BangkitveuzAvatar border
TS
Bangkitveuz
II
*

Perang itu sudah mulai mendekat. Aku merasakannya saat senja datang dan tenggelam bersama kepingan waktu. Mungkin jika kau yang masih tidur di dalam perut ibu melihat ini semua, kau akan berteriak dan bangun untuk mengucapkan sumpah tak terlahir di dunia. Aku terkadang meletakkan diri ini biasa-biasa saja, dan mengajak teman terkedatku yang seorang bayangan bernama Taulus. Teman yang terlahir sejak aku mengenal cinta pertama. Atus dan selembar hujan yang datang tengah malam. Di zamanku gedung-gedung di bangun, uang bagaikan raja yang tak bakal bisa dianggan tak penting. Hidup tanpa uang adalah kemustahilan. Mangkanya orang-orang mempunyai ide untuk korupsi, demi mencari keuntungan yang berlipat ganda dengan uang. Jangan salahkan mereka, salahkan keadaanmu dan keadaanku yang tak bisa berbuat jahat. Aku selalu enggan. Dan biarlah tulisan ini kau baca saat senja datang membawa kabar duka yang sesungguhnya. Kau tahu Thariq bin Ziyad? Ia adalah jenderal Islam di tanah Andalusia, yang berhasil mengakhiri kekuasaan kerajaan Visigothdan bahkan dapat merubah negeri itu menjadi taifa-taifa kecil yang kelak akan hancur dengan sendirinya. Thariq adalah contoh kekuatan dari manusia sejati, dan memang tentu orang-orang seperti Thariq tak bakal banyak terlahir di dunia ini. Meskipun Thariq sendiri kelak akan mendapat musuh besar bernama Playo, kau tentu tak kenal Playo. Seorang arogan yang suka berterus terang menantang musuhnya berperang. Meskipun keadaannya sendiri tak memungkinkan untuk menang. Tapi Playo mengajarkanku satu hal “pantang menyerah” kau tak usah tahu tentang malu. Biarkan Playo yang kehabisan tenaga itu datang lagi, dan menyerbu tanah-tanah itu lewat teknologi. Aku tahu badut, badut itu adalah lelucon. Tapi suatu saat lelucon itu bakal membuat kita mati, berkeping-keping dan bahkan tenggelam hangus di antara belantara air mata.
Playo bagiku tak lebih dari seorang penantang. Playo memang suka berlebihan dan aku juga suka sesuatu yang berlebihan. Mulai dari penampilan, sikap, sifat, mulut, mata dan apa pun yang berbau berlebihan diriku sangat suka. Mangkanya berbicara tentang kebaikan, maka harus tahu rasa yang berlebihan. Mungkin kebenaran akan datang saat rasa yang berlebihan itu datang. Playo dan segerombolannya bahkan dapat membuat tunduk pasukan-pasukan Islam di Andalusia. Dengan begitu aku dapat memastikan jika Playo adalah pahlawan besar bagi pasukan Kristen. Playo menganggap pasukan Islam sebagai ladang musuh, dan Thariq bisa dikalahkan sejak saat pikiran dan anggapan dapat disimpulkan dengan berbagai kemauan.
Aku tak butuh kebaikan yang lain, yang begitu juga seharusnya paham jika etika-etika kebaikan muncul dari harapan. Dan karenanya, sejak diriku mengenal Playo sebagai penantang; maka aku akan menjadikannya nabi terbesar di dalam pikiranku. Nabi yang utuh selayaknya kepastian diriku kepada dirimu yang lainnya. Begitu juga tentang mantan-mantanku, Atus terutama kuanggap kegilaan. Memang, menjadikan permasalahan hidup ini sangatlah bergantung pada dirimu saat melawannya, dan aku hidup di zaman yang sudah edan. Manusia dipotong, minuman keras dijajakan sebagai gaya hidup, tubuh diperjual- belikan sebagai tontonan. Dan mungkin ini terjadi akibat kesalahan zamanmu dahulu.
Aku tak ingin menyalahkan, sebab Playo dan beberapa perang terjadi akibat pema- haman yang bodoh. Aku berharap kau dapat mengubah segalanya, segalanya dapat kau ubah juga dengan kebebasannya. Perang-perang di masamu, adalah kesalahan terbesar. Mangkanya diriku tak begitu percaya dengan orang-orang baik, termasuk kebaikan yang selalu diagung-agungkan oleh para politikus. Lucu. Lelucon. Semua itu bagai daging yang dibakar di antara hujan dan kepulan asap yang menghitam di mataku sendiri. Lalu aku pun enggan untuk membahas ini. Tapi demi kepentingan dirimu, maka akan kujelaskan pada dirimu jika dalam perut ibu sudah aku tulis beberapa takdir.
Takdir yang sungkan untuk kau pahami sendiri. Maka sering-seringlah makan es-krim, mentega dan segala yang asin sekaligus manis. Itu wajib untukmu. Sebab ada beberapa hal yang tak bakal bisa kau pahami, di luar sana setelah zaman Playo maka akan muncul keadaan yang sudah mengerikan. Pemerkosaan, pembenaran, pengangkatan anjing sebagai menteri-menteri yang tak sehat. Padahal sebelum kau lahir di dunia, kau telah berhasil melupakan segala kemaluanku. Sayang, masihkah ada tolak ukur manusia yang benar? Dan segalanya memang tetap menjadi salah di kemudian hari. Manakah yang lebih benar antara kebaikan dan kebajikan? Jangan samakan cinta pertamaku dengan cinta pertamamu nanti. Sebab selalu setelah hujan datang, maka akan ada kesimpulan jika aku jatuh cinta dari napsu. Hei, mengkorupsi uang rakyat juga bentuk dari napsu. Sekitar 100 tahun setelah kematian para barbar yang memenggal kemaluannya sendiri. Dan bahkan aku tak paham jika semua ini telah kau anggap sebagai ukuran keberhasilan. Tapi ini tidak berhubungan dengan cinta, kasih sayang, derita, air mata, dan segerombolan kesedihan yang pasti akan banyak kau temui di zamanmu. Di sini beberapa orang bahkan membunuh jiwanya sendiri. Bersemedi saat matahari menjulang tinggi di atas perapian diri. Kau tahu? Sebelum dirimu terlahir, telah aku kultuskan matamu dan otakmu ke dalam sumur tua. Ke dalam mimpi yang sengsara dan ke dalam perjuangan yang menawarkan gelora kegelisahan. Dan untuk itulah aku terlahir setelah kau bangun dari bawah kuburan. Menemukan sisa-sisa mataku serta tulisanku yang disimpan di antara hujan dan air mata. Kini siapa yang berhak menjadikan keberhasilan ini sebagai ukuran kebenaran? Seorang ulama, pastor dan para biksu mungkin lupa bagaimana caranya menyetrika hatinya itu. Agar luluh. Agar lumpuh saat mendengar teriakan ketiadakadilan.
Aku pernah bercumbu, seingatku setelah pulang menjual pisang goreng ibu. Saat itu awan tampak lugu. Hujan seketika datang mengabarkan dendam. Dan orang-orang tampak gelisah sembari membawa segenggam deritanya masing-masing. Di balik kaca rumah yang tersusun rapi, aku dapat melihat kegundahan mereka semua. Meskipun diriku dalam keadaan yang sedang menikmati kerinduan jasmani. Bagiku saat itu; gambaran orang-orang yang sedang menunggu hujan redah bagaikan kesedihan yang terpampang lebih jelas daripada kesakitan hati sendiri. Saat tumpukan bibirnya tetap mengulumku, aku sadar jika dalam dimensi ini terlalu banyak khayalan yang menjerumuskan diri ke beberapa kepentingan. Kau paham? Saat diriku bercumbus mesra, maka dapat kupastikan ada dimensi dari gigitan hatinya. Gemuruh dadanya dan getaran rambutnya yang sampai menjadikan diriku bahan olok-olok dari semesta. Kau tak akan terbebas setelah ini. Sebab orang-orang di zamanku sudah sibuk untuk menghitung beberapa berat ganja dan kebebasan mengatur ingatan diri. Sering terjadi aparat penegak hukum melanggar hukumnya sendiri. Bahkan ada para anggota dewan yang suka bernapsu dengan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Lalu sempatkah kau bersembunyi di dalam diriku ini? Saat kau tunjukkan beberapa pasang telegram yang meledak di hadapan jembatan megah itu, aku tak heran. Sebab di zamanku telah ada peng- kultusan terhadap ulama dan aparat-aparat hukum. Kau bisa untuk menghiburku? Atau apakah kau bersedia untuk menjahit luka yang terpendam sejak dahulu.
Aku dan beberapa temanku di sini tidak berhasil untuk menghubungkan masalah yang kau inginkan. Ia berkata dendam. Penjahat. Pembual. Pencari sensasi dan para penjahat kelamin. Kau bahkan sudah tahu resiko ini jika diteruskan. Maka sebaiknya kau tulis dengan bahasa yang lebih rumit. Angka yang berjungkil balik, atau huruf-huruf yang mati dengan kesadaran. Sebab apakah kau tahu? Setelah keberhasilanku membekuk diriku sendiri, banyak orang-orang sok baik datang kepadaku. Menawariku beberapa uang korupsi, ganja dan vagina perempuan yang masih perawan. Ini hidupku yang telah terampas oleh keadaan-keadaan sungsang. Aku hidup seperti ini. Berhadapan dengan kebodohan napsu diriku sendiri. Seperti Wunderquen yang membunuh permaisurinya hanya untuk merasakan harum tubuh selingkuhannya. Bejat bukan! Sama-sama seperti kekasih yang mengulum kejanta- nannya hanya untuk kepuasan sesaat. Bukankah itu keberhasilan dalam keindahan? Jadi aku tak percaya dengan Plato, bahkan Scorates yang mengagung-agungkan kejantanan yang tenggelam. Mungkinkah kau akan berhasil untuk memahi maksudku? Surat ini bagian-bagian dari kepingan pikiranku sendiri. Dan dari itu maka akan kau dengungkan ke dalam ruang-ruang yang hampa, kosong dan penuh cekaman.
Orang-orang bunuh diri, memaki kepastian dirinya sendiri dan terlentang untuk melawan keagungan dalam dirinya sendiri. Maka kau tak perlu melambatkan beberapa waktu pun. Waktu tak akan bisa kau anggap dengan benar, sebab matahari yang panas itu akan menurunkan hujan. Hujan pun akan menurunkan kepasrahan hidupku sendiri. Kau tetap paham dengan apa yang aku ucapkan ini? Di sanalah saat matamu memandang kunang-kunang mati dan kupu-kupu yang juga mati dan melawan keangkeran diri sendiri. Aku sempat memaki ibu, melempar jerih payah yang teramat keruh untuk diketahui. Sejak zaman dahulu es mencair. Menggantikan bayang-bayang dan laying-layang yang bermelodi di antara rerumputan. Aku pasrah. Aku dendam dengan kepentingan dirimu sendiri. Keluargaku yang sederhana, dan tetaplah ada kebusukan hadir ke dalam hati. Saat seperti ini, menjelang malam dan aku menemukan kepingan lain muncul. Darah biru, darah beku yang menjuntai ke bawah tanah dan bertemu kehidupan lainnya. Aku tak perduli. Dengan bunyi-bunyi yang sempat terjerumus dan mengakar bersama kenangan masa laluku. Dan sering kali aku memandang mendung langit tanpa sayu. Sebab saat mendung tanpa sayu dapat kupastikan gerak-gerik tubuhku membeku. Alias berubah warna menjadi ungu dan biru. Haruskah aku pahami sendiri semua hidup ini? Sedangkan anak-anak pada zamanku telah kehilangan harga dirinya sendiri. Mereka hilang termakan fenomena waktu yang berputar tanpa kepala.
Daging-daging yang menumpuk. Juga pengaruh orang tua yang kelelahan sehabis mencari uang untuk jajan. Maka wajarlah mereka suka jajan. Jajan manis. Jajan pahit. Bahkan jajan yang tidak biasa kau hirup pada zamanmu. Dan saat kau terbangun dari dunia yang berliku ini, segeralah kau menjahit duka menjadi abadi. Agar kepingan-kepingan matamu yang pecah tetap tertahan untuk selamanya. Aku teringat tokoh al-Murabit, seorang tokoh yang berasal dari Afrika Utara yang berjuang untuk menyatukan kembali Islam yang roboh. Apakah orang-orang saat ini rela berkorban untuk dirinya sendiri? Al-Murabit jelas tidak akan sungkan untuk memenggal lehernya sendiri untuk kepentingan bersama. Ia akan berkorban. Ia akan menja- dikan dirinya sebagai alasan terindah jika Tuhan adalah bagian dari tindakan-tindakan dirinya sendiri.
Aku saat ini masih memandang langit yang kelabu. Samar-samar di kejauhan sana suara burung bergetar di antara gendang telingaku. Memantulkan kesedihan. Memancarkan senyuman yang teramat haru. Sesaat suara orang-orang dari kejauhan membuat rasa hatiku bergetar. Ia di sana: kau pasti paham jika saat ini tidak ada lagi air mata yang harus disiman dalam-dalam. Sebab derita hidupku adalah bagian yang teramat sunyi. Membakar dendam. Memanah senyuman bagaikan jeritan malaikat yang terpanggang di dalam neraka. Sembari menatap foto-foto masa kecilku, aku titipkan salam kepadamu yang kelak akan menyeberangi kesusahan hidup ini. Siapapun kau di masa laluku, adalah bagian-bagian kecil dari per- jalananku saat ini. Pembunuhan. Pembakaran. Pencincangan. pramuriaan. Hanyalah tentang seberapa besar harapan yang aku bangun sedari dulu.
Aku tak mau lagi bersedih karena perempuan. Semua aku tutup saat kebakaran melanda di sekitarku. Playo. Al-Murabit. Adalah orang-orang yang bersedia mengubah hidupnya untuk hidupnya sendiri. Apakah aku akan seperti mereka? Yang aku bisa hanyalah mencerca hati ke dalam tulisan kumuh, kucel, dan tak berguna. Aku menuliskan ini hanya untukmu. Tidak ada tedensi ingin di baca banyak orang. Oleh sebab itu hargailah deritaku ini sebagai jalan yang lain dari masa depanmu. Kau yang berada di masa laluku, bersediakah kau membuat jalan hidupku berubah saat ini? Aku akan menunggumu selamanya. Bahkan sejak Tuhan melempar tanganku ke dalam neraka, telah kupasrahkan segalanya kepada tanganku. Tangan hitam dan kekar. Tangan yang akan menyumbal kebebasan dari segalanya. Aku hanya percaya kepadamu.
Aku hanya ingin menjahit kepahitan hidupku kepadamu. Seperti Abdurrahman III yang bersedia memberikan kekuasaannya hanya kepada seorang perempuan yang ia cintai. baik. Perempuan benar-benar menjadi ilusi hidup seorang laki-laki. Jadi aku sedikit menjauh kepada seorang perempuan. Apalagi yang suka hura-hura memberikan dadanya kepada angin malam. Aku harus milih-milih dalam hal ini. Takut-takut aku terjerumus lagi ke dalam masalah cinta. Padahal hidupku masih panjang untuk sibuk masalah cinta ini dan cinta itu. Lagi-lagi aku disodorkan kepiluan. Mana mungkin segalanya diharuskan untuk wajib lapor kepada atasan. Inilah kebebasan yang terkukung itu. Kau akan paham jika uang telah menjadi dewa-dewa baru. Yang bahkan bisa membuat manusia gelap mata. Gelap telinga. Gelap cita-cita dan gelap agama. Siapa yang akan bertanggung jawab akan ini semua? Kau masih enak, duduk-duduk sambil menghisap putting air susu ibu. Ibuku saat ini telah mengubah wajahnya menjadi kelabu. Membisu dan selalu murung mendengar lautan dan angina pergi menjauhi rejekinya sendiri. Kemana Tuhan saat ini? Tapi aku tidak akan seperti Satre yang menjerumuskan hatinya hingga ke dalam angan-angan nestapa. Dia adalah kebodohan. Kelucuan yang sesekali memerdekakan dirinya di hadapan semesta.
Bagaimana kau akan menghadapi hidupmu sendiri diriku? Apakah kau akan mema- kan bisulmu sendiri? Atau hanya melukis senja dan menghibur diri di tepian pantai dengan beribu-ribu cinta dalam segelas anggur yang dingin? Atau hanya menjadikan senja sebagai pelengkap jiwa yang enggan terjerumus ke dalam urusan dunia? Aku telah mati setelah jiwaku mendapatkan gambaran pucat dari beberapa lukisan hitam yang muncrat ke dalam kepahitan. Sungguh ini bukan lelucon. Ini hanya masalah pengabdianmu terhadapku. Dan negaraku selalu berbaik hati kepada siapapun yang siap mengabdi untuknya. Aku tidak semurah itu membagi pikiranku! Tapi mungkin kau akan mengubahnya di masa lalu. Aku hanya berpesan jangan terlampau memaksa ideologimu masuk sampai ke arah mata angin. Sebab di antara suara-suara angin itu ada kumpulan daging mayat menyusup ke mulutmu. Mereka akan terbunuh dan berterbangan memakan sisa jantungmu. Bagai pantai yang menjelma harapan-harapan kematian. Dan inilah urusan hidup yang tidak bakal kau pahami. Orang-orang seperti Playo adalah bagian terpenting dari pengorbanan umat manusia.
Aku tidak bisa berharap lebih pada diriku sendiri. Aku hanya berharap kepada segumpal matamu dan segumpal jemarimu yang kelak akan menjadi harapan-haraan suci. Sebuah jembatan suci. Dan kicauan senyum yang tanpa pamrih. Di sanalah bunyi ombak mendayu-dayu melewati kebebasan hatiku. Maka saat kau terbangun dan melihat orang-orang menatapmu, segeralah kau menangis. Agar kau dapat menerima kasih sayang yang tidak berlebihan. Kasih sayang yang seharusnya tidak bisa kau umpamakan dengan segalanya. Aku bukan menutup harapanku kepadamu! Dan saat ini akan aku ceritakan perihal dari diriku. Emosiku yang mudah memuncak dan mataku yang mengeluarkan darah saat bulan purnama menjelma keabadian yang begitu sengsara. Kau akan bisa membuka masalahku. Kau akan bisa mencerna kebaikan dan kejahatanku selayaknya bidadari tenggelam bersama langit yang meringis. Aku ceritakan semenjak ibu dan bapakku menjadi patung di dalam lautan biru.

**


Al-ausath: aku berada di titik tengah hidupku. Setelah berhasil membunuh jiwaku. Aku seret mataku ke dalam kematian. Bersama-sama dengan hantu yang mencabik jantung, paru-paru, hati dan seluruh anggota tubuhku. Angin terasa menyayat jiwa. Darah membeku saat air laut tenggelam bersama harapan. Lorong-lorong kecil itu menghitam. Membiarkan jiwa-jiwaku berkeliyaran dengan angan-angan. Dan saat ini jendela rumah kian rapuh. Burung-burung menanti keabadian itu datang. Melepuh di antara awan dan suara sungai yang dangkal. Aku siapa saat ini? Dan titik tengah harapanku telah kujual bersama ratusan singa yang memakan bangkai manusia. Sungguh aku terkapar di tengah padang pasir ini. Bagaikan riuh gelombang yang memakan tiang-tiang agama. Tidak perlu Tuhan untuk menjawab semua ini? Tuhan hanyalah kumpulan subjek yang kelak akan terbakar bersama diriku sendiri. Dan puisi-puisi yang aku tulis bersama sang kekasih seperti khayalan yang membuat mabuk seluruh tubuhku. Aku berpikir untuk apa hidup jika hanya bermimpi di dalam celana dalam kekasih? Sering pula ada harapan-harapan kecil yang membuat diriku pangling. Tersipu malu saat bulan purnama duduk menyinari bias mataku. Mata kekasihku sayu, lebih tepatnya ia adalah puncak segala emosiku bermula. Dendam. Durhaka. Dan segala yang kutuliskan tentangnya hanyalah harapan-harapan kecil dari sepenggal kisahku. Mungkin baginya diriku ini hanya bekas tempat sampah yang wajib dibuang.









anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
383
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan