BangkitveuzAvatar border
TS
Bangkitveuz
TERBARU
***

Ohjelas, mataku dan matanya bukan bagian terpenting dari hidup ini. Masih ada Tuhan yang baik hatinya juga baik lidahnya. Saat aku dan ia bertengkar bahkan Tuhan ikut melerai, maka berdoalah diriku sepanjang jalan malam. Sebisa mungkin meminta petunjuk. Meski air mata tak kunjung jatuh ke dasar-dasar lantai hitam. Sesudahnya biasa diriku ini melamun di depan rumah. Tengah malam. Memandang bintang-bintang turun dan jatuh menjadi kejadian kecil yang meng- harukan. Begitu sunyi hidup ini. Cepat berlalu. Berganti rupa dan warna seperti pelangi yang menutup kelabu bersama abu dan api yang membiru. Saat-saat seperti itu akan dapat mencerna tulisan ini. Emosiku yang terkadang memuncak. Jelas orang lain bakal tidak suka denganku. Padahal aku telah berkata jujur dan apa-adanya. Tapi justru itu yang membuatku dibenci oleh banyak orang di sekitarku. Ini aneh. Bobrok dan jelas sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Tapi aku bisa apa? Aku hanya seorang anak yang hidup dari kedua orang tua miskin. Seorang ibu penjual gorengan dan seorang bapak pengayuh becak. Jelas kata-kataku hanya angina yang nyerembet di kemaluan mereka. Untuk apa aku mengeluh dan berkoar-kora seakan berharap lebih kepada mereka yang menjelma kebenaran itu? Tapi aku pikir setelah hidup ini pasti ada hidup lain bagiku yang lebih indah dari saat ini. Jelas aku percaya renkarnasi dan jelas aku percaya agama. Aku bukan seorang ateis. Meski aku suka membaca Karl Marx sampai ke ujung-ujungnya. Perbudakan, proletar, borjuis dan bidang-bidang yang bahkan disebut kapitalis telah terjadi saat ini. Bisa apa kau Marx? Atau Sartre yang jelas-jelas mengakan jika hidup adalah tentang Fenomenologi! Ah kau mengada-ada. Hidup ini bukanlah tentang itu. Tapi tentang memperjuangkan harga diri di hadapan para pencuri kebenaran. Dan aku berpikir sejenak untuk meluangkan kejernihan ini kepada alam yang tumpang tindih di hadapanku. Jelas mata jadi tumbal.
Dari seorang bule yang tiba-tiba menghampiriku dan berkata seolah-olah aku bisa menjawabnya dengan benar. Oh, I’m only five feet six! Dengan mata yang mendongak dan dagu yang membengkak si bule itu berkata tenang dan lantang. Meskipun aku tidak paham oleh apa yang bule itu katakan, jelas aku sedikit memahami kata itu sebagai bahan ejekan. Oh tinggiku hanya lima kaki enam inci. Ini jelas-jelas rasis. Membeda-bedakan manusi hanya dari fisik. Aku tersinggung lalu ibu berkata saat malam tiba sembari suara azan berkuman- dang dari kejauhan arah mataku.
“Manusia hanya bisa memandang kelemahan manusia yang lain dari satu sudut pandang. Dan satu sudut pandang itu dibuat menjadi alasan pembenaran. Itulah mengapa manusia tidak akan bisa berkembang menjadi manusia yang lebih berbudi hati yang bersih. Ibu berharap kau menjadi anak nakal dan taat pada agama serta Tuhanmu yang malang itu!”
Baiklah; itulah kata-kata ibu yang sepenuhnya hadir dari hati yang tidak ingin anaknya celaka. Tapi ini persoalan nama dan martabat. Harga diriku dipertaruhkan hanya oleh kata-kata yang aku tidak pahami maksudnya. Tapi aku sadar itu adalah pelecehan terhadap fisikku ini. Bu! Masalah budi hati yang luhur hanya kau yang paham. Tapi untuk anak seumurkanku jelas ini masalah. Dan jelas akan aku turunkan harga dirinya melebihi separuh angan-anganku kepada Negara ini. Negara bodoh yang banyak menyimpan tukang-tukang labil, pedagang-pedagang labil dan para penguasa yang rakus akan harta. Apakah aku rakus akan harta? Aku hanya rakus akan keadilan hidupku sendiri. Aku tidak perduli hidup orang lain. Bahkan hidup orang tuaku sendiri aku tidak perduli. Satu-satunya yang membuatku perduli akan orang lain hanya saat mereka merasa butuh bantuanku. Dan di saat seperti itulah diriku kalah dengan kejujuran hati sendiri.
Seorang teman menegor dan berkata jika kejujuran itu adalah tempat terlemah untuk hidup di zaman seperti saat ini. Saat menjual pisang goreng ibu aku tidak melihat kejujuran ini sebagai kelemahan terbesar! Temanku salah. Kejujuran justru yang membuat hidupku berguna untuk diri sendiri. Padahal diriku tak sempat untuk mengundang rasa malu. Aku buang jauh-jauh rasa malu itu. Sebab di sanalah aku temukan segerombolan virus yang mengundang rasa malas. Padahal saat aku bercinta dengan kekasihku dulu, jiwa yang bergelora seakan tidak mempan menahan desahan derita yang kudengar dari balik telingaku. Desahan seorang ibu yang menahan air matanya jatuh gara-gara aku ini. Oh Tuhan. Betapa harga diriku kau jual dengan segumpal daging dan darah yang kotor. Jelas-jelas aku tidak sempat untuk melakukannya. Kau apakah menganggapku seperti raja Dorsuius yang mencintai anaknya sendiri? Anak laki-laki yang perkasa yang ia jual demi cinta yang salah jurusan itu.
Aku bukan tidak paham moral. Aku hanya mencoba menuangkan kebenaran dengan caraku sendiri. Ini masalah bagi orang-orang saat ini. Aku memukul dan meludahi anak orang hanya karena anak itu menjelek-jelekkan ibu dan bapakku! Jelas itu penghinaan terbesar. Tapi apa yang kudapat? Yang kudapat adalah semprotan aiar panas yang mendidih di hadapah wajahku dan tepat saat itu bapakku melemparkan celana dalamnya untuk kucium sedalam-dalamnya lautan cinta. Semaput. Apakah ini segenting masalah perang antara dunia dan dunia dan dunia yang besar itu? Ini sepele. Hanya moral yang diada-adakan keadaannya. Aku rasa orang-orang di sekitarku perlu merasakan kepahitan yang dialami oleh hewan-hewan dan tumbuhan yang menangis itu. Mereka kelaparan. Mereka tidak dapat menikmati hujan yang turun. Disebabkan keserakahan manusia yang menjulang tinggi bagaikan api neraka di tengah-tengah surga. Dan di sanalah Tuhan terkadang aku ingin mengumpat padamu.
Lewat celah-celah dedaunan yang terbakar dan sepasang burung gereja yang bertengkar hanya masalah hutang-piutang. Oleh sebab itu Tuhan. Dengarkan curhatan ngawurku ini. Mungkin dengan itu kau akan dikatakan sebagai pencipta perdamaian dan kau akan diagung-agungkan lagi seperti zaman Nabi terdahulu. Ini hanya masukan dariku. Dari seseorang yang ketinggalan informasi tapi tidak ketinggalan pengetahuan. Hanya ngoceh dan menyeduh pahit kopi yang ibuku buatkan untuk para tamu malam ini. Tuhan kau harus tetap ingat tentang kematian Husein yang dipenggal kepalanya. Lalu diarak melewati padang pasir yang panas itu. Itukah keadilan yang kau ingin ciptakan? Demi waktu dan segalanya yang membara aku tidak akan sudih mendengar dan menjahit duka ini seperti dalamnya hujan ini. You look taller than that. Dan saat itulah kau mengatakan kepadaku jika diriku lebih tinggi daripada keangkuhan yang menjalar di setiap rongga-rongga malam. Aku tidak akan mengakatannya lagi. Tuhanku yang mulia dengarkanlah desahan kebangkitanku malam ini.
Mereka yang telah berjasa kepada dunia. Kata-kata ini kudapatkan dari sebuah buku using pemberian Paman. Paman yang memang pencinta buku tidak pernah merawat buku-bukunya dengan kasih sayang. Kertas terlipat. Berdebu sampai-sampai debu itu membuat panas seluruh organ dalam hidungku. Dan tidak ada pelindung semacam plastik yang menjaga buku-buku itu dari serangan hujan dan serangga pemakan sesama. Paman hanya duduk berjam-jam dan membaca bukunya sampai patah tulang. Tulang kekasihnya juga ia ganti dengan selangkangan buku. Nah; hari ini buku tentang Robert Baden Powel yang membuatku sedikit membuka mata dan ingin menjadi sepertinya. Pendiri sebuah gerakan yang kelak dinamakan Pramuka di dalam negeriku yang kaya raya. Kata majemuk dari kekuatan yang sesungguhnya terselubung. Penuh moralitas dan seluruhnya yang dinamakan tindakan berjasa. Oh maaf bagi Baden-Powell. Bagiku ia tidak lebih berjasa daripada sosok orang-orang di negeriku yang kaya dan raya ini. Lihat para buruh pabrik yang bersedia dengan bangganya menerima gaji yang bagiku tidak layak. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hanya untuk bertahan hidup. Atau lihatlah sosok guru-guru yang mengajar diperdalaman bukan yang mengajar di kota. Mereka ini rela mencurahkan ilmunya hanya demi kepentingan Negara yang tidak pernah menggubris permasalahan ini.
Jujur aku benci dengan negaraku. Kebencianku seperti muncratan gunung Tambora yang sekali meletus tapi dampaknya sampai kemana-mana. Sehingga saat semua urusan yang berbunyi Negara republik Indonesia diriku yang masih muda ini telah memutus harapan sedalam-dalamnya palung lautan. Aku tidak menyesal. Justru aku telah menjadikan watak dan sikap ini sebagai perjuangan yang telah menentukan sikap apatis. Powell pada bagian ini berhasil untuk mempercundangi dadaku. Ia setengah lebih maju. Sebab ia telah berjasa untuk dunia. Sedangkan diriku masih saja berkutit dengan jasa pada diri sendiri. Pada kekosongan waktu yang meletus tanpa rasa takut yang membuat ngeri. Dasar Negara bobrok. Sampai kapanpun ruang-ruang yang kosong tersebut akan aku ubah demi terciptanya rasa belas kasih yang sesungguhnya.
Gumpalan awan terbakar di hadapan mataku. Suara-suara kendaraan tidak henti-hentinya membiarkan diriku menghirup udara segar. Udara yang kelak aku jadikan sepasang ciuman yang penuh air hujan. Kelembaban yang tidak lumrah. Dan air mata yang menanti perpisahan lebih jauh daripada kesedihan. Saat ini udara semakin kusam. Dedaunan terbang menuju atas awan. Tanpa kepastian yang kelak kembali atau terpisah dari jarak dan waktu. Sedangkan saat aku duduk menepi di antara malam. Seluruh alam semesta menuliskan kepastian tentang waktu yang akan rusak selamanya. Aku merasakan tubuhku terbakar. Tanganku yang kedinginan. Dan arah mataku yang semakin tua untuk mencerna dunia yang sedang menderita ini. Sesaat aku teringat air mata ibu yang tumpah karena kesalahan kecilku. Tukang fitnah. Bagaimana mungkin aku harus berusaha melupakan air mata ibuku! Mereka belum tahu dimana kebahagiaan dan kesedihan jika bersatu. Pada saat itulah suara-suara azan yang merdu terdengar dari kejauhan. Meminta dendam yang kesumat kembali pada hati sendiri. Ini seperti bongkahan hatiku yang teramat jauh telah memberikan harapan dengan besar. Aku tidak akan menarik lagi perkataan yang telah aku perbuat. Demi kelancaran bersama. Ibuku selalu mengajariku tentang belas kasih yang abadi. Mungkin baginya aku adalah harapan terbesar selain kakakku. Tapi dengan sikapku yang cenderung acuh ini, harapan seperti apa yang bisa kuperbuat? Semoga ibuku segera paham jika harapan adalah musuh terbesar dari rasa sakit yang teramat dalam.
Aku jadi teringat persoalan cinta dan bunuh diri. Mereka yang sedang jatuh cinta benar-benar merasakan kepahitan itu. Aku tidak akan melarang mereka bunuh diri. Melompat dari tempat yang tinggi atau bahkan menenggelamkan dirinya ke dasar lautan yang penuh api. Jujur bagiku mereka yang bunuh diri telah berhasil melampaui janji Tuhan. Mereka sudah membuat janji baru dengan Tuhan untuk kenikmatan hidup sendiri. Aku puas. Aku puas merasakan ketakutan moral membius rongga-rongga hidupku sendiri. Dan saat-saat seperti itulah yang membuatku sadar jika ketakutan akan membuat perjanjian baru dengan para Iblis. Lingkaran api yang menjulang tinggi. Membara di sekitar angan-angan bernama cinta. Dunia mereka adalah dunia tanpa Tuhan. Jadi bagiku wajar jika Durquet berani membunuh ibu dan ayahnya hanya karena kecemburuan harta. Ia wajar untuk melakukan itu dengan sebebas-bebasnya. Aku tidak butuh harapan sekali lagi.
Harapan itu penyakit yang tidak akan bisa dipahami hanya dengan senyuman. Cinta adalah harapan besar yang menggairahkan. Tapi di balik itu semua. Racun melumat kenangan. Jantung meledak sampai udara melukis dedaunan yang terbakar di antara jendela. Di sudut lampu yang temaram. Aku akan sudahi semua ini tanpa memberitahu keberadaanku yang sesungguhnya. Pembunuhan itu aku lakukan saat lapu menjadi kelam. Suara jeritan orang-orang justru membuatku puas. Batin meningkat drastis menjadi raja di balik raja yang agung. Tanpa melupakan moral yang telah diajarkan ibu kepadaku; semua keputusan hidup ada di tanganku. Baik dan buruk akulah yang menanggung semuanya. Dan setelah aku berhasil membuka lorong-lorong batas antara cinta dan kebencian, aku sadari satu hal. Dunia akan menjadi bunting. Pincang dan kelak akan hancur bersama suara malaikat yang tumpang di atas awan. Siapa yang berkuasa sebenarnya? Tuhan masih menyembunyikan kekalahannya kepadaku. Sesaat awan menjadi pucat dan tenggelam. Dengan itu aku tahu jika waktu adalah janji yang bakal kau lupakan. Di sana aku temukan diriku menangis di balik kesunyian.



anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
584
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan