AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Bunga Mawar Lukisan Hati Yang Luka



Jika Anda ingin melihat fotografer aneh dengan karya-karyanya yang nyeleneh, maka datanglah ke rumah itu. Di kamarnya yang berukuran 3x3 meter, akan kau lihat print out hasil jepretannya memenuhi hampir seluruh permukaan dinding.

Di samping pintu, terpampang foto-foto jasad tanpa kepala dengan darah yang masih mengalir dari tebasan leher. Di dinding sebelah kanan, terpasang gambar-gambar potongan tangan dan kaki. Di sisi kiri terdapat ceceran putih kemerahan seperti otak yang terhambur di atas aspal. Di seberang pintu, terlukis jelas usus-usus yang terburai.

Lampu bohlam merah yang menerangi ruangan, seolah-olah ikut memoles lukisan cahaya itu menjadi hidup. Warna darah dari objek foto terlihat semakin kontras dan segar, seakan-akan disaksikan langsung dari lokasi kejadian. Tersusun rapi dan tercetak di atas kertas berukuran A4, dengan komposisi warna yang seimbang dan natural. Tubuhku terasa bergidik saat pertama kali memandangnya. Yah, semuanya tentang kecelakaan lalu lintas, perkelahian, dan darah.

Jika pemandangan di dinding itu begitu menyeramkan, maka panorama di meja kerjanya sungguh menyenangkan. Hampir seluruh bidangnya ditempeli gambar-gambar wanita. Tak perlu kugambarkan secara detil. Cukuplah kukatakan bahwa semuanya tentang perempuan cantik dan sexy.

Fotografer itu masih sibuk di kursi putar. Kamera masih connect dengan komputer. Sambil menghisap rokok, lelaki berhidung mancung dan berambut gondrong itu tampak sedang mengedit foto yang mungkin baru dijepretnya.

Sejak diperkenankan masuk, ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin karena sedang berkonsentrasi, sehingga ia tidak langsung mempersilakanku duduk. Aku hanya berdiri sambil memperhatikan gambar-gambar yang terpampang di dinding itu.

Pagi itu adalah kunjungan perdanaku ke tempatnya. Aku baru mengenalnya dua hari yang lalu. Sore itu, cahaya mentari mulai melemah. Sinarnya agak redup. Seorang lelaki yang kuperkirakan seusia denganku, 29 tahun, duduk santai di atas motor yang diparkir di tepi jalan, sambil memegang kamera. Sebuah tripod tergantung di stang motornya. Aku yang baru belajar fotografi, sangat tertarik untuk berkenalan dengannya.

“Lagi motret apa, Mas?” sapaku setelah menghampirinya.

“Ah, cuma jepret-jepret doang,” sambutnya bersahabat.

“Sejak kapan suka fotografi?”

“Yah, sejak awal kuliah,” jawabnya santai.

“Jadi fotografer?” selidikku.

“Tepatnya fotografer jalanan,” sahutnya sambil memencet-mencet tombol kamera.

“Tapi sepertinya profesional banget,” pujiku. Ia hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Lalu kami berkenalan, dan kuceritakan bahwa aku juga menyukai fotografi.

“Boleh ngga aku berkunjung ke rumahmu?” tanyaku saat akan berpisah.

“Boleh. Nih kartu namaku!” jawabnya setelah mengambil sesuatu dari dompetnya.

“Andi Kelana, Fotografer Jalanan”, itulah header yang tertera pada kartu itu.

“Sip!” seru Andi sambil mengklik perintah Save dari aplikasi yang dijalankannya. Ia menoleh ke arahku.

“Silakan duduk!” pintanya ramah sambil menunjuk kursi di depannya.

“Terima kasih!” sahutku tersenyum, lalu mataku berputar, mengelilingi permukaan meja itu.

“Di mana ngambil foto-foto ini?” Aku menunjuk ke atas meja berlapis kaca itu.

“Di tepi jalan atau sambil jalan, seperti yang kau lihat kemarin,” sahutnya pelan.

“Gimana caranya?” tanyaku penasaran, karena sebagai pemula, aku sangat ingin bisa memotret seperti dia.

“Yah, cukup santai di pinggir jalan, lalu bidik objek yang dianggap menarik.”

“Tidakkah dia akan marah kalau tahu dirinya difoto?”

“Kamu harus bisa mengambil gambar dengan kamera di atas pinggang tanpa melihat viewfinder,” jelasnya yang membuatku semakin kagum dengan keahliannya.

“Foto-foto ini juga kuambil dengan teknik seperti itu,” lanjutnya sambil menunjuk beberapa potret yang lain.

“Kalau yang ini?” Telunjukku mengarah ke foto seorang perempuan yang terbuka bokongnya sedang naik motor.

“Itu kuambil sambil jalan naik motor.”

“Gimana caranya?” Aku semakin takjub.

“Gantung kamera di dada, setting pada mode sport, ambil posisi yang tepat di belakangnya, lalu klik,” jelasnya. Lalu ia menunjukkan foto lain yang dijepretnya dengan cara itu. Kulihat hasilnya cukup sempurna seperti diambil dengan posisi biasa.

“Kalau foto-foto itu?” Aku menunjuk ke dinding. Ia bangkit dari kursi.

“Ini kuambil dari jalanan. Biasanya setiap hari mulai pukul sepuluh sampai pukul empat sore aku berkelana. Aku mengabadikan setiap korban kecelakaan lalu lintas yang kujumpai. Pulangnya aku santai di pinggir jalan, untuk mengambil foto-foto seperti itu.” Ia menunjuk ke meja. Aku terpesona memperhatikan potret itu.

“Terkadang aku hunting foto ke pasar-pasar. Ini hasilnya,” lanjutnya sambil menunjuk foto korban perkelahian.

“Kenapa objeknya selalu darah dan wanita?” tanyaku tersenyum.

“Karena darah identik dengan wanita,” sahutnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa, karena menduga maksudnya adalah perempuan akrab dengan darah menstruasi.

“Apa hubungannya darah dengan wanita?” tanyaku memastikan.

“Darah adalah ekspresi cintaku terhadap wanita.” Wajahnya mendadak serius.

“Ekspresi cinta,” ulangku dalam hati. Aku tak mengerti maksudnya.

“Cinta biasanya diekspresikan dengan bunga. Tapi mengapa harus diungkapkan dengan darah yang umumnya ngeri dilihat oleh wanita?” tanyaku kritis.

“Karena darah adalah hidupku,” sahutnya filosofis. Aku tidak membahasnya.

“Kalau boleh tahu, siapakah wanita yang kamu cintai itu, sehingga harus dilukis dengan darah?”

Lelaki itu menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan, seolah-olah melepaskan beban yang menghimpit dadanya.

“Inilah yang pertama kali membuatku suka fotografi.” Tangan kanannya menempel di kepala, seolah-olah sedang merangkai memori kenangannya.

“Gimana ceritanya?” Aku semakin tertarik dengan pengalaman masa lalunya.

“Sebenarnya sejak SD aku suka pelajaran melukis atau menggambar. Tapi minatku tak didukung oleh bakat. Tanganku terlalu kaku untuk menarik garis lengkung. Melukis seperti daun atau bunga, hasilnya tak pernah sempurna. Guru selalu memberi nilai hasil karyaku di bawah lima. Namun jariku cukup cekatan untuk menggambar sesuatu yang punya bidang, seperti meja, gedung atau layang-layang.”

“Jadi, apa kaitan darah dengan wanita?” tegasku lagi, karena inti pertanyaanku belum terjawab.

“Saat kelas dua SMA, aku menyatakan cinta pada seorang teman wanita satu kelas. Kami sudah berteman akrab sejak kelas satu. Namun ia menjawab bahwa lebih baik bersahabat saja. Aku sakit hati. Terlebih lagi setelah kuketahui ia menerima cinta siswa kelas tiga yang memberi lukisan bunga pada saat ulang tahunnya. Padahal saat itu aku juga memberinya kado potret bunga yang indah. Aku sangat menyesal, mengapa aku tak pernah bisa melukis bunga.”

“Lalu?”

“Seminggu kemudian, suatu sore di beranda kostnya. Sebagai bukti cintaku, kugores lengan kiriku dengan silet hingga berdarah di hadapannya. Cairan merah langsung menciprat. Kulihat darah itu membentuk sketsa seperti sekuntum bunga mawar merah yang indah, terlukis jelas di kemejaku yang berwarna putih. Mungkin karena ngeri, ia spontan menjerit dan berlari ke arah jalan, hingga sebuah motor menabraknya. Lututnya berdarah, namun tidak terluka parah. Mulai saat itu, ia selalu menghindar dariku. Aku semakin kecewa, namun aku tetap mengharapkannya, hingga kami terpisah setelah lulus sekolah. Entah mengapa, kekecewaan itu akhirnya membuatku terobsesi dengan darah. Saat awal kuliah, aku membeli kamera dan mulai suka berburu foto-foto darah dan wanita,” jelasnya serius.

“Mungkin sebagai pemuas dahaga cintaku yang tak terbalas,” lanjutnya dengan tersenyum.

“Sudah punya istri?” tanyaku serius.
“Belum,” sahutnya pelan.

“Sampai kapan?” tanyaku tersenyum, padahal hatiku terasa miris. Aku sendiri sekarang sudah punya dua anak. Tapi orang yang kunilai lebih tampan dan mapan dariku ini hingga usia segini belum menikah, batinku.

“Yah, mungkin sampai aku bisa melukis bunga,” jawabnya ragu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Bukankah kamera bisa menggambar bunga yang lebih indah dari aslinya?”

“Dalam pandangan perempuan, mungkin tiada bunga yang lebih indah selain yang dilukis dengan kreasi tangan dan hati. Buktinya, wanita itu lebih menghargai kado lukisan bunga, daripada yang dipotret oleh kamera,” jelasnya dengan mata sayu.

Aku tertegun. Aku tak tahu pasti, gejala gangguan psikologis apa yang dialami pemuda ini. Ia seperti menderita tekanan batin yang hebat karena wanita. Aku sangat ingin menyelami lebih dalam tentang pribadinya.


Aku mau memberinya pandangan agar ia bisa terlepas dari depresi kejiwaan yang kunilai sudah sangat jauh di bawah batas normal itu. Namun mengingat tujuanku hanya untuk belajar teknik fotografi darinya, maka kuabaikan persoalan hatinya itu.

“Boleh aku ikut kalau kamu hunting foto?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Boleh. Sebentar lagi aku mau berangkat.” Ia mengambil kamera dan men-shutdown komputernya.

Sejak pagi itu, hampir setiap hari aku mengikuti petualangannya. Selesai memotret sesuatu, aku senantiasa membandingkan hasilnya. Jepretannya selalu terkesan lebih artistik dari punyaku, padahal objek dan kamera yang kami pakai sama. Mungkin karena sudut pengambilan dan penjiwaan kami yang berbeda. Ia seolah-olah menekan tombol shutter dengan emosi, sedangkan aku masih memakai jari.

Hampir 3 bulan aku berteman dengannya, namun keahliannya tetap tak tertandingi. Hanya satu hal yang kusayangkan darinya. Ia tak pernah memakai helm yang selalu dibawanya, kecuali jika ia melihat ada polisi di depannya.

Suatu siang yang cerah. Cahaya matahari agak redup tertutup awan putih.

“Ini kondisi cuaca yang bagus untuk pemotretan,” komentarnya.

Kami jalan dengan motor masing-masing sambil ngobrol. Aku mengambil posisi di tepi. Saat berada di jalan yang sepi, tiba-tiba ia memacu motor lebih kencang. “Sepertinya ada kecelakaan di depan,” serunya.



Sekitar 2 meter dari objek, ia berhenti. Tanpa memperhatikan posisi, ia langsung duduk di atas motor. Dengan cekatan ia menjepret seorang wanita yang terjatuh dari motornya. Usianya mungkin sekitar 25 tahun. Pahanya yang putih terlihat merah berdarah.

Objek ini pasti sangat menarik bagi temanku ini, karena ada darah dan wanita sexy dalam satu frame. Perempuan itu terduduk di aspal sambil meringis di dekat seorang lelaki yang terkapar. Darah segar masih mengalir dari mulut pria itu.

Tidak jauh di depan korban, sebuah mobil terparkir. Pengemudinya turun, mungkin untuk menolong. Begitu melihat korban yang tak bergerak, orang itu kembali ke mobilnya. Temanku sempat mengabadikan gambar mobil dan sopir itu, sebelum kamera dan tubuhnya terjungkal ke depan. Entah bagaimana, tiba-tiba seorang pengendara lain menabrak motornya dari belakang. Orang itu sempat jatuh sebelum kabur.

Temanku terhempas mengenai kaki wanita itu. Kepalanya terbanting ke aspal. Keduanya sempat bertatap muka sejenak, sebelum ia tak sadarkan diri. Kepala dan tangannya berdarah. Saat itulah aku terpikir untuk memotret, sebelum ketiga korban dibawa ke rumah sakit.

Perempuan yang tidak cedera serius itu mulai pulih. Ayahnya belum bisa bicara. Mulutnya tertutup perban. Sedangkan Andi yang dirawat satu kamar dengan mereka, masih belum bisa bergerak leluasa. Kepalanya mendapat 3 jahitan. Wanita itu dimintai keterangan oleh polisi. Namun ia tidak bisa mengingat dengan jelas kronologis kejadian dan ciri-ciri pelaku tabrak lari yang menimpanya itu.

Saat aku diwawancarai, foto hasil jepretan temanku itulah yang lebih banyak menjawabnya. Namun pelaku yang menabrak temanku masih belum teridentifikasi.

Sambil menunggu kedua korban pulih, aku bercakap-cakap dengan wanita itu. Sesekali ia memandang wajah Andi yang masih tak berdaya. Lalu gadis itu keluar, yang katanya untuk membeli sesuatu.

Akhirnya, karya termahal dan monomental temanku itu berubah menjadi bunga mawar merah. Mungkin sebagai ungkapan empati dan simpati, sebelum pulang bersama ayahnya, wanita itu meletakkan sekuntum kembang di telapak tangan kanan Andi.

Setelah ia membuka mata, red rose flower yang tercipta dari darahnya itu perlahan diciumnya. Lalu kubisikkan dengan lembut di telinganya, “Sekarang kamu sudah bisa melukis bunga. Cat, kuas, dan kanvasnya telah menanti.”

Written by Aboeyy. Photos from Google.
Diubah oleh Aboeyy 28-09-2019 08:41
adestieyAvatar border
anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.7K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan