BangkitveuzAvatar border
TS
Bangkitveuz
Demenit I
DEMENIT AMSAKTU

 

P E R H A T I A N

Isi surat ini tidak bisa dibeli dengan waktu

Sebelum membacanya kau harus menjadi jahat

Dan membunuh para penyebar kebaikan

Demi keutuhan umat manusia

Di masa datang

                                                            {Querxiundonsuera}
 

A.   Dunia itu adalah diriku
Langit memudar di antara dedaunan yang berwarna jingga. Matanya yang kelabu menatap segala arah sudut kota tanpa perduli belas kasihan. Kasihnya telah hilang saat para kupu-kupu menjadi monster api. Tenggelam dan bangkit bersama ratusan kumbang jantan. Mereka menyerbu tempat-tempat tua. Tempat ibadah yang telah hilang kesakralannya. Mungkin setelah ini akan banyak buah-buah seperti apel, jeruk, melon, timun, anggur dan sebagainya akan berontak meminta manusia tanpa kepalanya. Aku berharap tangan-tanganku bunting. Melepas getir awan yang merasuk seluruh jiwa. Terkadang aku menatap hujan sembari berteriak di antara palung lautan. Ia adalah diriku yang bergelantungan dan menakut-nakuti diriku yang bersembunyi di balik tanah hitam. Sungguh kemurkaanmu adalah benta- ngan pelangi yang akan pergi membawa kematian Tuhan. Di mana sesungguhnya gertakan halilintar yang berhembus di keningmu? Tuhan selalu adil. Untuk hidupmu dan juga untuk hidupku. Di sanalah seluruh manusia ketakutan, menceburkan dirinya bersama kepungan malaikat tanpa sayap. Aku beranjak pergi. Memandang di segala sudut kota tanpa gemerlip hujan dan matanya. Tuhan mana yang akan abadi setelah kematian datang menebar dendam? Katakan jika semua ini masih kosong. Masih hancur. Masih berlubang ungu dan memudar palsu.
Kerajaan Visigothyang hancur karena mereka menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam keangkuhan. Mana mungkin kau harus tahu di mana titik hujan yang sudah memudar. Di balik sudut kota. Dengan gemintang kota-kota yang sudah berdebu. Aku melihat orang-orang diam dan melamun di antara dedaunan dan tanah yang lapang. Di sana aku ingin melingkarkan tubuh ini. Aku pesimis dengan harapan-harapan kecil yang kau sembunyikan dari balik lorong waktu. Kosongkan dirimu dan api akan memanas. Dan kau akan berdiri denganku, saat lautan dan api menjela iblis yang memakan diriku sendiri. Aku terlahir di kerajaan-kerajaan palsu. Di mana orang-orang lebih sering memainkan kartu tanpa kehi- dupan. Kepala-kepala terlihat bergelantungan saat orang-orang yang muda tersenyum dengan pasi. Maka aku ciptakan surga di duniamu yang lain. Suara-suara kendaraan mematikan sayap-sayapmu yang layu. Aku malu setelah kalian menjahit lukaku malam ini. Dan kini siapa yang tahu jika catatan-catatan yang aku buat bersama dengan pasangnya lautan. Lautan itu biru, memantulkan cahaya matamu yang berserakan tanpa lengan suci. Biarkan malamku pergi. Dan kau akan membacanya setelah bumi bergetar di antara siang yang sunyi. Bergetar di saat gemerlap lampu kota bersedih. Aku paham jika nol dan nol akan berakhir pada kesetiaan. Di sanalah aku hidup selamanya. Memastikan dalam diriku selalu ada hujan dan akar-akar yang tidak bisa kembali bangkit dalam perpisahan. Sebelum aku memuntahkan matahari-matahari yang aku makan selama ini, akan aku kembalikan cahaya rembulan yang memudar di mataku. Dan berharap jika catatan-catatan dengan diriku ini dapat menembus sang waktu yang semakin ragu-ragu. Aku percaya di sana diriku yang telah menjelma manusia akan berangkat menuju neraka. Tempat di mana orang-orang menjadi semakin baik, sebelum jahat menjadi semakin tidak karuan. Mimpiku hanya semalam. Hanya sebatas ilusi kosong dengan harapan akar-akar hujan dan kesunyian. Tenggelam.
*

 

Bangkit Prayogo

30 Mei 2017

Kepada diriku di tahun 1992

 
{-Playo-Al-Murabit-Abdurrahman III-Thariq bin Ziyad-Einsten-}

I

I

I

o

Telah beberapa hari ini aku lupa untuk menjual pisang goreng, pisang goreng buatan ibuku ini sangat enak. Meskipun begitu jarang orang-orang untuk membelinya, melihatnya pun terkadang ogah. Sebab memang pisang goreng masih dianggap makanan yang di makan oleh kalangan miskin. Nasib pisang goreng pun semakin menyedihkan saat segerombolan anak muda justru lebih menyukai makanan-makanan modern, seperti; Pizza, KFC, Hot Dog, Kebab dan makanan serba luar yang membuatku justru ingin memakannya. Demikian, jadi pisang goreng ibuku hidup di antara zaman yang telah mendua. Aku tak butuh harapan, bahkan tak butuh kaya untuk hidup ini, yang aku pikirkan nasib pisang goreng ibuku, nasibnya harus diperjuangkan. Sama seperti nasib kebanyakan orang miskin yang ingin mendapatkan hak-hak hidupnya sendiri. Jadi pisang goreng pun harus mendapatkan hak menikmati mulut manusia, aku rasa inilah bagian terpenting bagi keadilan. Bagiku pisang goreng juga harus bergegas untuk tetap menjadi dirinya sendiri, tak usah ikut-ikutan menjadi modern dan takut gengsi, pisang goreng ya berminyak, berkhasiat bagi perut yang kelaparan dalam kondisi keuangan kekurangan. Seperti kata pejuang negaraku bernama jenderal kokomplotanyang menekankan pada kesederhanaan bentuk, bukan kegairahan bentuk. Lalu apa yang salah? Apakah pisang goreng ibuku tidak enak? Aku selalu ingin bertanya kepada bijian-bijian yang ada di dalamnya, dan berharap ada jawaban yang mendukung untuk diper- juangkan.
Terkadang saat diriku menjajakan pisang goreng ibu, orang-orang khususnya kalangan muda melihat sinis diriku dan pisang goreng ibuku. Tatapan mereka menjurus ke jijik atau bahkan risih dengan kehadiranku yang sedang menjajakan pisang goreng. Memang, penampilan yang kupakai sedikit kumuh. Baju bolong, katok berwarna cokelat dan rambut yang kucel. Tapi apakah harus dilihat dari penampilan? Menyedihkan, jika orang-orang tersebut memandangku demikian. Aku rasa pendidikan mereka tak sampai kejenjang pertengahan, orang-orang cerdas dan pintar tak akan memandang orang dari penampilannya, tapi dari rasanya. Rasaku sudah pasti enak, bukti nyata adalah banyak perempuan yang menyukaiku, meski terkadang hanya menyukai bau tubuhku yang asam dan warna kulitku yang putih kehitaman, alias hitam manis. Mungkin bagi perempuan-perempuan tersebut itulah daya tarikku.
Daya yang tak didapatkan dari laki-laki gagah lainnya. Jadi aku selalu percaya diri jika ada perempuan dengan tangkas memandang lekuk tubuhku, yang sedang berpanas-panasan menjajakan pisang goreng ibuku ini. Sampai-sampai aku sering bertanya kepada makhluk-makhluk astral yang hidup di sekitarku, makhluk yang sampai saat ini dipercaya membawa kekuatan magis, kekuatan yang tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Dan keluargaku sangat bergantung kepada kekuatan-kekuatan alam yang ada di tempat ini, tempat dimana aku dihidupkan dan dipercayai membawa keberuntungkan bagi semua manusia. Aku rasa sangat berlebihan, tapi jika tidak berlebihan maka bukan orangku. Orang-orang di sekitarku memang suka berlebihan, mulai dari penampilan (gincu, paras wajah, kuku, kulit tangan, kulit kaki dan rambut yang berlebihan), itu hanya masalah penampilan. Belum lagi masalah sikap yang sangat membuatku geleng-geleng kepala, sampai kepalaku menjadi kelapa tua. Jika memang suka sesuatu yang berlebihan, maka harus menjadi tidak berlebihan. Aku selalu berkata kepada mantan pacarku; coba lihat seekor ular yang enggan memakan tikus itu, mereka enggan memakan sebab ada makanan yang lebih enak, yaitu daging ayam, daging sapi dan daging manusia. Dan begitulah, orang-orang di sekitarku lebih mirip monyet, daripada manusia yang berakal pekerti dan luhur.
Kembali pada perempuan-perempuan yang menyukaiku. Mereka  hanya aku anggap keberuntungan. Tidak masuk akal, dan bahkan tidak akan dianggap akal-akalan. Sebab bagiku perempuan hanyalah tempat emosi yang dapat membuat amarah menjadi api. Api yang kuat, berwarna biru tua, bahkan merah muda. Dengan kata lain, perempuan-perempuan yang sempat menyukaiku tak lebih hanya sebatas sampah, rongsokan dan benda-benda yang dianggap tak penting. Salah satu nama perempuan yang menyukaiku adalah Atus, perempuan desa dengan buah dada yang datar tapi menggairahkan, bibir yang seksi, mata yang tajam, pinggul yang ramping, kaki yang jenjang tapi sedikit berlubang dan bentuk mata yang sangat tajam.
Aku teringat Dewi Drupadi yang dengan gagah berani mengutuk seluruh anak Pandawa dan Kurawa bahkan sesepuh kerajaan itu saat dirinya merasa terhina. Amarah menjadi senjata andalannya, seperti Drupadi, Atus sangat sering menatap wajahku dengan kegairahannya. Bahkan ia sering memegang dadaku hanya untuk kenikmatan sesaatnya, baginya dada adalah bagian tubuh yang merangsang. Tak seperti bagian-bagian yang lain, semisal bibir atau pantat. Semurah itukah aku? Dadaku seperti dijual dengan harga kiloan, dada yang menjurus berbentuk gunung, dan bahkan lebih besar dadaku ketimbang dadanya. Ini adalah pelecehan, lebih keras daripada pelecehan seksual yang mengada-ngada itu. Pelecehan hanya tindakan yang didasari oleh napsu, tapi jika napsu tidak didasari pelecehan bagaimana? Hukum pelecehan bergantung pada kondisi pelecehan tersebut, jika hanya menyentuhnya dan saling menyukai bagaimana? Itulah mengapa. Aku sering berkata pada mantanku Atus yang manis itu: sebelum bercinta, ada baiknya kita membuat perjanjian hitam di atas putih, agar jika kita merasa dilecehkan, kita akan sama-sama merasakan keadilan. Atus tak peduli, yang ia pikirkan hanya dadaku, dan pisang goreng ibuku. Pada saat-saat itulah aku merasakan dunia tanpa gravitasi, cinta, waktu dan sepanjang dosa yang kelak akan Tuhan kirimkan kepadaku. Salah Tuhan sendiri menciptakan napsu yang berlebihan dan tak bisa dikendalikan ini. Gravitasi Einsten juga omong kosong, ia hanya berpikir kerangka, tanpa mencoba langsung untuk terbang dari atas udara. Jika percobaannya adalah batu, beda hal. Batu adalah batu, manusia adalah manusia. Jadi sampai saat ini Eisnten bagiku gagal, hukum gravitasinya hanyalah kerangka angka dan objek-objek rumus yang terkesan dipaksakan keasliannya.
Kembali lagi kepada perempuan bernama Atus, ia selalu memandang diriku sebagai objek yang tak manusiawi. Tapi sangat bisa memunculkan harapan-harapan baru, berbeda dengan mantan-mantanku yang lainnya. Memang terkadang pada satu sisi Atus membuatku jengkel. Sampai-sampai pernah suatu saat, ia berciuman dengan seorang lelaki lainnya. Lelaki yang lebih gagah dadanya, daripada diriku ini. Yang aneh, aku tetap mencintainya. Mabuk kepayang pada dirinya, walaupun di hadapan mataku, ia bercumbu mersra di balik hujan dan kegundahan hujan yang kelabu. Aku benar-benar tak bisa menganggap Atus sebagai kenangan saja. Ini lebih mirip kisah sinetron Tersanjung, yang tayang sewaktu zaman kanak-kanakku. Bagaimana kisah cinta di sinetron itu dikemas menarik, pada zamanku dahulu, sinteron ini tayang pada jam disaat keluarga berkumpul mesra, sembari dinikmati desir angin malam yang merana. Tentu diriku hanya mendengar sayup-sayup suara perempuan dan sang lelaki yang lebih sering bertengkar daripada bermesraan. Sebab aku dipaksa untuk mempelajari pelajaran sekolah, yang tak penting. Sungguh tak penting, malahan diriku hanya melipat-lipat kertas dan mengkhayal bagaimana jika waktu dan malam segera bertemu di atas langit sana.
Permasalahan pendidikan dan cinta memang berseberangan, dan diriku yang polos pada waktu itu tak begitu tertarik dengan hal-hal semacam itu. Sinetron Tersanjung, buku-buku LKS, Paket dan omelan guru-guru selalu aku ingat. Sebatas ingatan yang tak begitu penting untuk aku ingat selamanya. Pernah suatu ketika teman-teman sebayaku, di kelas. Zaman SMA yang memang konyol. Salah satu temanku membawa celana dalam ibunya dan ia pertontonkan celana dalam ibunya yang berbau pesing, dengan gambar peta yang sedikit kuning. Temanku itu bernama Totok, rambut keriting, tubuh gempal, kemaluan yang menyumbal ke belakang dan mata yang selalu kemerah-merahan. Totok ini gila, ia pamerkan celana dalam ibunya. Seolah-olah itu sesuatu yang dapat ia banggakan. Tapi ia tertawa, dan dengan bangganya mengatakan jika celana dalam tersebut milik ibunya. Aku ingat betul, warna pink. Dan saat diriku bermain ke rumahnya yang agak besar, dan dipenuhi perabotan-perabotan dengan label made in afrika. Aku tercengang, sebab seorang bidadari turun dari atas tangga rumahnya, dengan memakai daster berwarna merah, rambut yang terurai sampai ke batas lututnya, mata yang tajam hampir mirip elang dan buah dada yang kencang dan besar. Aku tak mengira jika perempuan itu adalah ibu dari Totok. Aku juga pasti akan mencium celana dalam ibuku, jika ibuku begitu cantik seperti ibunya Totok. Jadi wajar, dan sejak saat itulah aku sering bertamu ke rumah Totok, meski hanya sekadar bertamu dan sedikit mengintip gerak-gerik ibunya itu. Totok pasti menyadari, sebab ia selalu tertawa sinis, saat diriku mulai terangsang oleh kehadiran ibunya. Konyol, aku sempat berpikir untuk menidurinya, tapi biarlah.

Totok beruntung, dan bagiku saat ia mempertontonkan celana dalam ibunya, itu adalah tindakan yang sangat benar. Ia bangga dengan ibunya. Ia membawanya bukan karena napsu, tapi karena bangga dengan kecantikan ibunya itu. Tok; mudah-mudahan sampai detik ini kau baik-baik saja di alam sana. Totok meninggal dunia empat tahun yang lalu, karena kedapatan over dosis, di dalam kamarnya dengan tubuh yang telanjang dan terbakar. Ia pemakai obat-obatan terlarang. Sungguh tragis, dan sejak saat itu aku mulai berpikir untuk menjadi orang dewasa yang biasa-biasa saja. Di umurku yang ke dua puluh lima tahun ini. Sudah saatnya aku menyeka mata dan sesekali berdoa agar Tuhan yang maha esa mendengar keluh kesah hatiku. Siapa tahu, Tuhan menurunkan keajaibannya kepadaku. Dan pada saat itulah dunia akan berubah warna. Hitam, ungu, kuning bahkan putih hanyalah tentang warna. Semua tentang warna adalah tentang etika, moral, kebahagiaan dan kesedihan yang berlipat-lipat ganda.

Dua hari yang lalu, aku membuka lembaran-lembaran buku yang temanku berikan. Buku tentang Islam dan sisa-sisa kejayaannya sebagai sebuah kerajaan yang totaliter. Dengan ditemani asap rokok dan cahaya bulan yang temaram, kubuka lembaran-lembaran buku itu. Semuanya telah merasuk. Inti-inti kebusukan manusia. Kebodohan zaman dan kecurangan waktu yang berakibat fatal terhadap detik di masa depan. Aku sungguh tak pernah menghirup pekat udara malam itu. Meskipun suara burung hantu menjerit, seakan meminta tolong kepada doa-doa Tuhan yang terpisah jarak dan waktu. Sampai, kudengar langkah kaki terhenti dan memandangku dengan tatapan yang begitu sayu. Ibuku. Ibuku yang telah datang dari kekejaman zaman dan melepas lelahnya di balik manis cahaya bulan. Aku duduk, melanjutkan tulisan ini untukmu di waktu itu. Dan sudah saatnya kau harus menangis, melupakan kebahagiaan yang hanya akan membuatmu melepas kehadiran kasih sayang. Temanku yang memang pecinta buku, benar-benar tahu dengan selera bacaanku sendiri. Malam itu benar-benar sunyi, bunyi jendela hanya sesekali terlempar di sudut mataku, dan memang waktu terus berjuang melawan kepastian. Aku terpaku, dan apa yang kutuliskan untukmu ini bisa bermanfaat, kau sadari, kau pahami luka dengan nada perpisahan yang teramat kejam.
Jika di sana masih belum sempat kau memandang keabadian, maka akan kuberika beberapa lipat kesedihan yang berwarna kelabu. Mantan-mantanku, temanku Totok dan pisang goreng ibuku hanyalah selaksa warna yang kubiarkan abadi. Sedangkan kau dan diriku ini adalah kehangatan. Keluargaku hidup dengan kesederhanaan, cahaya malam atau pun pagi hampir sama. Tak ada bedanya dengan kepingan jalan di sudut-sudut penderitaan. Aku sering berjalan tengah malam, memandang para gelandang hidup dengan kelaparan. Ada anak kecil yang menunggu air matanya berhenti. Ada kakek dan nenek-nenek dengan raut wajah yang ikhlas dengan keadaan. Sedangkan orang-orang yang tertidur enak dan meng- hunuskan kelaminnya mungkin tak sadar dengan akibat yang akan terjadi. Aku percaya Tuhan adil. Tuhan adalah keadilan yang mutlak, dan kisah-kisah Daulah Ummayahpada 1031 M adalah kisah nyata jika kehancuran manusia akan terjadi akibat manusianya sendiri. Perang saudara, perang memperebutkan tahta dan perang membodoh-bodohi sesama manusianya adalah awal dari kehancuran zamanku. Dan dahulu sebenarnya telah terjadi. Pembunuhan pada Daulah Ummayah melibatkan perang saudara antara kaum Arab, Berbe, Slav maupun Iberia yang berimbas pada ancaman yang kelak datang dari bangsa-bangsa barat. Belum lagi kedatangan bangsa barat di zamanku ini. Mereka telah merenggut keindahan azan, kesyahduhan lantunan etika dan kehangatan tawa yang hilang tertelan masa. Dan salah satu alat penghancur itu adalah teknologi.



anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
551
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan