KokonataAvatar border
TS
Kokonata
8 Alasan Generasi Milenial Kaya Enggan Menyekolahkan Anaknya di SD Negeri

Agan dan Sista dulu bersekolah di SD Negeri (SDN). Tiga puluh tahun kemudian, apabila Agan dan Sista punya anak, apakah menyekolahkan anak di SDN juga?emoticon-Roll Eyes (Sarcastic)
 
Generasi milenial yang lahir sekitar tahun 1980-an dan berpenghasilan Rp10 juta ke atas, rasanya jarang menyekolahkan anaknya di SDN. Sebagian besar orang tua milenial menengah atas memilih SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) atau SD swasta lainnya.
 
Padahal SDN ada di dekat rumah, tiada SPP alias gratis dan minim biaya lainnya. Bandingkan dengan biaya pendidikan di SDIT atau SD swasta di Jakarta dan kota besar yang SPP-nya mencapai Rp 600.000 – Rp1.000.000. Cukup jauh dari rumah lagi, sehingga harus langganan mobil jemputan. Tambah bengkak biayanya.
 
Berdasakan pengalaman ane mencari sekolah untuk anak di kota Bandung, berikut alasan generasi milenial menengah atas enggan menyekolahkan anaknya di SDN.
 
1. Jam belajar singkat emoticon-clock

Kelas 1 dan 2 di SDN belajar sekitar 3 jam per hari. Kelas 3 sampai 6 belajar dari pukul 7 pagi sampai sekitar pukul 12 siang. Bagi kedua orang tua yang bekerja, jam belajar yang singkat ini jadi masalah, sebab anak harus pulang ke rumah yang kosong atau ada pembantu saja. SDIT dan mayoritas SD swasta jam belajarnya lebih panjang sehingga anak bisa dijemput berbarengan dengan jam pulang kantor. 
 
2. Sekolah 6 hari dalam seminggu emoticon-Roll Eyes (Sarcastic)  

Jam belajar yang lebih singkat mengakibatkan SDN belajar 6 hari dalam seminggu. Hari Sabtu anak masih bersekolah, padahal orang tuanya yang bekeja kantoran libur. Orang tua milenial ingin akhir pekan sebagai quality time. Jadi SDN bukan pilihan, karena hari Sabtu tidak bisa dimanfaatkan sebagai waktu bersama keluarga. 

3. Pendidikan terbatas emoticon-table

Generasi milenial ingin pendidikan anak terintegrasi. Belajar sesuai kurikulum Diknas, juga belajar agama misalnya. Bagi orang tua muslim, SDIT yang memiliki program belajar baca Al Qur’an dan hafalan Qur’an menjadi pilihan. Bayar lebih mahal, bukan masalah selama kualitas pendidikan yang ditawarkan setara biaya.
 
4. Jumlah siswa dalam satu kelas 30-40 siswa emoticon-Ngacir Tubrukan

SDN menampung 30-40 siswa tiap kelas, sementara guru yang mengajar hanya satu orang. Bandingkan dengan SDIT atau SD swasta yang membatasi murid tiap kelas hanya 20-an orang saja. Gurunya pun seringkali terdiri dari 2 orang, guru utama dan guru bantu atau guru bayangan. Jumlah murid yang terbatas dirasa lebih masuk akal untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang efektif.
 

5. Fasilitas penunjang belajar minim emoticon-Gila

Jangankan gedung olahraga atau ruang seni dan budaya khusus, perpustakaan yang layak saja  sulit ditemukan pada SDN. Generasi milenial menilai fasilitas penunjang belajar penting bagi kegiatan bejar mengajar. Maka dari itu SDN tidak menjadi pilihan.
 
Padahal bukan salah SDN juga, sih. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak bisa menutupi segala kebutuhan sekolah, sementara pungutan biaya ini itu di sekolah negeri juga tidak dianjurkan.     

6. Makan dan jajan sembarangan emoticon-coffee

SD negeri jarang yang memiliki kantin khusus alafood court atau catering makan siang. Siswa dan siswi SDN membawa bekal makan dari rumah atau jajan dari pedagang kaki lima. Makan dan jajan sembarangan ini menjadi perhatian generasi milenial. Mereka rela bayar catering asalkan asupan bagi anak terjamin kualitasnya.   
 

7. Kegiatan ekskul antara ada dan tiada emoticon-Ngacir


Kegiatan ekstrakulikuler yang terkelola dengan baik cenderung ada di SD swasta. SD yang sering menang lomba seni, budaya dan lainnya pun cenderung dari SD swasta. SD swasta memiliki biaya khusus untuk kegiatan ekstrakulikuler, sedangkan di SD tidak ada dana khusus itu. Keberadaan kegiatan ekstrakulikuler antara ada dan tiada.
 
8. Orang tua kurang peduli emoticon-Metal

Soal kepedulian, orang tua manapun bisa tidak peduli dengan pendidikan anaknya. Urusan pendidikan dibebankan kepada sekolah saja. orang tua tahu beres, anak pulang sudah pintar dalam segala bidang.
 
Hanya saja di sebagian SD swasta ada pertemuan rutin orang tua, seminar parenting, dan acara lainnya yang melibatkan orang tua. Mau tak mau orang tua jadi peduli dengan pendidikan anaknya. Hal ini sulit ditemui pada SDN.
 

Apabila diperhatikan, benang merah dari 8 alasan di atas adalah biaya, ujung-ujungnya duit. Padahal biaya hanya satu dari sekian variabel yang membuat pendidikan anak sukses. Anak yang bersekolah di SDN tetap memiliki peluang maju dan meraih prestasi setara anak-anak SD swasta.
 
Mudah-mudahan di masa depan kualitas pendidikan SDN dan SD swasta cuma tipis perbedaannya, ya. Sehingga tiada kasta-kasta lagi dalam pendidikan Indonesia. Semua anak Indonesia berkesempatan mengenyam pendidikan dasar dengan kualitas yang sama.    


Sumber pengalaman pribadi
Foto:dokumentasi pribadi







Terima kasih atas perhatiannya




emoticon-Jempol


emoticon-2 Jempol



BOLEH BACA JUGA














Diubah oleh Kokonata 24-02-2019 23:33
2
6.9K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan