Selamat malam dan selamat aku rindukan, cantik. Terimakasih telah datang malam ini bersama belati rindu. Belatimu tak tajam sayang, cabikannya tak meninggalkan luka.

Aku hanya sedang lelah menahan resah. Aku gundah pada gelisah yang tak terarah. Sudah berapa lama kita saling memainkan peran? Kamu sebagai pengutuk rindu dan aku sebagai pengabdi kelu,

Luangkan sedikit waktu untuk kita bertemu, Sayang. Biar ku tatap senyum ranum yang tak menetap. Cobalah kita duduk berdua di penghujung senja, lalu berikan separuh menit untuk ku mengabadikan betapa teduh bola mata yang kamu punya
Malam ini aku terjaga, menahan perih karena rindu yang membungkam diam. Aku benar-benar sedang diperbudak jarak. Entah berapa kali aku menepis tipis tiap sepi yang merajam tajam.

Sayang, kamu begitu menarik. Lantas harus ku andaikan apa dirimu?
Aku bingung
Tak mungkin ku andaikan kamu kepada mawar ketika mekarnya bisa memudar. Apalagi kepada air yang mengalir tanpa tau kapan menjadi keruh. Kamu juga lebih dari sekedar hunusan angin yang menghantam tenang dan merobek kenang.
Sayang, lantas harus ku sebut apa dirimu? Sudahlah, tiada hal yang mampu mengungkap setiap indah darimu.
Pesona mana, yang menjelma sutra, membalut lembut setiap kusut yang tak terajut. Kamu.
Nama mana, yang merasuk rusuk, menembus jantung digantung-gantung. Jatuh ke hati tak lagi bertepi. Kamu.

Sayang, rinduku benar-benar telah membeku kaku. Perlahan perih tertatih meredam dingin tak berangin. Kala embun pagi mengayun senyum mengiris garis-garis gerimis tangis.
Aku merebah, pasrah menatap kosong pada langit-langit kamar. Di sana ku gantungkan namamu dengan begitu banyak ikatan-ikatan rindu. Berputar pelan -kadang cepat mengiringi setiap sendu penuh ragu.
Biarlah belati rindumu tetap tinggal di tubuhku, mendekap senyap dan menimang bimbang. Meski tanganmu belum sanggup ku genggam dan ragamu belum mampu ku pinang, rinduku hanya tertuju untuk dirimu seorang.

Aku rindu