m60e38Avatar border
TS
m60e38
Keabadian yang Kau Harapkan | [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali
君が望む永遠 - Keabadian yang Kau Harapkan

Quote:


Senja yang Kehilangan


Kabupaten Bandung Barat, Juli 2021

Apa yang terpikirkan ketika mendengar frasa cinta?

Setiap insan pasti memiliki definisi tersendiri terkait lima huruf itu, membiaskan miliaran makna, menyuratkan seluruh arti keindahan nan elok, meruntuhkan segenap elegi, dan membenamkan sekujur kebencian dengan sentuhan lembut nan menggetarkan.

Lalu, apa yang terpikirkan saat mendengar kalimat mantan kekasih?

Tentunya haru biru kisah semara akan menyeruak, memutar segenap imaji tentang pahit dan manis, merundung hati yang terluka akan kesalahan di masa lampau, dan mungkin tidak pernah diinginkan oleh sesiapapun.

Begitu pula dengan asa ini, ketika sosok mantan kekasih, wanita yang menemani ketika kegundahgulanaan hati pekat menyelimuti setiap sudutnya, dan ia berada di sana, ketika kisah manis itu teruntai.

Di senja yang kunikmati bersama Cauthelia, wanita yang paling kucintai, sebuah pesan dari seorang mantan terkasih tampil di grup alumnus kelas.


Assalamu’alaikum
Ada yg tau nomornya Faristama gaa?


Entahlah, getaran yang selama ini terpendam untuk dirinya sontak menyeruak, menjejerkan seluruh imaji indah. Segala kenangan tentang wanita yang pernah hadir di hidupku delapan-belas-tahun silam itu seolah mengisi kalbu dengan dahsyat.

Bukan karena aku pernah merasakan kehangatan yang selalu dibalut hijab bahkan sedari ia masih di sekolah menengah pertama, namun karena perasaan cinta tulusnya yang dijaga olehnya, bahkan sampai aku bertemu dengan Cauthelia tiga-tahun kemudian.

Namun segalanya sekejap lalu tatkala salah satu sahabatku memberikan nomor ponselku kepadanya. Alih-alih merespons dengan membenarkan, aku malah memilih diam, tidak melanjutkan apapun, takut-takut yang dirasakan hanya kenangan semu yang berusaha mengganggu pikirku.


*****


Dua jam berlalu, tidak ada semboyan apapun yang teruntai semenjak pesan di platform besutan Meta tersebut terkirim. Logika ini langsung meruntuhkan asa yang barusan terpercik, berusaha memadamkan gelora semara, berkobar begitu dahsyat melumpuhkan sadarku.

Tidak lama ponsel ini pun menyala, wanita itu benar-benar meneleponku.

Assalamualaikum,” sapanya, suaranya begitu lembut di ujung sana.

Deg!

Ragaku seketika membeku, dihantam getaran begitu dahsyat yang menelusup di indra. Sungguh lisan ini langsung kelu, seolah tiada satu frasa pun yang dapat terlontar untuk membalas kelembutan terdengar dari ujung sana.

Sajak rindu itu langsung menggelora, suaranya bak embusan angin yang menyejukkan hati, membelai seluruh jiwa dengan keanggunan tak ternilai dari seorang wanita yang pernah singgah dan bertahan di hatiku hingga saat ini.

“’Alaikumsalam,” jawabku, setelah menghela napas panjang.

Kamu masih inget sama aku kan, Tam?” tanyanya pelan.

Sungguh frasa terlontar itu langsung membangkitkan elegi tentang bagaimana raga ini begitu alpa, meninggalkan dirinya karena ketidaktegasan hatiku pada masa itu.

“Ma-masih,” ujarku seraya memproses apa-apa yang baru saja terjadi, “kenapa?”

Aku mau ketemu sama kamu,” ujarnya pasti, “ada yang mau aku omongin.”

Deg!

Sesak itu kembali merengkuh asa, desakan adrenalin dari frasa yang terlontar dari ujung sana terdengar begitu tegas dan angkuh, menjatuhkan kepercayaan diri yang selama ini dibanggakan. Rasa yang sama, masih tersimpan untuk sosoknya, sungguh terdengar begitu mengintimidasi, menyalahkan segenap absensi asaku atas semara yang telah ia akui delapan-belas-tahun yang lalu.

“Ka-kapan?” tanyaku singkat, di antara deru degup jantung yang begitu kencang.

Sebisanya kamu lah Tam,” ujarnya dengan nada yang masih mengintimidasi, “aku butuh banget penjelasan kamu.

Bahkan aku tidak menyangka, lisannya masih begitu santun berujar kepada diri ini. Suara lembutnya masih tetap sama, tetap seperti gadis yang kukenal sejak dahulu, segalanya tidak berubah.

Bahkan intonasinya saat menyebut namaku.

“Lusa bisa?” tanyaku singkat, mataku sedikit berputar seraya mengingat suatu hal, “kebetulan aku di Lembang, rumah kamu gak jauh dari sini kan?”

Seketika lisannya terkunci.

Tiada frasa apapun, hanya hening yang melanda di antara percakapan hangat ini. Hela napasnya terdengar begitu berat, terburu, bukan seperti dirinya yang kukenal dahulu.

Lembang,” ujarnya pelan, “sejak kapan kamu di sana, Tam?

Kuhela napas panjang, “baru sebulan terakhir kok. Aku aja yang cari tempat di deket kamu.”

I-iya,” jawabnya singkat, “berarti aku gak perlu share location ya?

“Kita ketemuan di luar aja,” ujarku pelan, “nanti aku kasih infonya agak sorean.”

Presensinya sekejap langsung melambungkan segenap imaji yang pernah tercipta ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia adalah gadis yang begitu populer ketika itu, bahkan sahabatku banyak yang menaruh hati kepada sosoknya.

Namun aku selalu menjadi pemenang, selalu mendapatkan apa-apa yang diinginkan, terlebih urusan semara. Bukan karena keparipurnaan fisik, ataupun elok dalam merangkai kata, aku hanyalah orang biasa dan apa adanya. Namun, aku selalu bisa mendapatkan gadis manapun yang diinginkan.

Termasuk dirinya, Karenina.


*****


Kuhela napas panjang seraya melihat instrument clusterkendaraan besutan Bavaria yang kini telah bersiap, menerima input dari tubuh ini untuk melaju ke tempat di mana akan bertemu dengan wanita itu.

Sedikit banyak, aku masih menyimpan rasa bersalah kepadanya, dan semenjak perpisahan dari SMA, aku pun tidak kunjung menyatakan permintaan maafku kepadanya, padahal raga ini hanya terpaut empat-lima-meter selama enam tahun berturut-turut.

Apa kabarnya kini?

Sungguh, apabila bukan pertanyaan di grup WhatsApp tersebut, aku tidak mungkin lagi mengingat segala rasa yang tiada akan pernah kembali. Rasa yang telah mengendap lama, terkonstelasi bersama dengan kenangan bersama gadis lainnya.

Terakhir, aku mengetahui bahwa ia telah hijrah sepenuhnya, pakaiannya pun jauh lebih tertutup dari Cauthelia; ia mengenakan niqab untuk menutupi wajah cantiknya, dan tentunya menutupi lekuk tubuh jam pasirnya yang selama ini ia tiada pernah tampakkan.

Baiklah, ini adalah saatnya.

Dengan sedikit sentuhan ke belakang, tuas transmisi elektronik ini langsung memindahkan tenaganya menuju keempat roda yang saat ini langsung sigap melahap aspal yang tidak terlalu mulus di depannya. Membawa kendaraan berbobot dua ton ini meninggalkan rumah, dan menuju ke Bandung, tempat di mana aku berjanji menemuinya.

Perjalanan siang ini tidak seberapa ramai, mungkin akibat pembatasan yang dilakukan pemerintah terhadap kegiatan masyarakat di era pandemi ini. Beberapa satuan polisi bahkan tampak menjaga perbatasan, mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan melaju, melintas area yang dilarang.

Sentimeter-demi-sentimeter ruas jalan di kota ini dibelah oleh keempat Pirelli P Zero yang tersempat, memuluskan laju kendaraan ini agar segera tiba di tempat tersebut; menemui sang pujaan hati ketika aku masih baru saja mengenal apa itu cinta.

Sejenak, setelah kuparkirkan kendaraan ini, ragu itu mulai merundungku lagi, memberikan jeda bagi hatiku untuk segera mengundurkan diri dari jeratan semara, mungkin akan terjalin dalam waktu singkat tatkala dua insan yang sudah tidak berhak bertemu ini akan saling bercengkrama.

Namun, ablasa terus memenangkan pergolakan hati, menuntun raga untuk menghentikan kedelapan piston yang berpacu, bergerak rekursif, rakus membakar BBM RON98 untuk membiarkan pulinya berputar, mengkompresi CF3CH2F agar bekerja mendinginkan kabin ini.

Kuhela napas panjang seraya menekan tombol start/stop yang berada di sebelah kiri setir. Kubuka pintu kendaraan yang cukup berat ini seraya memandang layar kecil yang menjadi kunci kontaknya sebelum raga ini menjauh dan layarnya berubah.

Dadaku begitu berdegup kencang, tidak kuasa menahan apa yang akan terjadi ketika aku harus bertemu lagi dengan sosok yang telah menjadi inspirasiku saat remaja, namun bukan berada di semesta Shinta yang saat itu juga dekat denganku.

Lambaian tangan penuh suka cita terlihat tatkala raga ini sudah berada di perimeternya. Seorang wanita dengan pakaian hitam, serba tertutup, hanya menunjukkan matanya, lengkap bersama kacamata Lexington yang justru membuatnya tampak menarik.

Deg!

Apa yang kurasakan kini?

Dadaku begitu sesak ketika milimeter-demi-milimeter jarak tertempuh, mempertemukan raga yang telah saling mengenal selama delapan-belas-tahun ini.

Apa yang kupikirkan saat ini?

Raga ini tiba-tiba langsung duduk di seberang wanita yang tampak tersenyum, walaupun hanya matanya saja yang tampak. Sungguh, ia benar-benar menutup tubuhnya dengan pakaian itu.

“Faristama Aldrich,” panggilnya, nadanya begitu antusias.

Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala pelan.

“Kamu ke mana aja?” tanyanya lagi, “lama banget ya gak ketemu.”

Kuhela napas pelan, “iya, semenjak lulus SMA.”

“Kamu gak banyak berubah,” ujarnya dengan nada masih antusias, “cuma lebih gemukan aja.”

Kubalas lisannya dengan seutas senyum, “berarti kan bahagia ya kalo gemuk kata orang mah.”

Ia lalu tertawa, “bisa aja kamu.”

“Canggung euy,” sahutku seraya beberapa kali menghela napas, “kayak ada hal yang berasa misahin aku sama kamu.”

Ia lalu menatapku dengan tatapan yang berbeda, “maksud kamu?”

Entahlah.

Aku sudah memiliki Cauthelia.

Bahkan aku punya selir lain yang mungkin tidak dapat kusebutkan.

Namun entah mengapa, aku masih saja gugup di depan Karenina?

Sejenak kenangan tentangnya terputar, alih-alih menerima pernyataan cinta gadis itu, aku malah pergi menjauh. Bukan tanpa alasan, sahabatku yang begitu dekat denganku juga mencintainya.

Aku ingin ia bahagia bersama Karenina, namun ternyata gadis ini tidak menaruh rasa sedikitpun kepadanya, meskipun banyak hal telah terlampaui bersama, dan waktu juga sudah bergulir untuk mengukuhkan perasaan yang ternyata tiada kunjung berpagut.

“Ada satu hal,” ujarku pelan, memulai ini semua, “aku gak yakin kamu mau dengerin aku.”

Tiba-tiba, sorot mata wanita itu berubah, ia menatap begitu tajam seraya dadanya tampak naik turun, tidak dapat disembunyikannya dari balik pakaian yang saat saat ini ia kenakan.

“Udah 18 tahun Ren,” kataku pelan, “dan aku yakin sekarang udah gak berguna lagi.”

Ia lalu memajukan tubuhnya, “ngomong aja Tam, aku mau denger.”

Deg!

Sungguh, seumur hidupku, aku tidak pernah segugup ini di depan seorang perempuan. Aku dapat menaklukan mereka dengan mudah, membuai mereka dengan cinta, menjanjikan mereka kenikmatan dan kelezatan yang selalu didapatkan, namun tidak dengan perasaan ini.

Perasaan bersalah, karena telah mencampakkan gadis yang seharusnya hidup bahagia bersamaku.

“Inget kan,” ujarku pelan, “kita deket dari kelas 1 SMP?”

Tidak ada jawaban, hanya anggukan kepala pelan dari wanita itu.

“Kamu tahu, perasaan aku ke kamu saat itu, sama dengan perasaan kamu ke aku.”

Hening.

Suara riuh frasa insan yang tidak seberapa banyak di ruangan ini seolah menjadi elegi, mengolok dan mencemooh ketidaktegasan hatiku saat itu. Sesekali deru mesin Otto juga terdengar bak simfoni minor, menjatuhkan harga diriku terlalu tinggi kunilai.

Matanya terus mengulitiku, aku benar-benar bisa melihat air wajahnya yang begitu terdistorsi, namun tiada getaran amarah yang ditranslasikan dari sana, meskipun pada akhirnya matanya tergenang, dan hilang tatkala ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Isakan minor langsung menyeruak, menyayat indraku seraya menancapkan luka begitu dalam di asa ini, melambungkan rasa bersalah yang tiada pernah lagi terasa hingga kini. Hingga wanita itu menghubungiku terlebih dahulu dua hari yang lalu.

“Kenapa Tam?” ujarnya pelan, “kenapa kamu gak ngomong?”

“Kenapa kamu malah biarin aku patah, layu, rusak karena nungguin jawaban dari kamu?”

Deg!

Sesak rasanya mendengar simfoni itu mengalun dari lisannya. Sungguh, aku mengepal-ngepal tanganku seraya menyalahkan absensi diriku di hatinya ketika ia membutuhkanku dahulu.

“Kenapa baru sekarang Tama ngomong sama Karenina?”

“Harusnya,” ujarnya, terisak, “harusnya ada Tama yang temenin Karenina, dampingin Karenina, dan Karenina gak akan rusak dulu.”

Deg! Deg! Deg!

Seluruh tubuhku langsung lemas, kerrngka tubuhku bahkan enggan berada lagi di raga ini, melepas segenap sendi, dan menjatuhkan beban rasa bersalah itu di atasnya, membuat mataku pun buram.

Tanpa terasa air mata ini mengalir pelan, hal yang sudah lama tidak terjadi padaku.

Mereka selalu mengatakan, aku adalah sumber kebahagiaan, kenikmatan, dan kelezatan. Aku selalu menjaga perasaan mereka, agar tidak terlalu dalam berharap dari sosok ini, dan akhirnya itu menjadi bumerang dalam hubungan bersama Karenina.

“Maafin aku Ren,” ujarku pelan, “maafin aku.

“Aku gak nyangka akan begini,” ujarku seraya mencoba menatap wanita yang masih saja melindungi harga dirinya dengan niqab hitam, menutupi kecantikannya agar tidak dinikmati laki-laki bukan mahromnya, termasuk diriku.

“Udah takdir Tam,” ujarnya pelan, “dan kamu selalu jadi kenangan indah buatku kok.”

Deg!

Rasanya bagai disayat sembilu, hati ini sudah tiada kuasa menahan gejolak emosi yang diberikan oleh perasaan bersalah, mengendap belasan tahun di dalam asa, dan semuanya meledak ketika kenyataan itu terdengar dari lisan Karenina Almira, saat ini masih terisak di seberangku.

Duniaku terasa gelap, aku bahkan tidak pernah merasakan ini sebelummnya.

Tidak sekejap pun, selama darah mengalir di tubuhku, sepanjang oksigen mengisi paru-paruku, aku merasakan sehina ini.

Entah apa yang harus kukatakan kepadanya.

Kini aku bungkam, dihajar oleh pengakuan Karenina, bertubi-tubi memojokkan keadidayaan asa yang selama ini selalu dibanggakan. Segalanya terasa runtuh ketika mendengar, seseorang tidak berbahagia, dan penyebabnya adalah ketidaktegasanku.

“Ren,” ujarku pelan, “aku bener-bener minta maaf sama kamu.”

Ia hanya mengangguk, berusaha mengalihkan ekor matanya, seperti enggan walau hanya untuk menatapku. Ia mengakhiri semuanya dengan memundurkan tubuhnya, merebahkannya di sandaran kursi seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Aku gak tahu Tam, harus gimana denger pengakuan kamu,” ujarnya pelan, ia lalu memandang nanar ke arahku, “aku seneng, tapi juga sedih.”

Helaan napasnya terdengar begitu pilu, aku bisa merasakan betapa ia mungkin mengharapkan pengakuan dan juga akuisisi hati yang seharusnya dilakukan pada masa delapan-belas-tahun yang lalu.

“Aku akan lakuin apa aja, asal kamu bahagia, Ren.”

Wanita itu lalu tertunduk, ia menggelengkan kepalanya, “apa yang bisa aku lakuin, sementara kamu udah beristri, kan?”

Kupandang wanita itu, masih tertunduk, nampaknya enggan baginya untuk sekadar mengarahkan ekor matanya kepada raga ini, “dan kamu juga udah bersuami, Ren.”

Ia menggeleng, “bukan jadi urusanmu, Tam.”

Aku menatapnya agak heran, “maksud kamu, Ren?”

Sekejap, ia melempar pandangannya ke arah jendela kaca besar yang memisahkan antara ruangan ini dan dunia luar. Agak lama ia menatap ke arah jalan raya, membiarkan indranya melihat beberapa kendaraan yang lalu lalang, dan akhirnya ia menatapku.

“Suami aku, bukan urusan kamu,” ujarnya pelan, “yang jadi masalah adalah istri kamu Tam.”

“Dia marah gak kalo aku ketemu kamu?”

Kulempar senyuman ke arahnya, “aku gak pernah sembunyiin semua tentang wanita manapun yang ada di hidup aku.”

“Aku tahu,” ujarnya pelan, “Nadine, Shinta, Talita, dan semua cewek yang dateng di hidup kamu, Lia pasti tahu.”

Kuanggukkan kepala pelan namun pasti, seraya tetap menguntai senyum kepadanya, “kamu bener Ren, semua tanpa terkecuali.”

Ia lalu menatapku serius, “aku mau ngomong satu hal sama kamu.”

Aku mengernyitkan dahi seraya menambatkan ekor mataku ke arahnya. Senyumannya tampak mengembang, bahkan niqab yang ia kenakan tidak dapat menutupi ekspresi yang teruntai saat ini.

“Tama mau kan bantuin Karenina,” ujarnya pelan seraya memanjukan tubuhnya.

“Apaan itu Ren?”

“Buat aku bahagia,” ujarnya pelan, “aku cuma minta itu dari kamu.”

“Maksud kamu, Ren?” aku semakin tidak paham, ke mana arah pembicaraan wanita ini.

“Kamu naik apa ke sini, Tam?”

“Aku bawa mobil sih,” ujarku pelan, “mau dianterin pulang?”

Ia menggeleng, “ajak aku jalan, nanti aku ceritain semuanya ke kamu.”
Diubah oleh m60e38 06-07-2022 17:14
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
6
1.4K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan