AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
[Cerpen_Lebaran]: Museum Keabadian Masa Lalu


Gema takbir masih terdengar sayup-sayup dari menara masjid desa. Terlantun dengan nada melo bak suara Syekh al-Mishary. Merawankan hati, laksana ratapan kerinduan seorang perantau yang teringat kampung halamannya, menambah kesyahduan masyarakat yang baru saja menunaikan shalat Idul Fitri. Mereka hilir mudik bersilaturrahmi ke rumah sanak saudara dan handai taulan, saling bermaafan, atau memaketkan doa-doa ke makam orangtua dan orang-orang yang mereka kasihi.



Sementara Aku, masih tafakkur dengan khusyu’ di ruang tamu berukuran 5x7 meter ini. Terduduk lesu di atas karpet yang telah berubah warna oleh berbagai kotoran. Tak terhitung berapa tetes airmataku membasahi alas lantai ini.

Bagaimana mungkin jiwaku tidak terkoyak, ketika kulihat semua perabot di rumah yang dulu sangat dibanggakan ini, seolah-olah memandangku dengan penuh harap agar aku mengasihinya. Bagaimana bisa hatiku masih kuncup, sedangkan semua kenangan masa kecil, terlukis jelas pada setiap dinding. Sementara gelak tawa kebersamaan keluarga kami, terdengar harmonis memantul pada setiap sudut.

Ketika masuk, kuucapkan salam layaknya seorang tamu. Kuputar lembut pegangan pintu yang dulu berwarna kuning mengkilat bak bersepuh emas itu. Kini terlihat kusam dan kuncinya tidak berfungsi. Daun pintu yang bermotif bunga kodorong pelan. Warna hijaunya telah berbintik-bintik putih, layaknya daun yang dihinggapi jamur.

Engselnya berderit, menjerit sakit. Terdengar pilu dan menyayat kalbu.
Kukelilingi seluruh ruangan rumah yang berukuran 10x20 meter ini dengan hati berdebar.

Kumasuki setiap ruang, mulai dari kamar Ayah Ibu di bagian depan. Sekalipun penuh debu, namun terlihat masih rapi, seolah-olah ada tangan-tangan halus yang merawatnya. Kusingkap tirai kelambu yang mengembang sambil mengucap salam, seakan-akan keduanya masih berbaring di dalamnya.

Kubuka pula setiap kamar saudara-saudaraku. Kulihat sarang laba-laba memenuhi setiap sudut ruangan hingga menyentuh lantai. Sementara kapuk dari bantal dan tilam, berhamburan bercampur dengan kotoran-kotoran tikus yang menjadikan alas tidur itu sebagai sarangnya.



Aku beranjak ke ruang makan. Di sinilah biasanya keluarga besarku berkumpul menghadapi hidangan. Aku anak kelima dari sepuluh bersaudara. Di atasku ada dua kakak wanita, dan dua pria. Di bawahku ada dua adik perempuan dan tiga laki-laki. Usia kami rata-rata hanya terpaut 2 tahun saja. Ibu tidak mengizinkan makan, sebelum semua anaknya duduk mengelilingi meja ini.



Kudongokkan kepala ke atas. Kulihat papan plafon triplek berukuran 50x90 cm itu banyak yang telah lepas dari rangkanya, sebagian masih tergantung, dan hanya sedikit yang masih utuh.

Sepertinya kayu-kayu itu ikut rapuh bersama lenyapnya tangan Ibu yang dulu senantiasa membersihkannya.

Di ruang dapur, kulihat hal yang lebih mengiris hati. Lantai dan dindingnya yang terbuat dari kayu ulin, ternyata juga mulai rapuh. Lantai yang dulu selalu mengkilat oleh jari-jari ibu yang terampil, terasa licin ketika disentuh kaki. Dulu Ayah ingin mempermanenkan bagian ini dengan beton. Namun usianya lebih dulu memangkas cita-citanya.

Kubuka pintu belakang yang menghadap kali. Di sini dulu kami bermain air yang langsung disedot dari sungai, yang terkadang membuat Ibu marah karena air menyembur ke arah jemuran atau membasahi dinding.

Dulu, rumah ini setiap malam dan pagi Idul Fitri dan Idul Adha, selalu dipenuhi oleh masyarakat. Orangtua, dewasa, dan anak-anak dengan penuh suka cita datang ke sini. Begitu pula bila kami mengadakan selamatan. Selain karena ingin menikmati daging kambing yang disuguhkan, mungkin juga karena terhipnotis dengan kemegahan rumah ini.

Pada hari-hari biasa pun rumah ini tak pernah sepi. Tamu dari berbagai kalangan selalu datang dengan bermacam keperluan. Mulai dari meminta sumbangan, musyawarah desa, dan kepentingan lainnya. Kalaupun tak ada tamu, rumah ini juga selalu ramai oleh 12 orang penghuninya.

Ayah melarang kami bermain di luar rumah. Di ruang tamu inilah biasanya kami bermain, lalu bertengkar, hingga berakhir dengan teriakan atau tangisan. Suara inilah yang memancing Ibu meninggalkan pekerjaannya, untuk melerai pertikaian atau menghibur anak-anaknya yang kalah dalam perang saudara.

Namun kini, rumah ini hanya meninggalkan serpihan-serpihan duka. Semuanya berawal dari kematian Ayah yang tiba-tiba, di usianya yang relatif muda, 45 tahun.

Ayah wafat ketika Aku duduk di kelas 2 SMP. Setelah ia tiada, berangsur-angsur kakak-kakakku meninggalkan rumah ini, membina rumah tangga sendiri.

Saat Aku naik kelas 2 SMA, dan adikku yang bungsu berusia 6 tahun, Ibu menyusul Ayah ke alam barzakh. Waktu itu, rumah besar ini benar-benar bagaikan kepadaman lampu.

Semua sudut rumah ini terasa begitu gelap dan sepi, sekalipun setiap ruangan diterangi Philips 20 Watt. Adik-adikku bagaikan anak-anak ayam yang kehilangan induk, berteriak-teriak memanggil Ibu, terutama si bungsu yang masih belum bisa mengenakan pakaian seragam sekolah sendiri.

Walaupun berbagai mainan dibelikan oleh kakak-kakakku, ia tetap berontak seolah-olah tak bisa lepas dari belaian Ibu. Akhirnya, hanya saudari Ibuku yang bisa menenangkannya. Mungkin karena wajah dan sifatnya yang sangat mirip dengan Ibu, si bungsu mulai akrab dan bersikap agak tenang bersamanya, sehingga Bibi dan suaminya bersedia tinggal di sini

Namun hanya sekitar dua bulan kedamaian itu bisa bertahan. Si bungsu mulai bertingkah aneh lagi. Hampir setiap malam terjaga dan berteriak histeris memanggil Ibu. Ketika ditanya, selalu dijawab dengan kalimat yang sama, “Mama datang!” Hal ini membuat kami menjadi semakin iba padanya. Akhirnya Bibi memboyong adikku itu ke rumahnya.

Setelah tamat SMA, Aku melanjutkan kuliah ke Banjarmasin. Adik-adikku menyusul si bungsu tinggal bersama Bibi. Sejak saat itulah rumah ini satu persatu mulai ditinggalkan penghuninya, sehingga sekarang benar-benar bagai sebuah museum bisu.

Mungkinkah semua itu sebagai bukti kebenaran mitos, bahwa jika sebuah bangunan didominasi oleh kayu ulin, maka para penghuninya takkan mampu bertahan lama? Konon katanya, ulin adalah kayu yang paling keras dan mempunyai daya magis. Kekuatannya itulah yang secara mistis mengusir penghuninya, agar ia tak tertandingi.

Selesai kuliah, aku langsung menikah. Di hari resepsi perkimpoianku itulah seluruh saudaraku berkumpul di rumah ini. Sebuah reuni akbar untuk mengenang masa kecil kami yang penuh sukacita. Namun semeriah apapun acara pestanya, tetap saja rumah ini terasa sangat sepi tanpa kehadiran orangtua. Bahkan si bungsu yang saat itu sudah duduk di bangku SMP, masih tak bersedia bermalam di sini. Aku sendiri, dua hari setelah resepsi, langsung tinggal di rumah mertua.

Kini 15 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Semua adikku telah menikah. Mereka tinggal di berbagai kota yang berjauhan jaraknya. Aku tak mengerti, mengapa tak seorang pun yang berminat tinggal di rumah ini, padahal makam Ayah dan Ibu berdampingan di halaman rumah ini.

Karena itu, minimal setahun dua kali, Idul Fitri dan Adha, kami selalu berziarah ke makam ini, sekaligus bernostalgia dengan rumah yang telah menjadi Museum Keabadian ini. Sebuah monumen sejarah, bahwa di sini kami pernah ada. (*)
Spoiler for Referensi:

Quote:
Diubah oleh Aboeyy 25-04-2019 14:26
mainidaAvatar border
anasabilaAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan