tyasnitinegoroAvatar border
TS
tyasnitinegoro
TITIP SUKMO
TITIP SUKMO PART 2






Gunawan mematung, ia berpikir, sejak kapan istrinya tahu kalau Sugeng sakit. Bahkan ia sampai buru-buru memakai pakaian dinasnya. Kemudian berjalan cepat menghampiri istrinya di depan pintu. Penasaran.

“Aku punya firasat buruk malam ini, Mas. Apa sebaiknya kamu di rumah saja. Bilang ke Pak Hermawan, kalau anakmu mendadak sakit.” Ucap Ratna, pandangannya masih menyorot ke depan. Ke arah deretan pohon-pohon besar, seperti puluhan raksasa yang sedang menari-nari.


“Halah, dari kemarin firasat buruk...firasat buruk! Kamu itu mikir apa to, Dek. Sudah...sudah aku berangkat dulu!” pungkas Gunawan. Ia memilih untuk mengakhiri obrolan malam itu. Gunawan tidak ingin ada perdebatan lagi seperti beberapa hari yang lalu, di mana, Ratna meminta Gunawan untuk berhenti bekerja di tempat Hermawan. Sebab Ratna menduga, di balik kekayaan Hermawan, ada sesuatu yang hitam. Lebih hitam dari kegelapan. Yang di takutkan, kalau sampai ada kejadian yang tidak di inginkan, menimpa suaminya.


Gunawan melirik ke arah mobil minibus warna hitam yang terparkir di halaman. Membuatnya teringat kembali dengan omongan istrinya yang kini mulai mengganggu pikirannya. Tentang pesugihan yang di lakukan oleh Pak Hermawan. Padahal nyatanya, Gunawan juga memikirkan hal yang sama dengan istrinya. Gunawan jadi merasa bersalah dan itu membuatnya sedikit luluh dan kemudian memeluk istrinya sebelum berlalu.


Sepuluh menit kemudian, Gunawan sampai di halaman luas milik Hermawan. Di sana, tampak lelaki 50an berdiri di depan teras rumahnya. Hermawan sedang menunggu Gunawan.


Tak lama, mereka berangkat setelah semua perlengkapan sudah masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan, tak ada candaan seperti biasanya. Gunawan masih terlihat canggung. Namun tak lama suasana sepi itu mulai tercairkan.


“Bagaimana kabar anak-anak, Mas?” tanya Hermawan.


“Eh... Alhamdullilah pada sehat, Pak.” Jawab Gunawan agak terbata.


“Oiya Pak. Ini kita mau kemana ya, Pak?” ucap Gunawan balik bertanya.


Ada sunyi yang tercipta, ketika Gunawan menyelesaikan pertanyaannya. Namun kemudian, Hermawan menghela nafas.


“Nanti di ujung jalan, belok ke kiri ya Mas. Setelah itu ikuti saja jalannya.” Hermawan memecah kebekuan sekaligus tak menjawab pertanyaannya. Di pandanginya Gunawan melalui pantulan cermin kabin.


Malam semakin larut, mobil mulai memasuki area hutan, yang di kanan kiri hanya terlihat rimbunan pohon tinggi menjulang. Jalanan yang awalnya aspal, kini berganti tanah bergelombang. Apalagi suasana malam itu, terlihat benar-benar sepi. Tak sekali pun Gunawan berpapasan dengan kendaraan lain. Sedangkan penerangan jalan satu-satunya hanya dari mobil yang di kendarai Gunawan. Membuat suasana tambah mencekam.


Setelah beberapa kali Gunawan membelokkan setir, kini mobil masuk lebih dalam, jauh lebih dalam. Bahkan Gunawan kalau di suruh untuk berputar balik, ia mungkin tak akan sampai rumah. Benar-benar membuatnya bingung arah. Itu adalah pertama kali dirinya mengantar Hermawan ke tempat yang menurutnya begitu asing.


Akhirnya, setelah menempuh dua jam perjalanan, sampailah mereka di ujung jalan. Gunawan seakan di buat terperangah. Bagaimana tidak, tepat di hadapannya, terpampang nyata sebuah rumah besar nan mewah. Apalagi di halaman luasnya, mobil-mobil mewah terparkir dengan rapi. Sebentar Gunawan melototkan kedua matanya, seakan tak percaya, namun setelah Hermawan berucap dengan nada perintah, Gunawan baru percaya, kalau rumah itu benar-benar nyata.


“Mas Gun, ayo turun. Kita sudah di tunggu.”


“N-njih, Pak.” Sahutnya terbata, Gunawan kemudian turun dari mobil dan berjalan mengekor di belakang Hermawan


Sesampainya mereka di depan pintu masuk, kedatangan mereka di sambut oleh seorang wanita paruh baya dengan pakaian khas suku sana. Walaupun ada sedikit rasa khawatir dan cemas dengan bangunan rumah mewah dan terkesan gelap, Gunawan masih berusaha berpikir positif. Mungkin Pak Hermawan lagi ada urusan dengan sesama pengusaha.


Apalagi si wanita yang menyambutnya, terlihat begitu ramah dan antusias. Bahkan sempat beberapa detik Gunawan dibuat terpana oleh penampilannya. Ada satu energi yang terpancar, yang membuatnya terlihat anggun, seperti perempuan suku berkelas. Namun tak lama pandangan Gunawan tak mampu beralih, ketika tiba-tiba saja wajahnya berubah.


“Muha binian tu pina bungas, ya” (Wajah wanita itu kok terlihat layu, ya) batin Gunawan.


Dan ketika Gunawan mulai memasuki rumah mewah itu, ia di buat melongo. Matanya melotot, mulutnya ternganga, ketika pandangannya menyapu ke sekeliling. Gunawan terheran-heran, barang-barang yang terpajang di dalam rumah itu, ia baru pertama kali melihatnya. Tampaknya sang pemilik rumah bukanlah orang sembarangan.


Setelah beberapa langkah melewati lorong, sampailah mereka di bagian belakang, di sebuah ruangan yang lebih luas dan terkesan lega. Namun Gunawan mulai membaui aroma yang begitu menyengat hidungnya. Seperti bau amis bercampur busuk. Tak mau terlihat seperti orang bodoh, Gunawan mengabaikannya.


“Silahkan duduk, Pak.” Ujar si wanita dengan logat khas suku, mempersilahkan mereka duduk di sebuah meja yang terbuat dari kayu berukir.


Tercipta sebentar suasana hening dan sepi. Gunawan mulai merasai ada ketidaknyamanan. Hal itu membuatnya semakin khawatir dan cemas. Tapi tak lama, muncul seorang lelaki tua dari ruangan lain, lelaki itu berpakaian serba hitam dengan penutup kepala khas suku sana.


Sejenak ia menatap semua orang yang sedang duduk, sebelum tatapannya tajam ke arah Gunawan yang kebetulan juga menatapnya, satu detik kemudian, Gunawan menunduk, ada rasa takut yang tiba-tiba saja menyeruak.


“Sudah tidak bisa di tunda lagi, Pak. Mari saya antar....” sembari berucap kepada Hermawan, tatapan lelaki itu masih saja tajam ke arah Gunawan.


Tanpa menunggu perintah selanjutnya, Hermawan berdiri di ikuti semua orang termasuk Gunawan.


“Kamu tunggu di sini saja, Mas.” Kali ini ucapannya tertuju kepada Gunawan, membuatnya tergagu dan kembali duduk.


Tiga puluh menit berlalu, Gunawan masih terpaku di kursinya. Di pandanginya sekeliling, tak ada yang aneh mau pun janggal. Ia masih berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif walaupun rasa cekam dan takutnya mulai mendera.


Hingga sampai tarikan nafas yang keberapa, Gunawan mulai tak sabar. Kali ini ia di buat penasaran dengan apa yang sedang di lakukan oleh orang-orang tadi. Apalagi, aroma amis bercampur busuk itu tak kunjung hilang dari penciumannya.


“Bau apa ini kok dari tadi gak ilang-ilang.” Gunawan membatin sambil bangkit dari duduknya, berniat untuk mencari tahu.


Dan di saat itulah, dia baru sadar, bahwa ia sudah satu jam menunggu. Tapi tak ada satu orang pun yang keluar atau masuk ke dalam ruangan tempat ia menunggu.


Sambil terpaku di tempatnya, Gunawan membuat gambaran. Dari sini, dia harus membuka pintu itu, namun ia belum tahu, di balik ruangan itu ada yang jaga atau tidak. Jika sampai dia ketahuan, Gunawan mau menjawab apa? Tidak mungkin kalau dia mau menemui Pak Hermawan, sedangkan dia bukan orang penting.


Gunawan terkenal setengah-setengah dalam menyelesaikan masalah, namun dalam hal pekerjaan, dia nomor satu tekunnya. Persis seperti saat ini. Gunawan terdiam sambil memandangi ganggang pintu kayu. Satu ayunan saja, pintu itu terbuka. Tapi bagaimana kalau ada orang di balik pintu? bagaimana dan bagaimana. Lagi-lagi Gunawan harus berpikir dulu.


“Mau kemana, Gun?”


Suara itu membuat Gunawan nyaris pingsan karena terkejut, untung saja dia masih bisa menahannya. Tapi, kini kedua kakinya gemetaran. Gunawan kemudian menoleh, namun tak melihat ada seseorang di belakangnya. Aneh! Pikir Gunawan.


Sekali lagi. “Mau kemana, Gun?”


Kembali Gunawan menoleh, kali ini ia di buat terkejut.


“Sugeng......!” spontan Gunawan mengumpat.


Sosok Sugeng, ia tertawa melihat tingkah Gunawan yang ketakutan setengah mati. “Jadi orang kok setengah-setengah. Tinggal buka pintu saja kok susah, Gun.”


Karena keterkejutannya itu, Gunawan sampai tak menyadari bila sosok yang menyerupai Sugeng itu bukanlah Sugeng yang asli. Gunawan pun menyambutnya dengan lega. Setidaknya malam itu ia ada yang menemani.


“Ceklek...” Sugeng membuka pintu.


Mereka berdua kemudian melangkah bersama sambil mengobrol.


“Katanya kamu sakit, Geng? Kok klayapan sampai sini?” tanya Gunawan penasaran.


“Eh Geng, Pak Hermawan sebenarnya ngapain, sih? Kamu pasti tahu kan?” sambung Gunawan semakin penasaran.


Sugeng tertawa kecil. “Memangnya kamu tidak tahu ya, Gun?”


Ucapan Sugeng barusan membuat langkah Gunawan terhenti tiba-tiba. Apa Sugeng tahu sesuatu?


“Maksudmu apa, Geng?”


NEXT...

bukhoriganAvatar border
mmuji1575Avatar border
mmuji1575 dan bukhorigan memberi reputasi
2
1.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan