arganovAvatar border
TS
arganov
BAYANGAN HITAM
by: ArgaNov

Aku memejamkan mata, berusaha keras untuk tidak terganggu dengan bisikan lembut di telinga. Tuhan, ini tidak bisa. Aku tidak bisa bersikap tidak terjadi apa-apa jika seperti ini.

Bulu kudukku merinding ketika udara dingin berhembus di telinga.

“Tidak apa, Nak, Mama di sini.”

Aku kembali berusaha memejamkan mata.

***

“Gimana Din? Dapat izin dari nyokap lo?”

Aku yang belum selesai dengan catatan di papan tulis, melirik sedikit sebelum menjawab. “Lo tahu sendiri, kan, nyokap gue. Mana mau dia kasih izin buat pergi gitu aja.” Aku kembali fokus pada paragraph kedua tentang pengembangbiakan hewan di papan.

“Nyokap lo beneran nggak asyik.”

“Mayang, Sayang. Bukan nggak asyik, nyokap gue cuma terlalu cintaaa sama gue.” Aku mencubit pipi Mayang gemas dengan suaranya yang cempreng aduhai, menganggu konsentrasiku saja.

“Nyokap gue juga sayang sama gue, Say.” Mayang bersidekap, tak ingin disalahkan,

Apalagi aku. Mayang hanya tak tahu apa yang sudah terjadi pada Mama. Ia meiliki kedua orang tua lengkap, dua Abang yang siap menjahilinya dan adik perempuan yang juga bisa dijahili.

Sementara Mama hanya memiliku saja. Tidak ada yang lain. Papa anak tunggal. Mama juga. Papa meninggal saat aku berusia dua tahun. Aku bahkan tidak ingat wajah Papa. Aku hanya bisa tahu dari foto pernikahan mereka yang sudah usang di dalam pigura.

Nanti aku coba tanya lagi sama Mama. Mudah-mudahan kali ini dikasih izin.” Aku menaikan alis meminta pengertian Mayang dan kulihat dia mengangguk menyetujui.

“Ke kantin?” Ia mencolek bahuku lagi.

Aku mengeleng. “Catatanku belum kelar, malas harus minjam catatan sama Roland, dia nyebelin.” Aku tidak mengalihkan pandanganku kali ini. Aku tahu Mayang paham dengan alasanku.

***

Nasi yang Mama hidangan di dalam mangkuk porselen putih di tengah meja tinggal separuh. Sebahagian sudah berpindah ke piringku dan juga piring Mama. Kedua piring yang tadinya berisi sudah kosong.

Mama mendesah, memandangku meminta pengertian.

Sayang sekali kali ini aku tidak ingin mengerti. Aku ingin Mama paham jika sekarang usiaku 17 tahun dan sebentar lagi akan lulus SMA. Aku hanya ingin Mama memberiku kepercayaan.

“Kemping di bukit itu jauh, Nak.”

“Ma, bukitnya cuma satu perjalanan dari sini. Mama bahkan bisa ke sana untuk cek keadaanku. Cuma semalam, Ma,” pintaku kembali.

Mama berdiri, merapikan piring kotor tanpa bicara lagi. Aku berusaha membantu dengan mengambil alih beberapa. Namun, Mama sama sekali tidak memberikan kesempatan. Aku hanya bisa memandangi punggung Mama yang menjauh menuju dapur.

“Maaf, ya, May.” Aku kembali mengatakan kata maaf pada Mayang yang terdengar amat sangat kecewa dengan perkataanku. “Mau bagaimana lagi, May, Mama nggak kasih izin,” terangnya.

“Gue udah duga ini. Astaga, kita kan nggak jauh kempingnya.”

Aku menbuang napas keras dan mendengarkan segala rungut Mayang sampai selesai. Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara ketukan di pintu.

“Pergilah.”

“Apa, Ma?”

“Mama izinkan kamu ikut kemping dengan Mayang. Ingat, Mama percaya sama kamu.”

Setelah Mama pergi, kudekatkan kembali ponsel ke telinga. “Lo dengar, kan, May?” tanyanya.

Mayang berteriak kegirangan di seberang sana seolah baru saja diberitahu mendapatkan hadiah milayaran juta rupiah malam ini. “Ini akan menyenangkan, Din.”

Aku menahan senyum. Tentu saja menyenangkan, ini pertama kali ia berada diluar tanpa pengawasan Mama.

“Kita pasang tenda di sini?”

Aku bertanya sambil menoleh pada Mayang. Mayang mengangguk tanpa berhenti berpose untuk foto selfi.

Aku hanya bisa mengeleng-geleng dan menyerukan kalau Mayang jelek. Ia segera berhenti berpose dan berlari ke arahku.

“Ini akan menyenangkan.” Mayang mengulangi perkataan di telepon semalam.

Aku mengangguk. Walaupun kegiatan seperti ini biasa bagi Mayang dan sepupunya. Bagi dirinya sendiri, kemping adalah hal ajaib yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Mama benar-benar menjaganya dengan baik.

“Sebentar lagi akan ada seseorang yang datang.”

“Siapa?” Aku bertanya penasaran. Rahasia adalah hal yang paling tidak kusukai.

“Lihat saja.”

Aku mencebik kesal karena ia tidak memberitahuku dan beranjak masuk ke dalam tenda. Kabut mulai turun kini, udara mendadak menjadi dingin. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi.

Aku tertidur sekejap dan bermimpi. Kulihat bayangan hitam di sebuah pohon besar mantapku dengan mata yang merah. Jantungku berdebar-debar. Aku berusaha berteriak memanggil Mama, tapi tak terdengar suaraku keluar.

Aku menyebut nama Tuhan di dalam hati berkali-kali. Samar-samar kudengar suara Mayang memanggil namaku. Aku tersentak dan mataku terbuka lebar.

“Kamu kenapa, kok teriak?” tanyanya. Ia memandangku heran.

Aku menggeleng. Hanya mimpi buruk, begitu aku berkata di dalam hati menenangkan diri.

“Siapa di luar?” tanyaku penasaran. Diluar terdengar ramai kini, tidak seperti saat kami sampai tadi.

Ia menaik turunkan alisnya, membuatku bingung dengan yang dia maksud.

Udara dingin membuat tubuhku mengigil. “Aku akan ganti baju dulu, nanti keluar.” Kutunggu sampai Mayang keluar dari tenda, baru kubuka baju kausku.

Aku kaget saat merasakan sentuhan di leher, seketika langsung menoleh dan mendapati Kevin ada di dalam tenda. Aku menyambar baju kaus yang tadi kupakai dan memakainya kembali.

“Mau apa di sini?” tanyaku marah.

“Bersenang-senang.” Ia tersenyum sambil meremas dadaku.

Aku menendangnya hingga terjangkang dan berusaha lari keluar. Ia tidak memberiku kesempatan. Dengan sekali tarikan, aku jatuh ke pangkuannya. Ia menciumi leherku.

Aku berteriak memanggil Mayang, meminta bantuan. Ia melongo dan bertanya ada apa.

“Bantu aku!”

“Jangan kuno, kita sedang senang-senang.” Ia menutup kain tenda lagi dan tertawa -orang menceritakan tingkahku yang kampungan pada orang diluar.

Aku berusaha meloloskan diri sendiri. Namun, tenaga Kevin lebih besar dariku. Ia menindih dan mencoba membuka pakaianku. Aku menendang dan terus memaki. Ia malah tertawa mendengarnya.

Lalu terdengar teriakan memilukan dan juga ketakutan. Tawa orang-orang diluar sana langsung menghilang.

Kevin juga berhenti dan tercenung mendengar. Ada tiga kali suara jatuh yang keras. Lalu suara tawa yang membuatku merinding. Dalam hati bertanya-tanya apa yang tengah terjadi dan kejutan apa lagi yang sedang siapkan Mayang.

Sebuah tangan hitam mencekik Kevin. Aku berteriak ketakutan. Tubuh Kevin dengan cepat menghilang keluar tenda. Aku beringsut dan membekap mulut. Mengambil selimut dan kemudian bersembunyi. Jangan sampai aku ditemukan. Jangan sampai aku ditemukan.

Angin dingin menelusup masuk melalui kain tenda yang tersibak sesaat. Kurasakan ada seseorang yang menindihku lagi, membisikan sesuatu dengan suara yang menakutkan, tetapi malah membuatku merasa tenang.

Tidak apa, Nak, Mama di sini.

Aku berusaha memejamkan mata dan kembali bermimpi tentang sosok gelap yang kulihat sebelumnya. Kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Itu Mama!

***

Sebuah kecelakaan tunggal terjadi di jalan raya pada jam enam sore tadi. Pengemudi kehilangan kendali setelah berusaha menghindari sebuah motor yang melintas. Korban ada seorang wanita yang berusia 45 tahun, bernama Mariam langsung meninggal di tempat. Saat ini pihak kepolisian mencoba menghubungi keluarga korban.

“Kecelakaan lagi.” Pria yang mendengarkan penggalan berita tersebut mematikan radio di mobilnya kembali. Ia memutar setir untuk berbalik arah menghindari lokasi terjadinya kecelakaan. “Kasihan keluarga yang ditinggalkan.”
sukhhoiAvatar border
aripinastiko612Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.3K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan