BangkitveuzAvatar border
TS
Bangkitveuz
Kupu-kupu Muda
Kupu-kupu Biru Muda yang Datang Membawa Bekal Kenangan


Oleh Bangkit Prayogo


 
            Setelah terjaga dari tidurnya selama dua puluh tahun, ia merasa hidup di dalam kebodohan yang tak bisa dipecahkan. Ada berbagai macam sesuatu yang tak jelas, seperti tulang-tulang yang berserakan, janji-janji palsu, cinta palsu, pertikaian yang diawali oleh hina-menghina, bahkan saling bunuh-membunuh yang diawali oleh rasa iri dengki. Sehingga ia terheran-heran. Mengernyitkan dahi. Meneteskan air mata dan mencongkel kesedihannya kepada Tuhan yang entah seperti apa bentuknya. Ia lalu berjalan, menyusuri jalan tanpa kerikil batu yang tak lagi berwarna hijau. Merah tua, bagai darah yang turun meneteskan kebencian. Ia sendiri bahkan tak mengerti setelah tidur dan terbangun dengan raut wajah yang berbeda. Rambut pirang, mata sipit, kulit pucat, tubuh kering kerontang, yang terbungkus beberapa kain pucat. Kain itu pemberian Ibunya, yang meninggal akibat pemerkosaan. Ibunya yang malang, namun Ayahnya tak tinggal diam, Ayahnya dengan gesit sempat memukul bayangan-bayangan yang ingin memerkosa dan membunuh Ibunya itu. Tapi nasib berkata lain, Ayahnya mengikuti jejak Ibunya masuk ke dalam dunia tanpa batas itu. Sedangkan dirinya segera menutup mata. Dan melamun menatap jendela tanpa tahu arti sebenarnya tentang hidup dan kematian yang sesungguhnya. Ia tertidur selama dua puluh tahun hanya untuk menanti detak jantung itu berdetak lagi, dan sesekali suara teriakan anak kecil yang menangis terdengar di gendang telinganya. Kesedihan, kenikmatan dan kebungkaman dirinya tanpa diketahui telah memasuki ruang-ruang fatamorgana.
            Kini ia telah bangkit, menuju segumpal cahaya yang menuntunnya, tapi dunia telah berbeda. Gedung-gedung di bangun, kendaraan-kendaraan diciptakan. Mengepulkan asap. Mem- bangun penyakit baru. Menciptakan kesedihan baru. Dan menirukan nasib yang justru juga baru. Semua serba baru. Dan dirinya berjalan di tengah-tengah kemegahan yang sangat kontras dengan ingatan masa lalunya, dua puluh tahun yang lalu. Saat ia masih menemukan kupu-kupu bercumbu di dahan pohon jambu, atau kunang-kunang yang berhamburan saat hujan redah membawa duka yang abadi. Dan Ibunya datang dengan secangkir teh, ditemani keharuman bambu-bambu di depan teras rumahnya yang berbunyi merdu. Saat itu pula, ia sering mendengar suara azan berkumandang, melewati sela-sela kerinduan hujan yang mengisi kerendahan hati. Ia tersenyum. Menyipitkan matanya, terkadang Ayahnya duduk di kursi tua, memandang bulan yang masih muda. Matanya bergerak maju. Seolah-olah di tangannya tersusun rapi segala bentuk ketakutan yang abadi. Ia duduk. Ia memandang pelukan itu tiba-tiba ingin melupakan, dan di sampingnya ada separuh bunga mawar yang ia tanam telah mengeluarkan sari-sarinya. Begitu indah. Tuhan datang dengan kesederhanaan. Di antaranya ia temukan pelukan yang menyejukkan pandangan mata. Sepasang burung gereja tertidur dan menertawakan dirinya termangun menghadapi kemungkinan yang jauh berbeda selanjutnya.
            Saat ia berjalan dan mencoba memungut kembali apa yang ada di dalam ingatannya. Tiba-tiba satu kupu-kupu datang menyentuh dahinya. Kupu-kupu berwarna biru muda dengan mata kuning emas. Kupu-kupu itu menceritakan lagi kepadanya, tentang batas waktu. Tentang cinta yang terkubur. Tentang separuh janji manusia kepadanya. Tentang pelukan hujan yang kelak akan membawanya ke masa depan dan masa lalu. Ia termangun. Seluruh orang yang melihatnya menangis hanya diam, di tengah jalan yang ramai. Bunyi klatson. Kendaraan-kendaraan yang mengeluarkan asap. Suara orang-orang yang penuh dendam. Hanya saja ia tak perduli dengan dirinya sendiri, dengan dirinya sendiri? Sedangkan kupu-kupu yang terbang di dahinya tiba-tiba mati, menggumpal, dan menyerahkan diri kepada waktu yang tiba-tiba beku. Ia menangis. Ia mencium sayap kupu-kupu itu sebelum bulan datang membawa kesedihan yang menyakitkan. Cinta Ibu. Cinta Ayah dan cinta Tuhan tak akan pernah dapat ia ingat selamanya. Hanya saja, sebelum ia menerbangkan kupu-kupu mati itu, suara lembut menyentuh telinga luarnya. Berbisik-bisik, membicarakan gerakan tangannya yang menyentuh air matanya sendiri.
            “Aku adalah cintamu,” suara itu memeluknya dari belakang. Kaca-kaca gedung tersenyum, orang-orang diam membawa kertas-kertas yang mencatat kejadian yang melebihi waktu. Terbatas. Hanya terbatas dari dada sampai detak jantung yang menggila. Senja tiba-tiba menyeruak. Suara azan berkumandang, menempelkan pelukan itu kepada tiang-tiang kota yang rapuh, sedangkan dedaunan kering terbawa angin. Terbang menuju langit yang tanpa batas itu.
            “Aku adalah kasih sayangmu,” suara itu terbang menuju langit, turun bersama kemerahan langit yang datang membawa duka. Dukamu yang telah datang selamanya, yang selamanya itu adalah senyuman tanpa lelah yang menyenangkan. Ia teringat suara azan, yang berkumandang dari sela-sela dedaunan. Dua puluh tahun yang lalu, suara itu menghimpun bersama reranting dan gumpalan awan yang terbang menuju batas. Di atas sana, mata Ibu terkenang, dan mata Ayahnya mencium lekuk-lekuk dahinya. Seolah-olah kupu-kupu tadi adalah persimpangan antara jalan dan senja. Sedangkan orang-orang terus melihatnya, mata mereka menangis. Mencoba memeluk tubuhnya yang kaku di tengah-tengah kota yang megah ini. Mata mereka terdiri dari kenangan, mata mereka menjadi api dan kesejukan yang penuh kasih sayang. Sayu. Sedangkan hujan redah tanpa membawa gerimis, tiang-tiang berkarat seakan membiarkan tubuhnya mati, dan kembali membawa suara itu ke dalam hujan biru yang tak terbatas. Saat ini yang tersisa di hadapan matanya hanyalah cahaya senja, yang membias di antara kanal sungai, dengan suara-suara sunyi yang hening dan menyakitka. Mungkin dirinya hanya paham jika dalam dirinya sendiri tak paham dengan ketakutan. Suara itu pergi, menjauh dan tak kembali. Ia menoleh ke hadapan orang-orang yang bersimpuh menyudutkan air matanya yang jatuh perlahan. Air mata itu jatuh, melewati pipi. Melewati mata Ibunya dan Ayahnya yang tenggelam ke atas sana. Sedangkan kupu-kupu biru itu hilang entah kemana, membaur seperti debu yang kehilangan langkahnya. Ia berjalan lagi, membiarkan beberapa orang untuk tidak menolongnya. Tubuh ringkih. Rambut kumal. Tangan yang berdarah. Kuku yang terkelupas dari tempatnya. Dan bahu yang dibebani beberapa dosa. Ia tenggelam. Bahkan tak ingin terbang menuju cahaya bulan yang kekal.
            Di antara persimpangan jalan, ia temui pengemis-pengemis kecil. Penjual-penjual asongan. Tukang becak. Pemain musik jalanan. pramuria. Duduk dan melingkar menghadap langit yang tak terbatas itu. Matanya melirik di tengah-tengah suara azan yang tak ingin berhenti. Mereka semua bersujud, dengan tubuh yang lebih kumal darinya. Di persimpangan ini ia telah menemukan warna pelangi membaur dengan saga senja, yang jatuh dipelipis kenangan.
            “Kemarilah, kita nikmati hidup yang tak ingin menunda-nunda ini. Kau hanya perlu menangis dan merenungi kenyataan. Kenyataan jika di kemegahan ini, terdapat secuil kesedihan yang menyeruak di dalamnya. Langit itu adalah kita. Kita adalah langit senja yang ingin menuntun sunyi bersama Tuhan.” Kakek tua itu menuntunya, menarik kedua tangannya yang meneteskan darah. Seolah-olah di sana, ia akan temukan kebahagiaan yang sesung- guhnya.
            “Apa kalian hanya bisa menangis?”
            “Air mata adalah kami, kami adalah air mata itu. Dan air mata itu akan menuntunmu untuk tidak sombong dengan dunia. Kau adalah kami, dan kami adalah kau. Kami adalah saudaramu dan saudaramu adalah kami,” kakek itu tersenyum dan mencium ke dua pipinya. Lalu menyuruhnya duduk memandang langit dan mendengarkan suara azan yang tinggal sejengkal. “Nikmati kesedihan ini,” lalu ia duduk. Bersama-sama menikmati kesedihan yang tertinggal di antara kenangan dua puluh tahun yang lalu.
            Saat suara azan berhenti. Tiba-tiba langit terbelah menjadi beberapa bagian. Ia dapat melihat bayangan-bayangan itu terbang membawa tubuh-tubuh manusia. Manusia yang telah melupakan keheningan di sekitar. Ayah dan Ibunya, apakah telah melupakan keheningan di dalam jiwanya? Ia hanya menarik-narik kukunya yang hampir terlepas dari tempatnya. Lalu anak-anak kecil tertawa lepas, mereka bebas. Mereka memerdekakan dirinya daripada sibuk dengan kesedihannya sendiri. Ia turut ignin tertawa, saat seorang anak mengencingi kepala anak kecil lainnya. Ia telah berada di sini, di dekat kanal sungai yang membiaskan keme- gahan senja yang abadi. Saat bintang-bintang muncul dari balik tubuhnya, ia menikmati suara gitar yang jauh terdengar dari seberang sungai. Dengan bintang-bintang yang menghiasi cahaya kota ini. Dua puluh tahun yang lalu adalah saat ini, dan saat ini adalah masa depannya sendiri. Ia tersadar, jika dua puluh tahun yang lalu itu dalah dua jam yang telah terjadi. Ia hanya menghimpun, dan mencoba menembus batas waktu dengan khayalannya. Ibu dan Ayahnya hanya diam di sudut kota ini, menjejaki kesibukan dan melupakan jika anaknya telah menjadi bintang di bawah cahaya hitam. Bayangkan jika dirinya terbang dan menembus air matanya untuk jatuh pada pelukan yang lain? Yang ia rasakan hanyalah beku, jiwa yang beku. Dan sebelum sempat ia ingin menangis, ia tahan lagi kesedihan yang membuncah tersebut, sebab anak-anak kecil itu mengajaknya bermain. Bermain mencari kepala ikan yang dibungkam waktu.
            “Kemarilah, kita nikmati saja hidup ini!” Mata itu bersinar biru muda.
            “Aku?” Ia mencoba tersenyum.
            “Iya!” Serentak mereka menjawab, dan menarik tangannya untuk menceburkan diri di antara dinginnya air sungai di kota ini.
            Setelah itu ia hanya teringat hujan yang membasahi dirinya sendiri. Dan ia sendiri baru paham, jika darah itu adalah darah kedua orang tuanya. Mereka tertawa. Bahkan memeluknya di balik tirai bambu dan suara burung gereja yang menyepi. Dedaunan terbang, menancapkan pilu yang berlebihan. Lalu ia ingat, bayangan itu menuju matanya, menuju batas dirinya sendiri dan membawa bekal tubuh Ibu dan Ayahnya sendiri. Bayangan yang seolah-olah tak ingin kembali menjadi bulan. Sedangkan di daratan, orang-orang berteriak. Ingin membawanya kembali kepada mereka. Dan di antara keramaian itu, ia melihat kedua orang tuanya menangis, mengulurkan tangannya dan berteriak. Teriakan yang semakin jauh. Tenggelam bersama suara-suara gitar, dan nyanyian yang menembus kelam. Ia tak dapat kembali, hilang tertelan kebahagiaan yang sejati.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
591
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan