Isda555
TS
Isda555
Timnas putri Afghanistan: Lolos dari Taliban dengan masa depan sepakbola tidak pasti
Kekacauan dan keputusasaan sempat menjadi adegan di bandara Kabul. Di tengah baku tembak, orang-orang berdesakan dengan panik. Ribuan orang berusaha melarikan diri dari Taliban, dan Fati termasuk di antara mereka.


Timnas Putri Afghanistan


Fati adalah seorang penjaga gawang yang mengasah bahasa Inggrisnya dengan lancar dengan menonton serial TV dan film,  saat dirinya tumbuh di 'Afghanistan yang sangat berbeda'. Nama lengkap dan usianya dirahasiakan untuk melindungi identitas keluarganya.

Ketika Taliban merebut kembali kendali atas negaranya pada Agustus 2021, Fati dengan cepat memutuskan bahwa dia dan rekan satu timnya harus meninggalkan tanah air dan orang-orang tercinta mereka.

Selama bertahun-tahun mereka bermain bersama, sebuah tim sepak bola yang mewakili Afghanistan dengan kesempatan dan kebebasan yang lebih besar bagi perempuan. Kini pemikiran beralih ke eksekusi publik dan kebebasan yang tertahan yang telah menjadi ciri khas pemerintahan Taliban sebelumnya dari tahun 1996 hingga 2001.

Fati menganggap kembalinya Taliban adalah hal yang tidak mungkin. Ketidakpercayaannya segera berubah menjadi rasa putus asa dan ketakutan. Dirinya harus pergi.


suasana di gerbang timur bandara Kabul pada 25 Agustus 2021


"Saya menerima bahwa Afghanistan sudah berakhir," ungkapnya.

"Saya pikir tidak ada kesempatan untuk hidup, tidak ada kesempatan bagi saya untuk keluar lagi dan memperjuangkan hak-hak saya. Tidak ada sekolah, tidak ada media, tidak ada atlet, tidak ada apa-apa. Kami seperti mayat di rumah sendiri.

"Selama dua minggu saya tidak pernah tidur. Bersama ponselku selama 24 jam, mencoba menghubungi seseorang, siapa saja untuk meminta bantuan. Sepanjang hari dan sepanjang malam, terjaga, mengirim pesan dan mencari di media sosial."

Fati dan rekan satu timnya memang menemukan jalan keluar. Mereka dibantu oleh jaringan internasional wanita yang 'tak terlihat' yang memandu langkah mereka menuju keselamatan.


Berikut adalah kisah pelarian mereka.

Berawal dari jarak 12.700 km jauhnya di Houston, Texas, dimana seorang mantan marinir Amerika Serikat berusia 37 tahun sedang merencanakan evakuasi.

"Rasanya seperti pusat operasi virtual kecil dengan WhatsApp," kata Haley Carter. "Jangan pernah meremehkan kekuatan wanita dengan smartphone."

Carter, 37, juga seorang penjaga gawang. Setelah menjalankan tugas di militer dengan penugasan di Irak, dia bermain tiga musim dengan tim NWSL Houston Dash sebelum beralih ke pelatihan. Antara 2016 dan 2018 dia adalah asisten pelatih Afghanistan.

*NWSL adalah liga sepak bola profesional Wanita di Amerika Serikat.

Haley Carter mungkin berada ribuan mil jauhnya, tetapi dirinya berbagi informasi intelijen tentang situasi yang berubah sangat cepat di Kabul dengan marinir dan staf Keamanan Nasional melalui aplikasi pesan terenkripsi seperti WhatsApp dan Signal. Operasi itu dijuluki 'Digital Dunkirk'.

"Dalam situasi pertempuran normal, informasi semacam itu tidak akan dibagikan. Tapi ini adalah evakuasi," kata Carter.

"Saya akan jujur kepada Anda, saya tidak berpikir hal itu akan mungkin terjadi. Itu adalah hal gila dan liar jika melihat kembali ke belakang."

Carter juga mendapatkan support dan bantuan dari Khalida Popal, mantan kapten tim nasionalnya yang telah terlibat dalam sepak bola wanita Afghanistan selama bertahun-tahun.

Sebagai seorang remaja di bawah pemerintahan Taliban, Popal dan teman-temannya akan memainkan pertandingan secara sembunyi-sembunyi sehingga Taliban tidak akan mendengar dan mengetahuinya. Dia meninggalkan Afghanistan karena ancaman pembunuhan atas keterlibatannya dalam pertandingan dan sejak 2011 telah menetap di Denmark.

Waktu sangatlah penting. Popal tahu bahwa Fati dan rekan satu timnya akan rentan terhadap penyelidikan Taliban karena eksploitasi olahraga mereka. Dia juga tahu bahwa tentara akan melakukan pengecekan secara  door to door. Banyak atlet wanita di Kabul bersembunyi. Banyak yang takut akan keselamatan jiwa mereka.

Dia meminta Fati dan pemain lainnya untuk menghapus akun media sosial mereka, membakar seragam dan mengubur piala mereka.

“Hal yang sulit karena itu adalah prestasi kami,” kata Fati. "Siapa yang mau membakar jerseynya? Saya pikir, jika saya bertahan, saya akan mencatatkan [prestasi] lagi."

Pada saat yang sama, Carter juga sedang merencanakan untuk membawa mereka dengan pesawat militer ke luar negeri secepat mungkin. Dirinya tahu bahwa situasi keamanan di ibukota Afghanistan hanya akan menjadi lebih berbahaya. Dia sangat yakin pemerintah AS dan Inggris salah menangani situasi. Dan Taliban sedang mendirikan pos pemeriksaan.

"Khalida mengirim sms kepada kami semua yang berbunyi 'girls, bersiaplah untuk berangkat ke bandara bersama-sama, masing-masing hanya satu ransel'," kata Fati.

"Dia berkata: 'Kami tidak dapat memastikan kepada kalian bahwa kami yakin kalian akan masuk ke dalam bandara. Tetapi jika kalian berjuang, kalian akan selamat.'"


Mantan kapten Afghanistan Khalida Popal yang juga memainkan peran kunci dalam membantu para pemain


Ketika saatnya tiba, Fati menuliskan nomor telepon Carter di lengannya untuk berjaga-jaga jika ponselnya dicuri atau disita. Carter juga memberi tahu Fati bahwa para pemain harus merotasi dengan mengaktifkan ponsel mereka untuk menghemat masa pakai baterai di antara grup.

Fati meninggalkan rumah dengan membawa barang sesedikit mungkin, seperti yang diinstruksikan. Dia mengenakan jubah panjang yang juga menutupi wajahnya. Perjalanan ke bandara penuh dengan bahaya, yang setiap saat dapat menghentikan langkah para pemain dari jalur mereka.

Popal menyarankan untuk membawa persediaan yang dibutuhkan selama tiga hari, hanya untuk berjaga-jaga. Namun selain charger telepon, pakaian dan air, Fati tak kuasa menahan diri untuk tidak mengambil barang lain, meski hal itu berisiko besar.

"Saya membawa salah satu celana tim nasional," katanya. "Saya memakainya seperti pakaian dalam dan saya takut akan hal itu."

Situasi di bandara benar-benar tampak menyedihkan. Ribuan orang telah berkumpul, beberapa dari mereka bahkan melakukan perjalanan dari daerah yang paling jauh di negara itu.

"Orang-orang saling berhimpitan dan mencoba masuk ke dalam secepat mungkin," kata Fati.

"Ini adalah masalah hidup dan mati. Semua orang berusaha untuk bertahan hidup."

Bagi sebagian besar, perjuangan itu sia-sia.

"Jika nama Anda tidak ada dalam daftar, atau tidak ada orang di dalam bandara yang keluar untuk menjemput Anda, Anda tidak akan diizinkan masuk," kata Carter.

"Jadi kami harus bekerja ekstra keras untuk memastikan bahwa rekan-rekan marinir di gerbang memiliki informasi tentang mereka untuk memastikan mereka bisa masuk."

Carter memberitahu Fati bahwa "akan ada seorang pria di gerbang utara".

Dia menambahkan: "Anda harus berada di sana tepat waktu dan menuliskan kata sandi yang saya berikan kepadamu. Dia akan mengerti dan tidak akan ada pertanyaan dan kalian akan diizinkan masuk."

Kata sandinya adalah nama pahlawan angkatan laut Perang Dunia Kedua John Basilone, dan tanggal korps marinir didirikan - 10 November 1775 - dikombinasikan dengan berbagai simbol lainnya.

"Dikomunikasikan kepada saya bahwa itulah yang akan dicari oleh marinir di gerbang," kata Carter. "Marinir akan tahu bahwa marinir lain menyuruhnya menulis tanda itu."

Namun di gerbang utara, Fati dan rombongannya disuruh kembali. Pesan itu tidak sampai.

"Saya mencoba menunjukkan kode itu tetapi tentara tersebut menolak dan berkata, tim nasional apa? Siapa kamu?" kata Fati.

"Dia berkata, jika Anda memiliki paspor AS, kami akan mengizinkanmu masuk dan tidak ada opsi lain."

Di Houston, Carter harus merubah ulang rencananya.

"Hatiku tidak akan menyerah pada saat itu karena saya dalam mode operasional," katanya.

"Aku bilang oke, tidak masalah, beri saya waktu agar bisa mengkomunikasikan kembali dengan orang-orang di gerbang sehingga mereka tahu kalian akan datang.

"Saya pikir dia (Fati) stres, dan memang begitu kenyataanya. Saya tidak stres, karena jika saya stres, stres itu pasti akan mempengaruhinya juga."

Fati dan pemain lainnya hanya bisa menunggu.

"Saya memperkirakan, selama 48 jam kami berada di luar bandara," katanya.

“Cuacanya terlalu panas, tidak ada angin. Anak-anak di sekitar kami menangis dan berteriak, dan berkata, 'ayo pulang, kami tidak mau mati'. Setiap kali mereka mendengar suara tembakan, mereka berteriak.

"Ada begitu banyak pasang mata yang menatapku untuk melakukan sesuatu, menemukan jalan."

Fati memutuskan dia dan para pemain akan mencoba lagi, kali ini di gerbang selatan. Ada dua pos pemeriksaan Taliban di sepanjang jalannya.

Pada awalnya, dia dipisahkan dari kakaknya yang dipukuli dengan kejam. Kemudian, dia sendiri ditendang dan dipukul oleh para pria bersenapan yang mendorong kerumunan mundur.

Dengan beban tanggung jawab di pundaknya, di tengah-tengah kehancuran tubuh, panas dan tembakan, dia merasa semuanya sudah berakhir. Dia merasa ingin menyerah.

Kemudian dia ingat pesan teks yang dikirim Popal padanya: "Jika kamu berjuang, kamu akan selamat."

Fati berkata: "Itu adalah sesuatu yang menerangi kegelapan tersebut. Tiba-tiba, ada sesuatu yang menyuruhku untuk bangkit dan memulai lagi dengan cara yang kuat. Itu adalah pelajaran yang akan saya simpan sepanjang hidupku; selalu ada harapan, selalu ada pintu yang terbuka."

Para pemain berkumpul kembali. Serentak, memanfaatkan gangguan yang menarik perhatian para penjaga Taliban, mereka berlari ke arah tentara Australia di seberang, masih di pintu masuk selatan bandara.

"Ada begitu banyak orang tetapi kami berhasil melewati pos pemeriksaan terakhir," kata Fati. "Kami melihat tentara Australia dan meneriakkan kalimat seperti, 'pemain tim nasional', 'Australia' dan 'sepak bola'.

"Mereka melihat dokumen kami dan membiarkan kami lewat."


Awak pesawat bersiap untuk mengevakuasi pengungsi di bandara Kabul pada Agustus 2021


Ketika Fati, rekan satu timnya dan beberapa Paralimpiade Afghanistan naik pesawat angkut militer C-130 menuju Australia, dia mengirim foto dan pesan ke Carter. "Aku berhasil. Kami berhasil."

*Paralimpiade adalah ajang kompetisi olahraga internasional untuk atlet penyandang disabilitas.

C-130 adalah pengangkut perangkat keras dan pasukan untuk zona perang, dan gadis-gadis itu ditampung di area kargo, berusaha senyaman mungkin untuk tidur di bahu satu sama lain.

Jadi tidak ada tatapan terakhir yang dramatis ke bawah melalui jendela ke tempat yang selalu menjadi 'rumah' bagi mereka.

"Pesawat baru saja lepas landas dan hanya kebisingan dan ketakutan yang kami rasakan. Melihat sekeliling, hanya ada wajah-wajah ketakutan," kata Fati.

"Aku berpikir, kamu tidak akan pernah bisa melihat tempat yang indah ini lagi dimana kamu mendapatkan kenangan dan tumbuh dewasa. Ini terakhir kalinya bagimu."

Pada 2010, dalam pertandingan resmi pertama mereka, yang dikapteni oleh Popal, tim putri Afghanistan kalah 0-13 dari Nepal.

Terlepas dari skornya, sebuah momentum terpancangkan yang hanya bisa berkembang dalam kebebasan relatif Afghanistan tanpa pemerintahan Taliban.

"Kami adalah suara bagi semua orang yang tidak bersuara," kata Fati.

“Hal itu membuat orang tuaku mengubah pola pikir mereka, terutama ayahku. Dia memiliki pola pikir yang sama dengan pria lain yang berpikir bahwa olahraga tidak baik untuk wanita.

"Beberapa orang berpikir kami hanya mencoba bersenang-senang. Tapi mereka tidak mengerti bahwa itu bukan hanya kesenangan belaka. Ini tentang hubungan sosial, ini tentang hak.

"Tim nasional kami adalah tentang semua wanita yang 'disembunyikan'."

Tim tersebut tidak pernah mendekati kualifikasi untuk turnamen besar seperti Piala Dunia atau Piala Asia, tetapi dibawah pelatih Amerika Kelly Lindsey dan asisten Carter mereka mencapai ambang 100 besar dunia, meskipun terlalu berbahaya bagi salah satu pelatih mereka untuk menginjakkan kaki di tanah Afghanistan.


Carter, foto tahun 2016 saat bermain untuk Houston Dash


Pertandingan resmi terbaru yang melibatkan pesepakbola wanita Afghanistan adalah pada Juni 2021 dalam turnamen U-20 untuk negara-negara Asia Tengah di Tajikistan.

Dua bulan kemudian, Taliban kembali berkuasa.

Di Australia, Fati dan rekan satu timnya berlatih bersama untuk pertama kalinya pada Februari setelah Melbourne Victory menyediakan fasilitas dan pelatih.

"Rasanya luar biasa," kata Fati.

“Saya pikir, segala hal yang kami miliki telah kembali, dan ada harapan baru untuk semua rekan satu timku.

Aku telah mengunci senyum itu dalam ingatanku. Dan saya pikir, saya berhasil. Kami tidak akan tersesat."

Pada bulan April, mereka melewati tonggak sejarah lainnya. Dilatih oleh mantan pemain internasional Wales Jeff Hopkins, yang sekarang menjadi pelatih tim wanita Melbourne Victory, mereka memainkan pertandingan pertama mereka sejak kabur dari Kabul, bermain imbang 0-0 melawan tim non-liga lokal.

Seragam Afganistan tidak memiliki nama, hanya nomor di bagian belakang jersey - sebuah pengingat bahwa meskipun mereka aman, kerabat mereka masih berisiko diidentifikasi dan mendapatkan balasan.

Masa depan terlihat tidak pasti. Untuk bersaing secara internasional dalam kompetisi resmi mereka akan membutuhkan dukungan dari Asosiasi Sepak Bola Afghanistan (AFA), dan persetujuan dari Taliban, yang tak seorang pun mengganggap hal itu akan diberikan.

Pada bulan September tim ditarik dari kualifikasi untuk Piala Asia wanita dibulan Februari, yang akhirnya dimenangkan oleh China.

FIFA menggambarkan situasi di Afghanistan sebagai "tidak stabil dan sangat mengkhawatirkan". Mengatakan "tetap berhubungan" dengan AFA dan "tetap berkomitmen untuk mengembangkan permainan". Tetapi tidak dapat dikatakan dengan jelas apakah Fati dan rekan-rekan setimnya dapat kembali mewakili negara mereka.

Sementara itu, tim putra telah bermain baru-baru ini dan gagal dalam kualifikasi untuk Piala Asia 2023. Presiden AFA, Mohammad Kargar, belum menanggapi permintaan untuk wawancara.

Fati tetap teguh.


Tim nasional wanita Afghanistan ketika memainkan pertandingan tidak resmi di Australia


"Kami khawatir dengan gelar tim nasional Afghanistan, apakah kami akan mendapatkannya secara resmi atau tidak," ungkapnya.

“Jika AFA mengatakan tidak dengan tim nasional, hal itu tidak masalah karena saya memiliki rekan satu timku. Kami memiliki satu sama lain. Kami akan bermain bersama atau secara individu. Kami sudah menjadi keluarga dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

"Tujuannya adalah agar kami menjadi tim nasional Australia atau negara tempat kami berada. Kami tetap orang Afghanistan dan bagaimanapun, kami akan menjadi perwakilan dari kebangsaan kami."

Carter akhirnya bertemu Fati di Australia pada bulan April.

"Dia wanita muda yang luar biasa," ungkap Carter.

“Bukan hanya akal, tetapi keberanian yang ditunjukkan oleh seluruh kelompok wanita muda, Fati sebagai pemimpinnya. Ketangguhan dan keberanian yang mereka tunjukkan selama setahun terakhir sangat menakjubkan.

"Wanita-wanita itu adalah pahlawanku."


sumber: BBC Sport
lleonelbasti372
lleonelbasti372 memberi reputasi
2
2.2K
15
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan