arbiesheenaAvatar border
TS
arbiesheena
My Scary Me
“Selama rasa dendam tidak bisa kubawa pergi dan kubuang jauh dari wujud ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”


Di kota Esmerald pada malam hari—seperti yang mereka tahu, senyap dan hening bersatu. Nyaris tak bersuara, selain ketukan ritme langkah kaki yang mengadu pada bumi. Ia terhenti di tengah pertigaan—berpisah pada ketiga kawan. Lantas, sendirian ia melanjutkan perjalanan ke jalan Ruby menuju perumahannya. Lampu jalan redup, angin malam yang menusuk rusuk, seakan tak penat mengikuti langkahnya.
Ia tak lama sadar—sebuah siluet tubuh berbeda membututinya. Namun, tak ada suara langkah kaki atau hembusan napas yang terserap telinga. Apapun itu, ia memilih untuk tidak menoleh ataupun terhenti untuk sekedar memastikan. Bisa jadi itu pencopet atau pemerkosa yang sudah terlatih. Berpikiran negatif, membuat napasnya sengal. Dahi dan telapak tangannya berkeringat—ia berjalan sambil mengempit tasnya rapat, lebih tergesa.
Tak terduga, ia dengan berani menghentikan langkahnya dan berbalik, menoleh ke kanan kiri dan bersuara dengan mimik ketakutan, “siapa di sana?”
Hening. Tak ada yang membalas, tak ada sesiapapun di sana. Lalu ia kembali menghadap ke depan, bersiap untuk mengambil langkah lebih panjang. Akan tetapi, sang pemilik Mata Fajar mencekalnya dari jarak lima centi sambil menatapnya seperti santapan enak tersaji.
Sang pemilik Mata Fajar pun mendesis, “jantung yang lezat.”
Wanita itu Cumiik di kesunyian malam.

***


Aku menguap, nyaris seharian aku merebahkan diri di ruang televisi. Sesekali menukar posisi tubuh agar lebih nyaman. Jika lapar, aku meminum segelas susu didampingi donat di meja. Setidaknya, aku melakukan hal tak berguna ini sampai tengah malam.
Aku meninggalkan rumah berjalan kaki ke Cafe Ginevla untuk bekerja. Di sana, aku menjadi seorang pelayan yang pekerjaannya mencatat menu dan mengantar makanan. Terkadang, aku membersihkan cafe jika disuruh.
Temanku bilang, aku insomnia—kubilang bukan—tapi ia malah mengejekku ‘dungu’ karena tidak mengerti kondisi sendiri. Untuk kedua kalinya, kubilang ’tidak!’ Agak kencang. Ia pun bungkam setelah melihat bola mataku berubah merah, semerah fajar membakar bumi. Keesokannya datang sebuah kabar—seseorang mati tanpa jantung di cafe itu, pelakunya tak meninggalkan jejak. Kisah ini mengingatkanku pada kejadian dua tahun silam. Seorang siswi mati mengenaskan di sebuah jalan tanpa jantung. Ada puluhan yang bernasib sama dengan mereka, “mati tanpa jantung”. Selalu ada yang mati saat aku meninggalkan tempat yang kudatangi. Dulu aku tak mengerti dengan keadaan ini, tetapi semua berubah saat sebuah makhluk datang di kehidupanku.
Aku pulang membawa kantung belanjaan pagi buta, rencananya aku ingin membuat sandwich daging asap dan selada merah di dapur.
WWUSHHHH!!!
Hembusan angin tak lazim lagi membuka lebar jendela dapur sebelah kanan. Setidaknya tunggu aku selesai membuat sandwich dulu.
“Taarrraaa ....”
Pria berkulit putih dengan bentuk rahang sempurna datang bersama angin barusan dan tak lupa memberikan efek ceria saat tiba. Ia pikir dengan kedatangannya aku akan senang? Karena tidak ada respon dariku, senyuman dungu itu pun ia hentikan dengan kejam dan segera mengganti mimiknya dengan yang kecut.
“Kau selalu begitu, wajahmu menunjukkan tidak ingin punya teman.”
“Apa alasanku untuk senang saat kau datang?” Aku masih sibuk dengan sandwichku.
Ia tampaknya senang dengan pertanyaanku, “karena aku Zepa Clocka! Seorang Malaikat dan kau tahu tugasku apa?” Tanyanya yang selalu ia bahas setiap pertemuan.
Lucu memang, seorang pria memakai pakaian terusan sedengkul berwarna putih yang lebih mirip daster ini adalah Malaikat? Mungkin sedang magang.
“Kau datang untuk menggangguku?”
“Bukan! Tapi untuk melindungimu.”
Sejak kedatangannya, tragedi kematian itu berkurang. Entah apa yang dilakukannya. Aku berkali-kali memintanya untuk menjelaskan, tapi ia selalu menolak seolah aku belum cukup umur untuk mendengarnya.
“Zeeqwa! Kau makan roti isi?” Tanyanya histeris sambil menatap lima sandwich buatanku.
“Aku sudah terlatih, semoga tidak kembali berubah.”
Ia mengangguk sambil memayunkan bibirnya.
Diawal pertemuanku dengan Zepa diumur lima belas. Aku tidak diperbolehkan berduaan dengan manusia dan tidak boleh mengkonsumsi makanan mereka. Katanya itu akan memancing si Mata Fajar untuk datang. Setelah berlatih selama dua tahun, aku bisa melahap makanan manusia tanpa kehadiran si Mata Fajar. Tetapi, soal berduaan dengan manusia adalah hal yang sangat sulit untuk dilatih, karena harum jantung mereka sangat menggiurkan.
Sandwichku sudah siap disantap, aku meletakkannya di piring kemudian membawanya ke ruang tengah dan beranjak memakannya sebelum Zepa mencegahnya mendarat ke mulutku.
“Kemarin ada yang mati lagi, kau tidak bisa membohongiku,” ungkapnya serius.
“Waktu itu aku sedang lapar.”
Setelah ia melepas tangannya, aku langsung memasukkan sandwich demi sandwich ke dalam mulut tanpa mengunyahnya.
DEGG!!!
Waktu terasa terhenti begitu juga dengan kerja otakku. Sandwich yang kupegang terjatuh—tanganku serasa lumpuh—dadaku sesak—nyaris tak ada oksigen. Sesuatu yang panas keluar secepat kilat menyebar ke tulang, pembuluh darah, daging, lemak, lalu kulitku. Aku hampir tak dapat merasakan rohku ada.
“Si Mata Fajar kembali!!” Zepa mengambil posisi—menjaga jaraknya tetap sepuluh meter di depanku. Ia selalu tak bisa menyembunyikan rasa paniknya. Ketegasan itu datang begitu saja saat ia menghempaskan jurus jarak jauh dari telapak tangannya ke arahku—membuat bagian belakang kepalaku tertinju telak menatap lantai—kekuatannya menahanku bangkit dari sofa.
Sang pemilik Mata Fajar brontak—melepaskan segel mantra seperti merobek bahan katun. Zepa terkejut. Sang Mata Fajar tidak memaafkannya—Zepa mendapatkan balasan serangan yang lebih kejam. Lewat erangan kemurkaan—ia mengeluarkan aura hitam pekat mematikan, hingga Zepa terpental ke atap dan membuat rekahan besar. Zepa terjatuh perlahan seperti air yang menetes di dedaunan dan tak sadarkan diri. Dalam kecepatan permilidetik sang Mata Fajar berada dihadapannya.
“LARI!!!” Aku begitu mengkhawatirkannya, namun hanya sanggup Cumiik dalam hati. Percuma, Zepa tak bisa mendengarnya. Dalam keadaan mata yang masih terpejam, ia tampak kesakitan.
Dengan tangan kanannya, Sang Mata Fajar mencekik hendak menghabisinya. Kaki Zepa meronta-ronta kehabisan napas. Lalu Sang Mata Fajar menghunuskan kuku tajamnya ke dada Zepa. Untung saja Zepa cepat-cepat membuka matanya dan segera berteleportasi. Sang Mata Fajar pun kehilangan jejaknya.
Saat-saat genting seperti ini, seseorang mengetuk pintu rumahku dan tanpa kusadari Sang Mata Fajar sudah berada di depan pintu. Lalu ia membukakan pintu dan melihat Firsta sedang tersenyum di baliknya.
“Hai ..., Zeeqwa!”
“Oh ..., tidak! Jangan sekarang!!” Teriak gemetarku dalam hati. Aku sadar jika hal itu tidak mungkin bisa didengar olehnya.
DEGG!!!
Aku mengambil sekali napas panjang seolah aku baru terkurung di dalam rumah yang terbakar untuk kemudian menghirup oksigen yang melegakan paru-paru. Aku sempat tidak memercayainya, jika aku bisa berubah sendiri tanpa bantuan Zepa. Berkali-kali aku menepuk-nepuk pipiku sampai membuat pria yang mempunyai mata ramah di hadapanku terheran-heran.
“Ada apa, Zeeqwa?”
“Tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kebingungan.
Aku segera mempersilakannya masuk, rumahku sudah dianggap rumahnya sendiri begitupun sebaliknya. Sejak kecil kami sudah dekat, saat sekolah dasar Firsta pernah diganggu preman jalanan dan aku datang untuk menolongnya. Bukan tanpa alasan dia menjadi pria lemah, dia punya penyakit jantung.
Di rumah sakit dia hanya duduk terdiam di kursi rodanya sambil memandang anak lain bermain di taman lewat jendela. Ia pernah hampir meninggal saat berumur sepuluh karena tidak adanya pendonor jantung yang cocok. Tapi, dia terbilang beruntung. Dimasa komanya, orangtuanya berhasil menemukan pendonor yang cocok. Setelah operasi pencangkokan berhasil, ia kembali hidup dan tidak lemah lagi. Sekarang gantian dia yang melindungiku atau aku yang akan mematikannya suatu saat nanti?
Firsta meletakkan brownies yang sudah dipotongnya menjadi beberapa bagian di meja makan. Aku memakannya. Ia sempat terheran-heran saat melihat kediamanku yang kacau. Aku berbohong dengan mengatakan jika rumahku sedang direnovasi dan belum selesai diperbaiki. Setelah itu, tak ada pertanyaan lagi darinya, kami pun saling terdiam sambil memakan kue brownies kesukaan kami. Teleponnya tiba-tiba berdering, mengganggu suasana. Ia melihat layar telepon genggamnya dan segera meminta pamit padaku. Aku memperbolehkannya. Kemudian Zepa kembali muncul dengan napas yang terengah-engah. Ia segera menarik tanganku.
“Coba kulihat tanganmu.” Zepa memperhatikan tato di pergelangan tanganku, terjejer empat baris garis merah berukuran satu centi, Zepa terkejut.
“Tidak mungkin ...,” gumamnya sambil tebelalak kaku.
“Kenapa?”
“Bagaimana bisa kau tidak menyerang pria itu?”
“Mana kutahu?”
“Apa kau sadar akan garis ini?”
“Memang ada apa dengan garis ini?”
“Satu garis diumur lima belas, sifatmu berubah menjadi si Mata Fajar namun hanya bisa memberontak. Garis kedua diumur tujuh belas, kau mulai membunuh satu persatu manusia tanpa memakan jantungnya. Garis ketiga saat kau berumur dua puluh satu, kau sudah mulai memakan jantung. Namun, masih bisa kukendalikan. Garis keempat diumur dua puluh tiga, tanpa melanggar pantangan kau bisa langsung berubah dan tidak dapat dikendalikan. Garis kelima entah diumur berapa, wujudmu akan berubah dan kau bisa mencabik seratus orang dalam lima detik”
“Berubah?”
“Jika satu garis lagi muncul kau akan berubah wujud menjadi ‘IB-LIS’.”
Aku tidak pernah takut pada apapun, kecuali mengenai berita itu. Aku menggigil membelalaki Zepa.
“Sepertinya aku harus memberitahumu sesuatu,” Zepa berpindah duduk di seberangku, mengambil sepotong brownies di meja dan memulai bercerita. “Di depan gerbang Neraka yang merah membara. Para iblis mengantri untuk mendapatkan hukuman dari dosa-dosa yang mereka buat. Setelah masuk ke dalam lautan api yang panasnya tak terbayangkan akal makhluk hidup, mereka akan dipastikan lenyap tak tersisa dan dinyatakan tidak dapat masuk ke bumi lagi untuk menganggu manusia.
Salah satu Iblis menolak perintah itu dan memilih kabur dengan kejeniusannya mengkelabui para Malaikat. Iblis itu pun berhasil keluar dan menyamar sebagai sesosok pria dan hidup sebagai manusia normal di bumi, para Malaikat tidak bisa mencium keberadaanya karena penyamarannya yang hebat. Iblis itu memiliki nama, namanya Novroz.
Di bumi Novroz menemui seorang wanita yang digilainya, wanita itu bernama Avrist Lotus. Lotus bekerja di panti sosial, dia terkenal ramah dan murah senyum, juga kebaikannya yang sempurna seperti malaikat. Novroz sudah mengamati tingkah Lotus sejak ia dilahirkan, itu juga menjadi alasan Novroz meninggalkan Neraka. Novroz telah jatuh cinta pada manusia, karena pada hakikatnya iblis seharusnya membenci manusia.
Sebulan berkenalan, Novroz dan Lotus saling jatuh cinta dan mempuyai anak tanpa pernikahan. Anak yang dilahirkan Lotus berbeda dari anak-anak lainnya, bola mata anak itu bukan coklat melainkan merah semerah fajar. Lotus terkejut, kemudian Novroz menceritakan semuanya pada lotus jika ia adalah Iblis yang menyamar sebagai manusia karena jatuh cinta kepada manusia berhati Malaikat. Novroz salah menduga, dikiranya Lotus akan menerimanya. Namun, kenyataan berbalik dari apa yang dikirakannya. Lotus menggila. Ia berteriak, mengusir Novroz bersama dengan anak haramnya yang baru berumur sehari.
Novroz sedih, walau ia sudah meminta maaf berulang kali Lotus tidak mau dan tidak akan pernah memaafkannya. Lalu Novroz berkata, “jika di Neraka lebih indah dibandingkan di sini aku akan kembali. Jika di bumi tidak ada yang dapat menerima cintaku, aku tetap akan mati di sini. Sejujurnya aku ingin mati bahagia dengan cinta, mari kita mati bersama saja.” Di hadapan Lotus, seketika Novroz berubah menjadi sesosok iblis yang mengerikan. Matanya berubah merah begitupun dengan kulitnya. Dia punya kuping yang panjang dan kepala yang tanpa rambut. Lotus hanya dapat berteriak saat Novroz meruncingkan kuku kelima jari kanannya untuk kemudian menembus rongga dada Lotus, mengambil jantungnya, kemudian memakannya sambil menangis darah.
Lotus sudah tak bernyawa saat para Malaikat datang, Novroz masih berada di tempat sambil menghabiskan jantung Lotus. Kemudian para Malaikat membawanya kembali ke Neraka untuk mematikannya.
Sementara anak yang dilahirkan mereka tetap berada di bumi karena belum pantas hidup di Neraka dengan wujud setengah manusia setengah iblis. Tentu saja dengan pengawasan yang ketat dari seorang Malaikat. Yaitu aku.”
Aku menelan ludah dan berharap ia berbohong. Namun, tatapan matanya meyakinkanku untuk percaya dan segera aku percaya.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Kau tidak dapat mengubah takdir, Zeeqwa Lotus. Aku pun begitu. Aku hanya dapat melindungimu dan mencegah makhluk itu keluar dengan cepat.”
Kami terdiam. Entah apa yang harus kulakukan saat sebuah takdir yang tidak diinginkan menyerang kehidupanku.
“Aku akan mencari tahu alasan sang Mata Fajar tidak menyerang Firsta,” sambungnya.
Kemudian Zepa menghilang dan meninggalkanku dalam kebingungan juga ketakutan.

***


Jam dua dini hari, aku tetap terjaga mengerjakan pekerjaanku. Walau kutahu jika lelahpun aku tidak dapat tertidur sejak umur lima belas tahun. Saat berkaca di toilet aku sempat terkejut, dulu aku sangat cantik. Semenjak kantung mata ini datang, aku terlihat buruk, tak segar dan tak sedap dipandang lagi.
DEGG!!!
Tiba-tiba saja nafasku terasa berat, nyaris tak dapat bernapas. Ada sesuatu yang panas keluar secepat kilat menyebar ke tulang, pembuluh darah, daging, lemak lalu kulitku. Aku hampir tidak dapat merasakan rohku ada. Seluruh badanku bergetar dan mengeluarkan banyak keringat akibat menahan nafsunya. Wajah dan bibirku nyaris pucat. Jantung manusia layaknya morphine bagiku, setiap menginginkannya aku harus mendapatkannya. Jika tidak, aku akan mati dalam nafsunya.
Aku segera mengambil borgol di dalam saku celana dan memborgol tanganku bersama keran wastafel. Aku segera berjongkok dan menyudutkan diri di sampingnya, kedinginan, membeku seperti tanpa baju. Aku merindukan kehangatan. Aku berupaya menahan nafsu membunuhnya yang sangat kuat. Untungnya, tak ada sesiapapun di sini.
Kudengar pintu berdecit, diringi langkah kaki seseorang masuk dengan sepatu ketsnya.
“Oh ..,. tidakkk!! Kumohon jangan mendekat!”
[/FONT]
Diubah oleh arbiesheena 18-03-2017 16:37
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan