efantastikAvatar border
TS
efantastik
Sebuah Pilihan


Suara desau angin menghempaskan tubuh pohon dan menggoyangkannya syahdu. Sinar temaram di teras rumah yang tak begitu terang, menghiasi suasana malam menjadi pesona yang serasi. Sebuah percakapan antara seorang lelaki dan perempuan kala itu tengah berlangsung.

“Kau tampak lelah. Minumlah teh mu dulu,” sergahnya pada lelaki di hadapannya.
Dengan perlahan, ia langsung meminum segelas teh di tangannya dan menyisakan setengah.

Lelaki itu melihat jari-jari tangan perempuan itu yang sedari tadi tidak tenang di pangkuannya. Ia menatap sesuatu yang tak asing di jari perempuan itu, yang tak lain adalah cincin pemberian darinya dulu.

“Ternyata kau masih menyimpannya.”
Ia hanya sunggingkan senyuman serta mengelus cincin di jarinya tanpa memberi jawaban.

“Apakah aku terlambat untuk memulai kembali mendapatkan sebuah kepercayaan darimu?” lanjut lelaki itu mencerca dengan sebuah pertanyaan kepada perempuan di depannya.

Perempuan itu menunduk dan membuang mukanya ke pelataran rumahnya. Perempuan itu tak jua menjawab. Ia menoleh pelan dan menatap pilu kepada lelaki di depannya itu. Lalu ia hanya sunggingkan senyuman kecil di wajahnya.

“Apakah itu berarti kita bisa merajuk kembali, jalinan itu?”

“Perasaan ini memanglah tidak akan hilang dan terus akan membekas dalam hatiku. Janganlah kamu terburu-buru mengambil sebuah kesimpulan. Apa yang kau pikirkan itu, tak sejalan dengan apa yang sebenarnya aku berikan.”

Lelaki itu mengerutkan dahinya. Ia bingung dengan rangkaian kata lawan bicaranya itu.

“Apa berarti aku terlambat dan tak boleh membina hubungan baru bersamamu?”

Perempuan itu menghela nafas panjang, mencoba menguatkan sesuatu yang akan di sampaikannya. Memori otaknya kembali menelusup ke dalam kenangan masa lalunya. Tepat saat kepiluan itu terjadi tiga tahun lalu. Dia mulai merasa kekuatan dirinya bertambah. Dia hanya menggoreskan senyuman manisnya seraya menunjuk ke suatu tempat, “Lihatlah itu Feri. Kau akan paham maksudku.”

Tatapan mata lelaki yang bernama Feri, mengikuti arah tujuan yang di tunjuk oleh perempuan di depannya itu. Seketika perasaannya terguncang akan apa yang dilihatnya. Ia tertegun. Seketika itu juga dadanya terasa sesak dan panas. Seakan udara tak memberikannya kesempatan untuk bernafas. Ia tak mampu berkata apa-apa, matanya mulai berkaca-kaca dan ia tertunduk lesu. Suasana dalam benaknya kini terasa memilukan untuk dapat melihat kenyataan yang ada.

***

Matahari mulai menelusup dalam ujung bumi. Menampilkan sketsa-sketsa merah dalam wajah langit di pergantian malam. Suasana tidak begitu ramai, hanya lalu lalang suara mesin kapal nelayan yang berangkat ke laut dan pulang dari laut. Dari kejauhan tampak terlihat Feri sendiri duduk di tepi hilir sungai. Lampu jalan menyinari tempat itu seakan menyerasikan pemandangan kala itu. Angin berhembus menempa tubuhnya yang tegap. Ia tampak begitu tenang. Tapi, ada sesuatu benaknya yang ingin dia sampaikan kepada seseorang yang telah ia kenal baik sebagai sahabatnya.

Tak berselang lama. Beberapa menit kemudian, seseorang itu datang. Dengan cekatan, ia mengambil posisi duduk di samping Feri.

“Udah lama?” tanyanya.

“Lumayan, Fan.” Jawab Feri dengan menyalami tangan sahabatnya yang bernama Rifan.

Mereka berteman cukup lama, sejak ia duduk di bangku SMP hingga semasa ia Kuliah. Tapi mereka tidak di fakultas yang sama. Feri di fakultas sastra Indonesia, sedangkan Rifan berada di fakultas biologi. Mereka berdua sama-sama bekerja.

“Apa kau yakin dengan hal itu?” tanya Rifan tiba-tiba setelah ia mengetahui perihal yang ingin di utarakan temannya itu melalui pesan singkat.

“Aku memang tidak seratus persen yakin, tapi itulah pilihanku.”

Rifan mengerutkan dahinya. Ia diam dan berpikir sejenak.

“Bagaimana dengan Linda? Kau secara tidak langsung telah mencoreng nama baik keluarganya.”

“Itulah resiko sebuah pilihan, Fan. Aku memang telah ada rasa dengan Linda dan sempat membuat ikatan pertunangan. Tapi kau tahu, aku telah mencintai Nila telah lama. Hampir sepuluh tahun aku menyimpan perasaan ini. Sekarang, ternyata saat aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu Nila juga mengatakan hal yang sama kepadaku, jika ia telah lama memendam rasa padaku. Dalam minggu-minggu kemarin, ia mengatakan jika ia siap menjadi pendampingku.”

Linda adalah sahabat Rifan dan Feri sejak SMP hingga di bangku kuliah. Ternyata di balik hubungan persahabatan itu, Linda diam-diam mencintai Feri dan terus memberi support kepadanya dalam berbagai suasana. Sementara itu, Feri tak pernah menggubrisnya karena dalam benaknya ada seorang wanita bernama Nila yang ia sukai sejak lama. Tapi entah kenapa tanpa pernah diduga oleh Rifan, mereka berdua menjadi sepasang kekasih dan melangsungkan sebuah pertunangan. Suatu hal yang aneh menurutnya.

“Secepat itu? Lalu kau begitu saja meninggalkan Linda?” kata Rifan dengan nada yang mulai meninggi, seakan tidak percaya akan perkataan Feri.

Rifan melihat Feri hanya tersenyum ringan dengan tatapan jauh ke depan tanpa membalas pertanyaanya dan tanpa ada kata yang pasti, Rifan mengetahui jawaban itu.

“Kau harus mengerti Fer, kepercayaan terlihat ketika kau dapat menjaga amanah. Dia amanahmu,” lanjut Rifan menegaskan.

“Aku tahu itu. Tapi yang ada di pikiranku sekarang bukan itu,” seraya menggoreskan ancaman di wajahnya, lalu Feri perlahan mengambil nafas panjang. “Ketika kau mendapatkan peluang emas sebuah kesempatan, apakah kau akan menyia-nyiakannya? Kau tau, Sungguh bodoh jika ada orang yang menyia-nyiakan sebuah kesempatan emas, yang tidak akan datang untuk kedua kalinya.”

“Itu semua terserah dirimu. Tapi ingatlah Fer, dia itu tunanganmu,” ucap Rifan geram atas sikap Feri.”Baiklah, Dengarkan aku, pilihlah satu pilihan yang berdampak baik bagi dirimu kedepannya, karena kelak itulah yang akan menjadi pilihan masa depanmu dan itu juga yang akan menjadi takdir baikmu. Tapi, jika kau salah pilih, itulah keputusan burukmu, saat dimana kau memilih sebuah pilihan yang tidak kau pikirkan dampak buruknya.”

Feri menyunggingkan senyum tipis.

“Memang mudah saat berkata, coba saja saat menjalaninya. Berpikir duakalipun kau akan memilih keinginanmu yang terpampang jelas di depan matamu.”

Sekelebat perdebatan perlahan mulai berhenti dan seketika suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara deburan ombak dan suara desauan angin yang menelusup dalam tubuh kedua pemuda itu.

“Kau mungkin tau, sebuah mimpi besar diri kita yang bercerita dalam hati kita. Saat ini, mungkin sudah merongrong dalam setiap relung-relung keyakinan kita dan meyakini suatu saat mimpi itu akan terwujud,” ucap Feri menatap serius dengan tatapan tajam pada Rifan. “Mungkinkah kau akan sia-siakan impian besarmu itu? andaikan kamu ada kesempatan untuk mewujudkannya. Sudah jelas tidak mungkin. Apakah mimpi itu akan kau biarkan, untuk sebuah jalan panjang impian kecil lain? sedangkan impian besar itu telah nyata dan ada untuk bisa kita raih saat itu juga.”

Rifan terdiam mendengar kata-kata itu. Tidak ada kata-kata yang bisa terangkai untuk menasehati sahabatnya. Ia sesekali menatap Feri. Bayangan dipikirannya mengilhami, bahwa Feri memang sosok yang cerdas, tapi baru kali ini ia merasa bahwa Feri begitu bodoh. Tapi apa daya, yang diucapkan Feri tidaklah salah, mungkin hanya penempatan suasananya yang ia rasa kurang tepat.

“Apa yang kau ucapkan memang ada benarnya,” kata Rifan pelan, “saat ini aku hanya bisa katakan, jika kau senang aku juga senang. Sementara itu, satu sisi lain aku juga sedih ketika Linda sedih mengenai ini. Tapi ingatlah sekali lagi ucapanku. Pilihanmu akan tepat atau tidak, saat dampak itu mulai kau rasakan nanti, entah itu berdampak baik atau berdampak buruk.”

“Tenang saja, aku yakin meski tidak seratus persen. Bahwa pilihan ku ini tepat,” seru Feri dengan menepuk bahu Rifan yang ada di sampingnya dengan penuh keyakinan. “Inilah mimpiku. Menikahi gadis pujaanku, yang juga merupakan cinta pertamaku.”
Malam itupun menjadi malam panjang dengan sebuah perdebatan. ‘Mungkin suatu saat nanti kau akan segera sadar, Fer,’ gumam Rifan dalam hatinya sambil menatap gelapnya langit yang berhias bintang.

***

Semua kembali berubah menjadi hening. Hingga dapat terdengar suara nyanyian jangkrik yang menemani perbicangan di malam itu. Suasana kala itu kembali membisu, hanya ada wajah-wajah ketegaran di ruang tamu teras rumah seseorang.

“Itulah amanahku,” lanjut perempuan itu mencoba tegar mengatakannya.

“Maafkan aku, Lin,” lirih lelaki itu dengan menyeka tetes air mata di wajahnya yang mulai jatuh.

Perempuan itu tersenyum pilu. “Tak apa, Fer.”

Dari kejauhan, menelusup telinga yang sedari tadi merekam percakapan itu. Ia merasa yakin untuk menghampiri perbincangan yang tengah berlangsung.

Terdengar suara pijakan sepatu yang beriringan mendekat. Feri tercekat akan kedatangannya. Sosok lelaki yang rapi, berdasi dan lengkap memakai seragam kantor berdiri dihadapannya. Ia mengenal sosok di depannya itu. Mereka berdiri serempak atas kedatangan lelaki itu.

“Ri.. Rifan?”

Guratan senyuman terlintas di wajahnya.

“Bagaiamana kamu bisa ada disini?” tanya Feri keheranan.

Rifan hanya menatap kedua sosok di depannya dengan tetap melekatkan senyuman tipis di wajahnya.

“Kau masih tidak sadar, Fer? Dia suamiku,” sergah Linda membuka sebuah jawaban atas pertanyaan Feri.

Feri semakin tidak percaya akan apa yang tengah terjadi saat ini. Semua terasa seperti sebuah halusinasi yang tak pernah ada dan terjadi. Tapi dia meyakinkan diri, bahwa ini bukan mimpi dan perkataan itu nyata bukanlah halusinasi.

“Ya. Linda kini jadi istriku, Fer. Maaf, sejak tadi aku telah mendengarkan percakapanmu dengan Linda. Dan yang kau lihat tadi adalah anak kami yang masih berusia 6 bulan.”

Lidah feri terasa kelu. Tak bisa berkata apa-apa saat itu. wajahnya memucat, masih menyimpan pertanyaan serta sebuah rasa penasaran begitu dalam.

Rifan segera beranjak dari tempatnya berdiri, mengambil posisi duduk di samping Linda dan mereka kembali duduk pula. Rifan menangkap ekspresi penuh pertanyaan atas apa yang tengah terjadi. Ia mulai membuka sebuah pembicaraan.

“Kau tau, sejak kau meninggalkannya. Ada kesempatan besar yang kau ceritakan, terjadi padaku saat itu.”

“Maksudmu?”

“Kau lupa? Kau pernah berkata padaku. Mungkinkah kau akan sia-siakan impian besarmu jika ada kesempatan untuk mewujudkannya? Iya, memang benar, tidak mungkin aku sia-siakan.”

“Aku masih tidak mengerti penjelasanmu, Fan.”

Rifan menarik nafas panjang. “Aku sebenarnya suka dengan Linda sejak lama. Tapi Linda menyukaimu. Hingga pada akhirnya kalian bertunangan, serta merta akupun harus mengorbankan perasaanku demi kebahagian kalian berdua.”

“Jadi…”

“Ya, bisa kau tebak sendiri. Dia cinta pertamaku. Dan kau telah menyakitnya demi cinta pertamamu juga.”

Feri perlahan menundukkan kepalanya. Diam tanpa kata mendengarkan ucapan Rifan. Rasa bersalah serta kebodohan atas sikapnya ia sesali dalam lubuk hatinya. Sementara itu, Linda mulai meneteskan air mata karena bayangan masa lalunya kembali menguak di otaknya.

“Rifan telah menceritakan semuanya kepadaku. Fer, sebab mengapa kau meninggalkanku,” sahut Linda menimpali keadaan itu.

“Aku minta maaf, Lin. Aku memang salah dan kini semuanya telah terlambat.”

“Tidak terlambat untuk memulai hubungan yang baru, Fer. Antara kita bertiga. Bukan lagi antara kau dan aku.” lirih Linda dengan suara yang mulai berat.

Mereka bertiga terdiam. Hanya terdengar suara kepiluan dari Linda yang mulai menangis.

“Sudah ku katakan satu hal padamu dulu. Kepercayaan terlihat ketika kau dapat menjaga amanah. Kau memutuskan mengambil jalanmu dan meninggalkan kepercayaan itu. Kau juga memutuskan kontak denganku dan Linda.”

“Kau tau, awalnya aku memang merasa yakin akan pilihanku. Ketika aku dan Nila menikah, aku merasa bahagia yang begitu luar biasa. Tapi, selang dua tahun berjalan. Kehidupan rumah tanggaku mulai retak. Pertengkaran ku lewatkan di hari-hariku. Aku mengetahui jika kepercayaan yang kuberikan telah disalah gunakan oleh Nila.” Feri diam sejenak. Ia menghela nafas panjang dan menatap pilu Rifan, “ia selingkuh dengan lelaki lain saat aku sibuk bekerja. Aku telah mencoba membuang pikiran burukku tentangnya sebelum itu. Aku mencoba sabar. Tapi kesabaranku telah di uji sampai pada batasnya. Aku menceraikannya. Seketika itu hatiku teringat akan Linda yang ku siakan kepercayaannya dulu. Sejak saat itu, aku mencari informasi keberadan Linda hingga sampai aku berada disini,” jelas Feri panjang lebar.

“Dan kini, jika semisal aku tidak menjadi suaminya, kau akan mengemis untuk mengharap kepercayaannya kembali?” nada Rifan mulai meninggi. “Kau seperti sampah, Fer. Kau bukan seperti Feri yang aku kenal. Kini kau begitu bodoh.”

“Sudah, Fan,” sahut Linda dengan memegang tubuh Rifan.

“Tidak apa Lin. Aku memang bodoh. Aku memang pantas mendapat cacian itu.”

Rifan mulai mengatur nafasnya. Mencoba menjaga kesadarannya. Ia berdiri menjauh membelakangi keduanya. Berdiri menatap pelataran rumahnya yang diterangi cahaya lampu temaram dari teras rumahnya serta perlahan mengusap wajah dan rambut di kepalanya.

“Maafkan aku. Fer. Kau tidak pernah mendengarkan aku. Apakah kini kau sadar akan pilihanmu dulu? Inilah dampak pilihan yang kau ambil dulu. Mau tak mau, inilah takdir burukmu,” ujar Rifan dengan nada yang mulai merendah.

“Maafkan aku. Aku kini akan menerima semua takdirku. Aku akan mencari kepercayaan baru dalam hidupku. Aku akan mengikuti semua ucapanmu, Fan.” ucap Feri seraya bergegas berdiri dari tempat duduknya menatap Rifan yang berdiri agak jauh di depannya.

“Aku akan pergi dari sini. Aku telah mengganggu hubungan orang-orang yang aku sayangi. Maafkan aku Linda atas semua perlakuanku dulu hingga saat ini.” Tatap Feri kepada Linda yang tetap terduduk. “Dan untukmu Fan, kau sahabat terbaikku. Kau telah menegurku, membuka jalan pikiran bodoh ini.”

Linda dan Rifan tak bergeming. Mereka tetap berada di posisi masing-masing.

Feri mencoba memperbaiki sikapnya, “Baiklah, semoga kalian hidup bahagia. Selamat atas pernikahan kalian berdua. Kamu beruntung Fan dapat gadis seperti Linda. Jagalah Linda dan anakmu baik-baik. Sampai jumpa.”

Kata itu mengakhiri perjumpaan mereka bertiga. Feri pergi dari pergumulan itu. Mereka berdua hanya diam dan sosok yang mereka kenal perlahan menghilang dari balik gelapnya malam. Rifan merasa bersalah telah membiarkan sahabatnya pergi begitu saja. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Maafkan aku, Fer. Semoga kau dapatkan kepercayaan baru suatu saat nanti,” lirih Rifan pelan.
Diubah oleh efantastik 17-11-2017 13:25
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.5K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan