Bangkitveuz
TS
Bangkitveuz
Tamu yang Misterius
Tamu yang misterius

 
Mulai agak berbeda, cahaya siang, cahaya malam, dan cahaya pagi. Malam agaknya belum pernah menjadi seperti ini, sangat sunyi. Pembunuhan yang terjadi disebelah rumahku ini memang sedikit aneh, ada anggapan jika semua itu hanyalah mimpi saja, memang belum pernah ada langit yang indah seperti ini. Jika anggapan itu ada, maka hiduplah kota yang akan sunyi ini. Begitulah aku yang mulai merasa enggan dengan keadaan malam, malam yang sunyi.
 
Akhir-akhir ini sering terjadi kejadian aneh di rumahku, kejadian aneh tersebut tiba pada waktu malam hari, ketika semua keluarga terlelap. Aku mengetahuinya, sebab biasanya aku tidak tidur kalau tengah malam, kebiasaanku ialah menonton televise atau sekedar membaca buku dengan hikmat. Sering terdengar suara gemuruh atau suara langkah kaki seseorang, dan yang paling aneh sering terdengar suara telpon di telpon rumahku, dan waktunya pun sama tepat pada jam 00.00 tengah malam. Aku belum mengatakan ini pada anggota keluargaku, terutama orangtuaku, aku ingin menyelidikinya atau hanya sekedar melihat bayangan orang tersebut lewat jendela dan semacamnya. Aku sedikit resah dengan kejadian aneh ini, di rumah sebelah tepat dua minggu kejadian itu terjadi, kejadian pembunuhan, dan korbannya ya anggota keluarga di rumah tersebut. Itu tepat disebelah rumahku, dan hal ini ditenggarai oleh petugas setempat hanya pembunuhan biasa, selang dua hari dari pembunuhan itu, tertangkaplah si pelaku, sebut saja namanya RR, aku sebutkan inisial biar tidak terjadi kecemburuan sosial dari anda-anda ini. Aku akan pasang strategi malam ini, dan akan kutunggu orang aneh itu, tepatnya malam ini.
 
 
Sudah aku persiapkan, sebentar lagi jam 00.00, dan aku sudah memastikan kalau jam di rumahku ini tidaklah salah.  Anggota keluargaku sudah terlelap semua, ayah dan ibu seperti biasa tidur dengan nyaman dan saling berpelukan seperti tidak mau lepas, aku melihatnya ketika mengecek kamar mereka, “Jaga-jaga takut mereka belum tertidur”. Dan kakakku yang bernama Indah, seindah namanya memang, kakakku yang cantik ini juga tertidur, sekali lagi aku juga mengecek kamarnya jaga-jaga dia ingin bangun, dan justru tidak tidur lagi. Sudah kupersiapkan semua tadi sore setelah orangtua dan kakakku keluar untuk melihat sirkus dengan tokoh utamanya perempuan berkepala dua, aneh memang aneh, di sudut rumah, tepat di depan pintu rumah aku pasang CCTV, di pintu belakang juga aku pasang CCTV, di dekat jendela aku juga pasang CCTV, dan aku merasa jantungku berdebar, kulitku seketika menjadi basah semua. Dengan santai aku duduk sambil menghisap sebatang rokok sisa tadi siang, aku menunggu di ruang utama rumahku, disebelah telepon bernama Tel-quel.
            “Kring-kring-kring-kring-kring-kring.” Jam 00.00 tengah malam, tepat dengan dugaanku, semua berjalan sesuai biasanya, bunyi orang berjalan, bunyi pohon dan yang paling jelas bunyi telepon rumahku. Dan aku segera mengangkat telepon ini, dengan sedikit takut aku berucap setelah beberapa detik aku tunggu suara dari orang tersebut, tidak ada.
            “Dengan siapa ini?” Tidak di jawab, aku ulangi lagi, gusarku.
            “Hallo dengan siapa ini?” Kembali tidak dijawab, aku ulangi lagi, gusarku.
            “Hallo hallo dengan siapa ini?” Kembali lagi tidak dijawa. Aku mulai ragu dengan semuanya. Aku ulangi lagi.
            “Dengan siapa ini? maaf jawablah, jangan membuatku takut seperti ini!”. Jendela berbunyi, seketika aku lempar dan menutup telepon rumahku, aku melihat seseorang tadi mengamatiku dari luar jendela, berambut panjang, berbaju hitam, dan sangat jelas aku melihatnya. Aku berlari, sedikit tergesa-gesa, aku buka pintu, aku mencoba mengejarnya. “Aku melihatnya!” dengan jelas aku melihat dia sedang menaiki tembok rumahku, dan sedikit tergesa-gesa juga, sedikit saja tidak lebih. Dia menghilang tiba-tiba. Aku tidak berhasil menangkapnya, tapi aku berhasil memberikan kejelasan jika yang meneror rumahku ini ternyata manusia. Aku takut jika itu bukanlah manusia.
Aku hampiri tembok yang dia loncati barusan, sedikit kucium tembok tersebut, aku beranalogi mungkin dia meninggalkan bau parfumnya, dan mungkin saja aku mengenal bau parfum itu, tapi tidak ada, tidak ada sama sekali. Dan aku rasa sudah cukup, malam ini dia tidak akan kembali untuk mala mini, kutolehkan tubuhku menuju ke dalam rumah.
            “Kring-kring-kring-kring-kring.” Telepon rumah berbunyi lagi, belum selesai aku mengatakan kegundahanku malam ini, telepon itu sudah berbunyi lagi, segera kuhampiri, dan kuangkat, dengan sedikit gusar, juga takut lagi
            “Hallo siapa ini?”
            “Jawablah aku mohon.” Aku sudah sangat resah, dan takut akan teror ini. Dia menjawab dengan suara serak bergemma, aku tidak berkutik, aku ingin jelas mendengarnya.
            “besok malam aku akan datang lagi, membawa kepala manusia, dan membawa tubuh manusia secara terpisah, akan kubawa itu semua di depan rumahmu, tepat tengah malam jam 00.00. Dan aku kutelepon petugas keamanan jika sudah terjadi pembunuhan di salah satu rumah. Kau tahu maksduku? iya di salah satu rumah, yaitu rumahmu!” Sekejab dia tutup teleponnya, suaranya agak serak. Aku membuat kesalahan dengan menantangnya malam ini. Dia akan membawa mayat manusia, dan akan memutar balikkan fakta kalau aku ini atau anggota keluargaku ini adalah pembunuh. Apa mungkin ini juga yang dialami oleh pembunuh di sebelah rumahku ini?, aku mulai beranggapan. Ku minum segelas air putih, dan kuhisap rokok sisa tadi sore. Aku duduk sampai jam 03.00 dini hari, dengan terus beranggapan, dan mulai lelah untuk tidur dengan segudang teka-teki ketakutan dalam hatiku sendiri. Kuhisap sabatang rokok di sebelah remot televise, aku sedang ingin mempersiapkan dengan pasrah, aku takut kejadian tadi malam terulang, dan kubiarkan semua terjadi nanti malam. Aku tidak ingin melihat semua jalan ketika malam nanti itu ialah sebuah kenangan ketika tuaku nanti. Lelah aku pun tertidur.
            “Bangun sudah sore.” Teriak ibuku, aku ternyata tertidur dan terlelap bersama nayalanya televisi, wajahku masih belum bisa fokus, apakah benar ini sudah sore, aku mencoba melihta jam. “Sudah jam 17.00” Ternyata memang sudah sore, aku berjalan, menuju kamar. Memanjakan tubuh dengan harapan bisa menemukan jawaban akan kejadian tadi malam.
            “Ada titipan dari temanmu tadi, dia datang dan menunggu kira-kira lebih dari 2 jam, dia juga sudah mencoba membangunkanmu, tapi katanya kamu tidak bisa dibangunkan.” Teriak ibuku lagi, dari ruang dapur. Tanpa sadar, dan sedikit menganggap perkataan ibuku barusa hanyalah perkataan yang tidak penting, aku tersadar, sebuah bingkisan?. Segera aku selesaikan mandiku, aku bergegas dengan terburu-buru menuju ibu.
            “Dimana titipannya”
            “Di sana, di sebelah pintu depan.”
            “Kenapa tidak dimasukkan bu?” Tanyaku dengan agak ketakukan.
            “Tidak apa-apa, itukan titipanmu, dan tadi temanmu itu juga bilang jangan di buka sebelum kamu yang membuka terlebih dahulu.” Ibuku lalu pergi, menuju kamarnya, mungkin ibu sadar apa yang terjadi, sebab matanya sedikit berair, dan yang aneh kakak serta ayah tidak ada di rumah. Ada yang janggal dengan isi rumah ini, entah suasana atau entahlah.
            “Bu! temanku tadi seperti apa wajah dan bentuk tubuhnya?”
            “Dia bertubuh tinggi, dengan rambut cepak, berkacamata, dan tangan kirinya terdapat bekas luka bacokan sepertinya.” Ibu menjawab dengan tidak menoleh, segera masuk ke kamar, aku tidak akan mengganggunya.
Segera kulangkahkan kakiku, menuju pintu depan rumah. Dengan harap-harap cemas aku mencoba memalingkan semua kejadian tadi malam, ternyata semua justru terjadi lebih cepat. Bukannya tengah malam, ternyata siang hari. Aku mencoba berfikir positif, ayah, kakak tidak ada, Ibu seperti menangis. Untukku yang baru saja bangun tidur mungkin akan bertanya apa yang sedang terjadi selama aku tidur tadi?, apakah sebuah konspirasi, atau sebuha kejadian yang membuat keluargaku terhipnotis olehnya, oleh oaring misterius itu. Titipan itu terbungkusa rapi, dengan kertas kado berwarna biru muda, talinya berwarna jingga dan bentuk titipan ini kotak besar, sepertinya besar sekali. Dalam hatiku sendiri “Kotak sebesar ini sangat bisa untuk dimasuki tubuh manusia, apalagi dengan terpotong-potong.” Aku semakin takut, makin takut. Surat, ada surat disebelah titipan ini, akan kubacakan pada kalian semua.
            “Surat ini aku berikan untuk tanda penghormatan, karena dirimu telah berhasil menjebakku, kejadian malam itu harusnya kamu tahu jika kamu melawan dengan kawanan pembunuh  berdarah dingin, kamu juga sudah menjebakku, dengan memasang CCTV disetiap sudut rumahmu. Alasanku memberikan ancaman padamu tidak lebih karena kamu menaruh curiga atas kematia dan tertangkapnya pembunuh palsu di sebelah rumahmu itu. Aku tahu gerak-gerikmu, dan aku sudah memberikan sinyal merah tanda jika kamu harus dibunuh, tapi aku berfikir lain. Aku ingin keluargamu tercemar, dengan menjadikan kamu sebagai pembunuh, dengan sadis. Bingkisan yang aku titipkan ini berupa potongan tubuh manusia, dengan aku potong-potong menjadi sepuluh bagian, tertawalah sebisa mungkin. Dan keluargamu juga sudah aku ancam, jika melaporkan ke petugas keamanan, akan kubunuh keluargamu, aku juga sudah mengancam semua anggota keluargamu, dan kalau pun keluargamu melaporkan aku ke petugas keamanan, akan kubunuh kamu. Pastikanlah, dirimu selamat, dan nikmatilah hidup ini!.”
Sangat lemas tubuh ini, membaca isi surat barusan, aku mencoba menahan mual dalam perutku, Ibu terdengar sedang menangis, langit juga sedikit mendung, air hujan sepertinya akan jatuh sebentar lagi. Aku tidak bisa berkutik dengan semua ini, ketika petugas keamanan datang dengan ayah dan kakak, dan membawaku ke penjara dengan tuduhan pembunuhan. Mereka menyangka aku membunuh dan pada waktu itu, aku ingin membawa mayat di dalam bingkisan itu ke laut untuk di buang, Ayah membuat skenario itu semua, terlihat jelas dalam raut wajahnya, matanya berair. Kakak sedikti mencoba lebih tegar.
“Bawa dia pak.”
Ucap kakak pada salah satu petugas, dan membawaku, serta membawa bingkisan berisi mayat itu. Sebagai bahan bukti pembunuhanku, aku selipkan kertas surat tadi, dalam celana, dan akan kusimpan sampai kapanpun. Dari jauh ibu terlihat dalam kamarnya, sedang didekat jendela memandangiku. Dia menangis, semuanya seperti dalam mimpi, dalam dunia dongeng, dan aku mulai menjauh, dari rumahku. Memandangi segala bentuk jalan, dan kesunyian. Pada kenyataannya aku memang tidak menyangka jika keberanianku untuk menyelidiki kasus pembunuhan tersebut membawaku dalam posisi seperti ini. Dan aku taruhkan segala bentuk harga diriku. Aku berharap CCTV yang aku pasang tersebut, mungkin yang aku takutkan ialah bagaimana dengan orang yang meneror itu, anggota keluargaku. Apakah dia tidak akan mengganggu keluargaku, atau justru mengganggu mereka semua. Perjanjian yang dibuatnya, aku sedikti tidak percaya. Mungkin aku menyebabkan suatu permasalahan yang entah baik atau benar itu baik. Entahlah, aku tidak mau berfikir jelek lagi akan waktu, aku takut, dan nasibku sudah terlanjur sperti ini.
“Jangan main-main”
            “Maksudnya?”
            “Jangan main-main dengannya.”
            “Dengan siapa?”
            “Dengan yang menerormu dan dengan yang telah menjebak masa depanmu ini?”
“Apakah kalian tahu rahasia ini?”
“Kami lebih tahu darimu.”
“Kami tidak pernah menjadi patung, kami seperti ini.”
“Kenapa kalian diam?”
“Kami takut.”
“Takut?, kenapa takut?”
“Keluarga kami juga diancamnya, juga hidup kami.”
“Semuanya?”
“Entahlah”, Sahut salah satu petugas yang ternyata juga mengalami apa yang aku alami. Apa maksud semua ini, dia, dia siapa. Sampai petugas keamanan yang harusnya menjaga keamanan juga takut dengannya, dengan modus ancaman yang sama, “Membunuh!.” 
“Dia ada di pertigaan, di dekat lampu merah di depan, lihatlah dia juga sedang memakai topeng.”“Iya aku melihatnya.” Dia sinis, memegang sebuah pistol di tangannya, dan mengacungkan tangan ke arah mobil kami, dan petugas ini menyampaikan salam penghormatan padanya. “Selamat sore menjelang malam.”
‘Cepatlah pergi!” Jawab dia, dengan keras, dan kami pun mulai pergi dengan lambat, dengan sedikit gugup. Aku rasa, kota ini, sudah menjadi misterius, aku ragu dengan keluargaku, dan aku paham selamat tinggal, tinggal menuju ke dalam sebuah jalan yang sunyi, menanjak untuk menginginkan pulang. Aku mulai mula, mulai ingin beranjak pergi, keluargaku, keluargaku yang aku cintai. Bangkai yang terbawa, dan menjawab dengan sempurnanya. “Aku merasa jika semua yang mewujudkan kematian, apalagi si pembunuh itu hanyalah ilusi, aku mulai sadar. Sadar dan sangat sadar”.
“Coba sedikit lebih cepat mobilnya!” Bentak petugas itu.  
            “Kota ini akan sunyi, akan tanpa kehidupan yang begitu ramai.” Sahutku di salah satu kaca di sudut rumah disampingku, sambil melihat jalan yang suram.
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
698
2
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan