktu seharian dimulai dari pergi jalan-jalan di taman kota hingga mencoretkan inisial nama kami di salah satu bangku dekat pohon kersen. Dilanjutkan fotobox dan bermain mesin capitan pada sebuah wahana permainan di mall. Seperti sebelumnya, hari itu aku mendapatkan boneka beruang berbulu yang cukup besar dan dia sangat senang.

“Nih, kalo kamu kangen, peluk aja bonekanya biar inget aku,” sambil memberikan boneka yang kemudian dia beri nama Junior.

Senja menutup, aku mengantarnya kembali ke kost. Ada sedikit rasa sedih yang membayangi saat berpamitan, aku pun yakin dia merasakan hal yang sama.

“Jangan lupa mandi. Terus nanti telpon aku ya” pintanya sebelum masuk ke kamarnya.



Setiba di rumah, aku langsung bergegas mandi dan pergi ke kamar. Banyak sekali hal yang belum kupahami. Hati dan pikiran tidak tenang, di sisi lain masih terbayang dengan sosoknya yang kembali masuk ke relung hatiku. Setelah sekian lamanya, hatiku kembali berbunga. Ada secuil rindu dicampur bahagia yang berpusar bagaikan angin topan menyapu tanah gersang.

Malam itu kami kembali melepas rindu via telepon. Berusaha saling menghibur dibalik kepedihan, bercanda dan tertawa walaupun hati menangis. Ada secercah niatan untuk menahannya agar tak pergi, tapi terlalu naif jika aku hanya memikirkan diri sendiri. Tak terasa malam sudah larut. Kami pun menutup hari dengan ucapan selamat malam.

Entah mengapa malam itu aku tak bisa tidur. Ada perasaan gelisah yang menyelimutiku. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku. Jantung berpacu bagai kuda, urat nadi berdenyut kencang. Kemudian kepalaku terasa jangar berputar-putar bagaikan pusaran air di sebuah danau. Terbesit sedikit kenangan-kenangan saat masa SMA dulu yang muncul bagaikan layar tancap di kepalaku.

Mataku terbelalak dan tubuhku tergeletak lunglai di atas ranjang. Aku ingat semuanya. Aku ingat semua kejadian dan peristiwa dahulu. Hari itu, minggu 12 Juni 2011, aku mendapat kabar bahwa mobil yang mengantar April pulang mengalami kecelakaan maut. Semua penumpang beserta sopir tewas dalam peristiwa itu. Hatiku hancur bagai gelas kaca yang jatuh dari ketinggian.

Selama tiga hari aku mengurung diri di kamar. Duniaku serasa runtuh dan waktu berhenti seketika. Aku ingat bagaimana pada akhirnya berjuang melupakan masa lalu yang pedih itu. Bahkan aku tidak kuasa menghadiri pemakamannya.

Amplop putih yang kudapat masih tergeletak di atas meja. Sejenak terlintas keinginan untuk membukanya, namun kuurungkan demi menepati janjiku padanya. Malam itu aku merenung dan menguatkan hatiku.



Tak terasa fajar menyingsing menembus gorden merah yang menghalau jendela. Jarum waktu menunjukkan enam lebih dua belas menit. Bergegas aku mandi kemudian pamit. Sepanjang jalan aku memikirkan sesuatu. Jika ini adalah masa lalu, apa yang terjadi jika aku mengubahnya.

Tak lama berselang akhirnya aku tiba. April sudah menunggu di teras depan, lengkap dengan koper dan tas. Pagi ini aku akan menemaninya untuk mengantarnya pulang.

Wajahnya pagi ini terlihat lesu namun memaksakan untuk menorehkan garis senyum. Aku pun duduk menghadapnya, menggenggam tangan untuk menenangkannya. Kutatap matanya yang terlihat berembun dan pipi merona. Tanpa sepatah kata, kulakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan lembut kuraih dagu dan kucium bibir merahnya. Air matanya tak terbendung membasahi bibir kami. Bagaikan musafir yang menemukan oasis di padang pasir, hatiku terasa kembali penuh. 

“Jika ini mimpi, aku mau bilang terimakasih sudah kembali menemuiku.”

Dia membatu sejenak dan tersenyum pahit. Entah mengapa saat itu waktu terasa berhenti. Kupeluk tubuhnya dengan erat. Kedua bola mata ini pun tak kuasa menahan rasa rindu yang menggebu.

Mobil travel sudah datang mengampiri, namun aku tak mau melepas pelukan ini. Dia menepuk punggungku dan mengusapnya dengan lembut.

“Biarkan aku memelukmu, walaupun hanya 1 menit lagi” kubisikkan kalimat itu di telinganya.

Suara klakson mobil mulai terdengar.

I love you and will still love you” kuucapkan perlahan sambil melepas pelukanku.


Akhirnya kami berpamitan. Kuantar dan membukakan pintu untuknya. Wajahnya merona karena terisak.

Mobil berjalan menjauh, kulambaikan tangan dengan hati yang berat. Sepintas aku ingin mencegahnya pergi jika memang waktu bisa diubah lagi. Jika peristiwa ini bukan realita, aku berharap Tuhan akan selalu menjaganya.




Setiba di rumah aku langsung menuju kamar. Kuambil secarik amplop yang kusimpan dan kubuka isinya. Terdapat selembar kertas berwarna jingga dan tulisan tangan dengan tinta berwarna biru yang berisi puisi. Kubaca puisi itu dengan mata berkaca-kaca:

Quote:


Pada akhir puisi, dia menuliskan ‘ILYAWSLY’ yang aku tahu apa maknanya. Hati ini terasa terjerat, namun juga ada bahagia di dalamnya. Kupeluk kertas puisi itu dan kubaringkan badanku di atas ranjang kecilku. Waktu berlalu beberapa saat dan aku pun terlelap.





Sorot mentari pagi membangunkanku. Kubuka mata dan bangun perlahan. Rupanya hampir dua belas jam aku tertidur. Mimpi semalam tadi terasa begitu nyata. Mungkin karena aku tertidur saat sedang memandang foto-foto lama. Namun entah kenapa pagi ini hatiku lebih lega.

Aku berjalan pelan ke balkon apartemen yang terletak di lantai 12. Hawa dingin menusuk kulit, namun aku tersenyum memandang langit yang cerah. Hari minggu ini aku ingin membersihkan kamar yang mirip kapal pecah.

Kubereskan baju-baju yang sudah dicuci ke lemari namun mataku tertuju pada sesuatu. Ada secarik kertas di tumpukan paling bawah. Kuambil perlahan dan kubaca isinya. Bagaikan tertimpa gajah, sekujur tubuhku kaku. Keringat mencuat di pagi yang dingin ini.

Kertas itu berisi puisi yang kubaca kemarin dalam mimpiku sebelum berpisah dengan April. Bahkan tanda tulisan di akhir puisi pun terpampang jelas seperti baru ditulis kemarin. Aku melamun memikirkan semua kejadian dalam bunga tidurku semalam.

Tiba-tiba dikejutkan nada dering handphoneyang ada di atas kasurku. Perlahan kudekati dan kuraih untuk mencari tahu siapa yang memanggilku di pagi seperti ini. Mataku terbelalak ketika membaca tulisan nama orang yang memanggil bertuliskan huruf A.



*** Tamat ***


Quote:


Diubah oleh baccu 17-10-2022 06:39
elyasputraAvatar border
winterstrom22Avatar border
rinandyaAvatar border
rinandya dan 20 lainnya memberi reputasi
21
3.1K
52
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan