BangkitveuzAvatar border
TS
Bangkitveuz
Alman
Alman yang Mencari Tuhan di Hadapan Bayangan

Bangkit Prayogo

 
 
            Hidup di dalam kesendirian, membuatnya malu untuk mengakui jika bahagia tak butuh kebahagiaan. Bahkan ia tak tahu di mana tempat sesungguhnya untuk mengadu, atau menggali masa lalu yang dirampas oleh ingatan-ingatan kecil yang menyakitkan. Ia hanya tahu tentang suara-suara malam dan pagi, yang berkumandang di hadapan matanya. Seperti Tuhan. Seperti tulang-tulang kematian yang berserakan di jalan. Menggali dan memanggil atau pun diam untuk sesaat kepada alam. Ia hanya paham jika setiap malam ada bintang dan bulan, dan pagi selalu menenun cahaya matahari untuk kehangatan. Jantungnya berhenti, matanya tak berkedip saat gumpalan asap turun dari bawah air matanya. Bibirnya yang gemetar. Dan tangannya tak sekalipun menyentuh angan-angan masa kecilnya sendiri. Ia teringat saat kedua orang tuanya hilang secara bersamaan. Malam yang dingin, bunyi suara tapak kaki yang semakin mendekat dan kicauan burung hantu yang mengeja malam. Di dalam kamarnya yang rapuh ia menutup air mata, dan melihat bayangan itu mendekat untuk mencium bau tubuhnya. Mawar yang indah dan goncangan itu sekejap hilang menjadi darah. Menjadi kebekuan yang tak tahu arahnya sendiri. Ia mendengar jeritan suara itu samar-samar menjauh ditelan suara malam, dan angin menghimpun ketakutan. Bayangan itu bergerak jauh, menyelusuri semak-semak dan tak kembali ke dalam mimpinya. Sedangkan dirinya hanya meratapi bayangan, di hadapan jendela ia tak tahu bergumam kepada siapa. Dan sekejap ia bangun, melihat segerombolan orang mencium tubuhnya yang telanjang. Ketakutan itu sekejap menjadi rangsangan, dan sekejap rangsangan itu kembali menjadi ketakutan. Ia berlari menuju hutan, dan bersembunyi di antara semak-semak berduri dan memakan apa pun yang ada di hadapan matanya.
            Bayangan itu selalu menghantui dan menggerayangi gendang telinganya yang rapuh. Ketakutan yang menjadi-jadi. Darah muncrat dan suara jeritan itu terdengar menyayat hati. Bulan terkadang membiarkannya menangis, mengingat kedua orang tuanya yang seketika hilang ditelan masa. Matahari tak jauh berbeda dengan dendam, dan bibirnya semakin hitam. Memakan segalanya dengan keadaan renyah yang menyakitkan. Tangan itu telah mencekik tubuh ibunya, dan kaki itu telah menginjak leher ayahnya. Siapa bayangan itu? Untuk apa dalam sekejap membawa kabur tubuh yang tua, tak meninggalkan jejak. Bahkan membiarkan dirinya sebagai tersangka utama hilangnya ke dua orang tuanya. Ia sendiri telah berusaha berjalan sejauh waktu, meninggalkan tubuh yang kehilangan kebahagiaan. Luka menganga. Mata yang sayu. Dan bunyi perut yang terkadang melempar haru. Ia hanya bisa memahami jika masih ada Tuhan di dunia ini. Ia sembah pohon sebagai Tuhan, sebab ia merasa jika tubuh-tubuh Tuhan adalah keadaannya sendiri, mendorongnya untuk berdoa setiap hari. Dan duduk menepi menggali ingatan tentang bayangan itu. Bayangan yang berjalan menuju kamarnya. Bau mawar yang menyejukkan. Ia teringat tentang penyakit yang bergelantungan di tubuhnya. Terutama otak yang terkadang memiringkan suara udara bagai kesunyian yang meradang. Seorang dokter pernah mengakatan kepada ibunya, jika di dalam tubuhnya ada tubuh lain. Tubuh itu terbagi menjadi bagian-bagian kecil atas tindakan. Bahkan bisa saja tubuh yang lain itu membunuh dirinya sendiri dalam keadaan sadar. Ibunya hanya tertawa, dan tak memercayai apa yang diucapkan dokter tersebut. Ia hanya teringat jika ibunya berkata “Tubuh manusia hanya ada satu, dan satu itu adalah wujud dari tubuh anakku ini. Dokter tak usah membuat lelucon tentang tubuh, dokter bukan Tuhan yang bisa menciptakan tubuh yang lain atau pun menebak atau pun menerka. Anakku hanya sering melamun, obat baginya adalah keramaian dan kebahagiaan,” ia dengan sedikit mata terpejam, melihat senyum ibunya yang pasi. Senyum yang terpaksa. Dan dokter itu pergi meninggalkan tubuhnya yang lain tersebut. Tapi setelah itu hidupnya terasa lancar, penuh senyum, tangis dan bahkan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebelum kejadian malam itu datang, dan merampas keindahan hidup yang telah dirangkai oleh bayangan. Bayangan itu siapa? Baginya ingatan itu kembali datang, menyusuri semak-semak dan berhadapan dengan suara kelelawar yang berhamburan. Melewati batang-batang pohon jati. Dan jalan setapak yang berkerikil bebatuan.
            “Kau adalah diriku yang sebenarnya,” tiba-tiba suara serak datang, dengan menyelimuti malam yang semakin dingin. Ia hanya menutup matanya, dan mencoba tak mendengarkan kehadiran kelelawar yang memakan sisa darah hewan yang dibunuhnya.
            “Siapa dan kenapa bayangan itu membawa ke dua orang tuamu? Hanya aku dan kau yang bakal tahu jawaban sesunguhnya.”
            “Aku?”
            Ia mengernyitkan matanya yang tertutup dan berlari dengan tubuh yang telanjang. Berlari menembus semak-semak berduri tajam. Mengajak bulan menangis dan bintang pun pergi membawa bekal air matanya yang berubah warna. Kelelawar-kelelawar itu tertawa, masuk menuju kesunyian di antara batang-batang pohon jati. Dan burung hantu hanya bersemedi. Sesekali melihat dirinya yang terkapar kaku di bawah tanah bebatuan. Tubuh itu menganga. Menggeliat setelah suara itu samar-samar menyakiti pikirannya. Menyakiti ingatan yang tak bakal bisa dilupakan. Di mana Tuhan? Ia hanya berseru dan menembus kesadaran bersama gumpalan awan. Awan yang membentuk senyum ke dua orang tuanya. Awan yang membiarkannya kaku dan sekejap hilang menuju hitam. “Aku?” ia hanya teringat tentang aku. Aku yang tak lain adalah tubuhnya sendiri. Tubuh yang terbagi dua, dan menghilang bersama suara-suara malam yang membungkus dendam. Ke dua orang tuanya adalah pikiran yang bebas dan melayang bersama keadaan yang lain. Ia perlahan membuka matanya, cahaya matahari mulai mengemas kehangatan. Dirinya yang telanjang terkapar kaku di atas tanah bebatuan. Berdarah, lengan yang patah. Tapak kaki yang bernanah. Kuku yang terkelupas dari kulitnya. Rambut yang kusut. Dan perut yang robek akibat duri semak-semak yang beracun luka. Ia tak dapat berdiri, ia hanya dapat menghela nafas panjang dan sesekali berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan. Tuhan. Cahaya itu hadir, hutan ini menangis. Pohon jati menyelimuti hatinya. Daun-daun kering mengeluarkan asap untuk kehangatan tubuhnya. Akar-akar pohon menarik kakinya. Untuk pegangan agar tak terjatuh ke dalam masa lalu. Getah-getah pohon datang mengobati luka di perut, lengan dan tapak kakinya. Ia merasa damai datang tiba-tiba, kenangan menyeruak bahkan melebihi keba- hagiaan tentang ke dua orang tuanya. Ia bangun dan berusaha memandang alam di hutan ini yang berbicara kepadanya. Seakan ia telah hidup ke dalam alam lain, dan bertemu dengan persimpangan antara mimpi dan khayal.
            Ia terlusuri jalan kecil, yang semakin mengerucut. Dan di ujungnya ada jembatan bergelantungan membawa bekal makanan untuk dirinya. Pemandangan yang sangat indah, bunga-bunga mawar berhamburan, tak lagi layu. Bahkan binatang-binatang, seperti kupu-kupu, kumbang, kambing, sapi, ular, serangga tersenyum kepadanya. Dan melambai untuk mendekat dan menjadikannya saudara sehidup semati. Ia tersenyum, bibirnya yang hitam berubah warna. Biru muda. Dan rambutnya yang kusut terbawa angin yang mengeluarkan harum mawar. Luka di tubuhnya perlahan hilang, bahkan menjadi cahaya putih yang diujungnya tergambar mata pelangi. Ia tak tahu tentang semua ini, ia hanya berjalan menuju jembatan gantung itu. Dan mendengar suara gemerecik air sungai, bebatuan memuncratkan kesegaran, embun-embun menempel di lengan dan matanya dan tapak kakinya terbang. Tertawa untuk hadir, pergi membawanya selamanya. “Ini apa?” suara itu kembali datang, dan membawanya kekal ke dalam suara-suara yang lain, tak terbatas. Di tengah jembatan gantung ini, ia teringat semua kejadian tentang malam itu. Malam yang hangus dan penuh kegelapan. Bayangan itu adalah dirinya sendiri, ia menuju kamar ke dua orang tuanya. Ia melihat ayah yang sedang mencium bibir ibunya. Dan melihat ibunya yang sedang terangsang  oleh lumatan bibir ayah. Tapi, setelah itu waktu berhenti. Tubuhnya berat, terjatuh saat ayahnya menusukkan pisau tepat ke perutnya. Pisau itu memaksa darah keluar dengan seketika.
            Darah-darah yang berhamburan dan melumer bagaikan air hujan yang jatuh dari atas atap rumah. Ayahnya tertawa, dan ibunya hanya menangis menahan apa yang tengah dilihatnya saat itu. “Kau hanya akan menyusahkan ayah dan ibumu, lebih baik kau mati dan tenang di alam sana!” Ayahnya tertawa, menusuk lebih dalam pisau itu ke dalam perut, dan ibu terus menangis, menyebut-nyebut nama anaknya yang terkapar oleh ketiadaan, “Alman, Alman anakku!”. Seolah-olah meminta maaf dengan tindakan yang mereka lakukan kepada dirinya. Ia hanyut. Ia tak bisa merasakan kenikmatan hidup di sekitar orang tuanya. Dan setelah itu semua bagaikan pasir di hadapan api yang dingin. Api yang akan menelan mentah-mentah kenyataan ini. Ayahnya tertawa di bawah sana, dan ibunya selalu menangis melihat foto anaknya yang tersusun rapi di antara senyum dan kesedihan. Ia yang berada di tengah-tengah jembatan gantung, dengan segera menghela nafas panjang, merasakan jika segala tindakan yang dilakukan ke dua orang tuanya adalah tindakan yang pasti memunyai alasan tertentu. Dengan menyusuri jembatan gantung ini, ia segera sadar jika Tuhan menyertai kebahagiaan lain kepadanya. Alam yang penuh kebahagiaan, meski tubuhnya telanjang dan termakan darah-darah masa lalu.
            Cahaya itu berpijar perlahan, dan di hadapan matanya senyum itu menyeruak menemani keadaan yang begitu menyenangkan. Ia melihat pohon-pohon, hewan-hewan mengajaknya untuk bermain. Mungkin di sinilah kebahagiaan itu, ke dua orang tuanya telah membawanya ke alam yang tak terbatas, dan dapat memisahkan tubuhnya yang lain. Tubuh itu tak akan kembali, bahkan tak akan dapat merusaknya lagi, meski malam dan kelelawar berhamburan datang. Sebab Tuhan selalu menemaninya dalam kesedihan selamanya. Mungkin yang dikatakan dokter itu benar, tubuh manusia terkadang adalah penyebab utama datangnya masalah baginya sendiri. Dan dari kejauhan tampak deretan mata tersusun rapi di antara api. Air hujan datang menempel penuh di tengah tubuhnya, ia tahu tempat ini begitu indah dan rindang. Tetapi ada sesuatu yang hilang, denyut nadi dan rasa takut yang tak bisa diungkapkan kebenarannya. Alman, hanya bisa memandang bunga-bunga mawar yang ranum dan kemerahan. Di sampingnya duduk seorang kakek tua yang mencari dua bola matanya yang menua. Ia terheran-heran, ternyata di jembatan gantung ini seluruh hewan dan manusia tak mengenal waktu. Setelah ia merasa cukup untuk melihat kenyataan mata kakek tersebut, Alman pergi melangkah ke hadapan cahaya putih. Dan menghadap beberapa mata lain, yang sedari tadi menuntunya untuk melupakan bayangan itu. Ingatan. Beberapa hari yang lalu ia masih hidup, dan saat ini ia hidup untuk melupakan masa lalu. Untuk melangkah ke depan dan berpaling dari Tuhan. Menjadi abu atau bahkan debu selamanya.
5 Agustus 2017

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
595
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan