- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Potret Buram Negara 1000 Pulau #EvaluasiBersama
TS
arv121093
Potret Buram Negara 1000 Pulau #EvaluasiBersama
Selamat siang agan - agan yang sangat berbahagia dengan weekeend nya
Setelah kemarin kita seneng bareng - bareng plesir ke pulau NUU WAAR & Pantai Ora di Timur Indonesia
Sekarang kita merenung yuk sekaligus evaluasi untuk negara yang terkenal dengan sebutan 1000 Pulau. Yang mana negara ini adalah yang kaya akan kekayaan alamnya. Tapi banyak hal yang terlupakan dan membuat negara ini semakin terjun bebas menuruni jurang keterpurukan
Itulah negara kita yang tercinta INDONESIA
Yuk sekarang kita lihat potret bangsa kita yang sedang BANGKIT DARI KETERPURUKAN Dan juga menjadi bahan evaluasi kita bersama untuk memajukan bangsa ini dengan apapun yang kita punya
Quote:
Potret Buramnya Kemiskinan, Korupsi, Moral, Pendidikan & Kesehatan
Spoiler for Potret Negara 1000 Pulau:
It’s the lack of ability to employ assets the causes poverty. If your only asset is labour and you are unemployed, you are poor. If you are in the rural area and you don’t own land, then you are also poor. (Mc Quibria, Stone, 1992 : 24)
KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama.
Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya biimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin.
Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional.
Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang; negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI, dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi.
Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter.
Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan. Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Quote:
Penyebab Kemiskinan
Jawaban sederhana, namun juga cukup lugas dari pertanyaan di atas, yang kerap kita dengar adalah : “Karena mereka malas !”. Mengasosiasikan kemiskinan dengan kemalasan, pada gilirannya akan menemui absurditas, dan bukan tak mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena, di luar dari alasan-alasan eksternal lain, kiranya tak ada seorang pun yang secara manusiawi “mau” hidup miskin.
Beberapa keyakinan religi yang cenderung doktriner, menganggap kemiskinan sebagai bentuk cobaan. Dalam kriteria moralitas – ini juga berlaku terbatas, kemiskinan bahkan dipandang sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang pada waktu-waktu sebelumnya, termasuk kemalasan.
Sejarah kemiskinan, hadir sejak mula adanya manusia. Schiller (1973) mencatat bahwa terjadinya krisis ekonomi dahsyat di AS pada akhir dekade 1890-an, menjadi momentum saat mana keyakinan doktriner – bahwa kemiskinan adalah refleksi dosa manusia, mulai dipertanyakan.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang. Di samping itu, kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi konsensus adalah bahwa seseorang atau sekelompok miskin karena lack of resourches.
Bukan semata karena kemalasan, meskipun juga tak bisa dinafikkan peran konteks seperti ini dalam memudarkan spirit untuk hidup, berujung pada sikap apatis dan putus asa. Pada kenyataannya, apatis dan putus asa yang “terkondisikan” inilah, yang dipotret sebagai “kemalasan”.
Singkatnya, terdapat “kondisi global” yang melingkupi orang-orang yang miskin atau yang rentan menjadi miskin, yang memaksa mereka untuk – mau atau tidak mau, sadar atau tidak, menjadi miskin.
Kondisi global yang secara sistemik telah memperkecil ruang-ruang ekspektasi dan kreatifitas hidup mereka, memposisikannya tetap di level suboordinat, pada wilayah-wilayah marginal, saat mana mereka tidak memiliki kekuatan sosial politis dan bargaining hukum yang berarti. Kendati pun ada faktor kemalasan, saya yakin, itu bukan sebab utama kemiskinan saat ini.
Jawaban sederhana, namun juga cukup lugas dari pertanyaan di atas, yang kerap kita dengar adalah : “Karena mereka malas !”. Mengasosiasikan kemiskinan dengan kemalasan, pada gilirannya akan menemui absurditas, dan bukan tak mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena, di luar dari alasan-alasan eksternal lain, kiranya tak ada seorang pun yang secara manusiawi “mau” hidup miskin.
Beberapa keyakinan religi yang cenderung doktriner, menganggap kemiskinan sebagai bentuk cobaan. Dalam kriteria moralitas – ini juga berlaku terbatas, kemiskinan bahkan dipandang sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang pada waktu-waktu sebelumnya, termasuk kemalasan.
Sejarah kemiskinan, hadir sejak mula adanya manusia. Schiller (1973) mencatat bahwa terjadinya krisis ekonomi dahsyat di AS pada akhir dekade 1890-an, menjadi momentum saat mana keyakinan doktriner – bahwa kemiskinan adalah refleksi dosa manusia, mulai dipertanyakan.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang. Di samping itu, kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi konsensus adalah bahwa seseorang atau sekelompok miskin karena lack of resourches.
Bukan semata karena kemalasan, meskipun juga tak bisa dinafikkan peran konteks seperti ini dalam memudarkan spirit untuk hidup, berujung pada sikap apatis dan putus asa. Pada kenyataannya, apatis dan putus asa yang “terkondisikan” inilah, yang dipotret sebagai “kemalasan”.
Singkatnya, terdapat “kondisi global” yang melingkupi orang-orang yang miskin atau yang rentan menjadi miskin, yang memaksa mereka untuk – mau atau tidak mau, sadar atau tidak, menjadi miskin.
Kondisi global yang secara sistemik telah memperkecil ruang-ruang ekspektasi dan kreatifitas hidup mereka, memposisikannya tetap di level suboordinat, pada wilayah-wilayah marginal, saat mana mereka tidak memiliki kekuatan sosial politis dan bargaining hukum yang berarti. Kendati pun ada faktor kemalasan, saya yakin, itu bukan sebab utama kemiskinan saat ini.
Quote:
Mengapa Kemiskinan Tetap Menjadi Problem Berkelanjutan?
Agenda kemiskinan, sebagaimana di atas menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan atau dihancurkan sama sekali oleh distabilitas ekonomi-sosial-politik nasional. Terjadi tambal sulam kebijakan, bak mencoba menangkar angin di angkasa.
Kemiskinan tidak kunjung usai, seperti juga penantian masyarakat yang tak urung henti, menanti fajar baru kehidupan : Masyarakat Adil Makmur.
Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.
Ritonga mungkin benar, tetapi saya kira belum melihat secara komprehensif kondisi yang terjadi. Saya melihat ada indikasi ketidakbersungguhan pemerintah — terlepas dari sengaja atau tidak, mungkin pada tingkatan puncak, menengah, atau petugas di lapangan, untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama, sebagai masalah nurani kemanusiaan kita.
Artifisialnya program pengentasan kemiskinan, sebenarnya jika dilakukan secara sistematik dan terarah, bukan mustahil bisa memberikan warna baru yang lebih produktif.
Dalam kroniknya kemiskinan, saat mana masyarakat kita tidak cukup kuat untuk “mengail” ikan, tidaklah arif dan bijaksana juga untuk hanya memberikan “kail” dan “umpan” saja, tetapi sedapat mungkin bisa diberikan keduanya : “kail-umpan” sekaligus “ikannya”. Mempersiapkan masa transisi dari keterpurukan infrastruktur sosial-ekonomi, mensyaratkan adanya tahapan persiapan-persiapan awal.
Minimal, akses mereka atas layanan sosial dan public goods tidak lagi terhambat oleh minimnya aksesibilitas yang dimiliki. Persiapan masa transisi, saya gambarkan sebagai “pemberian kail-umpan dan ikan” sekaligus, sehingga ketika masa transisi ini telah terlewati, gambarannya menjadi “masyarakat peternak ikan”, dimana mereka tidak hanya bisa mengail ikan, tetapi sekaligus juga memiliki dan mampu memberikan “ikan” untuk orang lain yang sedang transit hidupnya.
Dalam batasan lain, program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, layaknya dilakukan untuk menumbuhkembangkan iklim kehidupan yang produktif dan mampu membebaskan ketergantungan permanen kaum miskin kepada pemerintah dan pihak penderma lainnya.
Untuk itu, pengalihan bantuan untuk masyarakat miskin dari bentuk-bentuk materiil, perlahan mesti dilakukan – sebagai masa transisi, dalam bentuk program-program produktif untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan perbaikan struktur-struktur sosial-kultural internal mereka. Karena secara tidak langsung, sebenarnya saat ini kemiskinan yang melanda bangsa kita semakin jauh terjebak ke dalam bentuk-bentuk kemiskinan struktural.
Satu yang pasti, kemiskinan struktural di Indonesia saat ini telah menembus hingga ke lapisan masyarakat paling bawah sekalipun. Kemiskinan struktural timbul bukan karena sifatnya individual, tetapi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat; dan bukan pula karena sebab tunggal, tetapi oleh berbagai sebab yang berbelit dan melilit kondisi kelompok penduduk (Soemardjan, 1979).
Terlepas dari perdebatan tentang parameter kemiskinan, saya masih menganggap bahwa pola organisasi sosial dan sistem pengaturan institusi ada hubungannya dengan kesulitan mencapai golongan termiskin dalam masyarakat. Myrald (1976), menyatakan bahwa seseorang lahir dalam berbagai kondisi struktur sosial. Dengan kekuatannya sendiri orang ini tidak mampu menguasai dan mengubah struktur itu.
Jika gejala ini berlanjut, maka akan berakhir pada lingkaran yang tak berujung-pangkal atau kausasi sirkuler yang kumulatif. Berdasarkan hal inilah, mengapa pendekatan ekonomi saja tidak cukup untuk mengentaskan problem kemiskinan di negara kita.
Yang justru kontradiktif adalah, munculnya program-program penanggulangan parsialistik di tiap departemen pemerintahan di tengah kurangnya tenaga profesional yang kita miliki. Akibatnya, banyak program yang salah sasaran dan tidak jelas ujung-pangkalnya.
Kondisi ini ikut diperparah dengan sentralistiknya manajemen stakeholder untuk program ini, menyisakan ketidakefektifan dan efisiensi minimal dalam setiap kegiatan yang dilangsungkan.
Dengan konsep otonomi daerah ke depan, kiranya program pengentasan kemiskinan harus tetap dianalisis dan direncanakan berdasarkan kompetensi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sekaligus dapat dilangsungkan dengan membangun karifan-kearifan lokal, baik yang menyangkut pranata-pranata budaya setempat dan kultur sosial yang ada.
Agenda kemiskinan, sebagaimana di atas menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan atau dihancurkan sama sekali oleh distabilitas ekonomi-sosial-politik nasional. Terjadi tambal sulam kebijakan, bak mencoba menangkar angin di angkasa.
Kemiskinan tidak kunjung usai, seperti juga penantian masyarakat yang tak urung henti, menanti fajar baru kehidupan : Masyarakat Adil Makmur.
Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.
Ritonga mungkin benar, tetapi saya kira belum melihat secara komprehensif kondisi yang terjadi. Saya melihat ada indikasi ketidakbersungguhan pemerintah — terlepas dari sengaja atau tidak, mungkin pada tingkatan puncak, menengah, atau petugas di lapangan, untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama, sebagai masalah nurani kemanusiaan kita.
Artifisialnya program pengentasan kemiskinan, sebenarnya jika dilakukan secara sistematik dan terarah, bukan mustahil bisa memberikan warna baru yang lebih produktif.
Dalam kroniknya kemiskinan, saat mana masyarakat kita tidak cukup kuat untuk “mengail” ikan, tidaklah arif dan bijaksana juga untuk hanya memberikan “kail” dan “umpan” saja, tetapi sedapat mungkin bisa diberikan keduanya : “kail-umpan” sekaligus “ikannya”. Mempersiapkan masa transisi dari keterpurukan infrastruktur sosial-ekonomi, mensyaratkan adanya tahapan persiapan-persiapan awal.
Minimal, akses mereka atas layanan sosial dan public goods tidak lagi terhambat oleh minimnya aksesibilitas yang dimiliki. Persiapan masa transisi, saya gambarkan sebagai “pemberian kail-umpan dan ikan” sekaligus, sehingga ketika masa transisi ini telah terlewati, gambarannya menjadi “masyarakat peternak ikan”, dimana mereka tidak hanya bisa mengail ikan, tetapi sekaligus juga memiliki dan mampu memberikan “ikan” untuk orang lain yang sedang transit hidupnya.
Dalam batasan lain, program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, layaknya dilakukan untuk menumbuhkembangkan iklim kehidupan yang produktif dan mampu membebaskan ketergantungan permanen kaum miskin kepada pemerintah dan pihak penderma lainnya.
Untuk itu, pengalihan bantuan untuk masyarakat miskin dari bentuk-bentuk materiil, perlahan mesti dilakukan – sebagai masa transisi, dalam bentuk program-program produktif untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan perbaikan struktur-struktur sosial-kultural internal mereka. Karena secara tidak langsung, sebenarnya saat ini kemiskinan yang melanda bangsa kita semakin jauh terjebak ke dalam bentuk-bentuk kemiskinan struktural.
Satu yang pasti, kemiskinan struktural di Indonesia saat ini telah menembus hingga ke lapisan masyarakat paling bawah sekalipun. Kemiskinan struktural timbul bukan karena sifatnya individual, tetapi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat; dan bukan pula karena sebab tunggal, tetapi oleh berbagai sebab yang berbelit dan melilit kondisi kelompok penduduk (Soemardjan, 1979).
Terlepas dari perdebatan tentang parameter kemiskinan, saya masih menganggap bahwa pola organisasi sosial dan sistem pengaturan institusi ada hubungannya dengan kesulitan mencapai golongan termiskin dalam masyarakat. Myrald (1976), menyatakan bahwa seseorang lahir dalam berbagai kondisi struktur sosial. Dengan kekuatannya sendiri orang ini tidak mampu menguasai dan mengubah struktur itu.
Jika gejala ini berlanjut, maka akan berakhir pada lingkaran yang tak berujung-pangkal atau kausasi sirkuler yang kumulatif. Berdasarkan hal inilah, mengapa pendekatan ekonomi saja tidak cukup untuk mengentaskan problem kemiskinan di negara kita.
Yang justru kontradiktif adalah, munculnya program-program penanggulangan parsialistik di tiap departemen pemerintahan di tengah kurangnya tenaga profesional yang kita miliki. Akibatnya, banyak program yang salah sasaran dan tidak jelas ujung-pangkalnya.
Kondisi ini ikut diperparah dengan sentralistiknya manajemen stakeholder untuk program ini, menyisakan ketidakefektifan dan efisiensi minimal dalam setiap kegiatan yang dilangsungkan.
Dengan konsep otonomi daerah ke depan, kiranya program pengentasan kemiskinan harus tetap dianalisis dan direncanakan berdasarkan kompetensi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sekaligus dapat dilangsungkan dengan membangun karifan-kearifan lokal, baik yang menyangkut pranata-pranata budaya setempat dan kultur sosial yang ada.
Quote:
Kesimpulan
Kemiskinan bukan faktor tunggal yang berdiri sendiri, ia adalah manifestasi keterpurukan banyak faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Karena itu, keterlibatan banyak elemen dengan disiplin dan kompetensi memadai, jelas akan sangat membantu mencapai target pengentasan.
Kemiskinan bukan faktor tunggal yang berdiri sendiri, ia adalah manifestasi keterpurukan banyak faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Karena itu, keterlibatan banyak elemen dengan disiplin dan kompetensi memadai, jelas akan sangat membantu mencapai target pengentasan.
Kalau kita bicara kemiskinan gak akan habisnya, itu adalah yang pasti. Ayoo agan - agan semua kita bantu mereka yang membutuhkan dengan memberikan sebagian rejeki kita yang telah diberikan oleh-Nya melalui langsung atau ke lembaga - lembaga kemanusiaan seperti Lembaga Zakat, Panti Asuhan, Dll
Sekian dulu thread ane gan, kita sambung lagi nanti dengan thread thread yang update
Spoiler for Sumber:
Quote:
Jangan lupa mampir ke thread ane yang lain ya gan
1. Pantai Ora, Surga Dunia di Timur Indonesia
2. Keajaiban Pulau Nuu Waar di Timur Indonesia
3. 5 DJ Termuda di Dunia
4. Pantai Unik Di Indonesia, Laut Terbelah dengan Air Terjunnya
5. Wisata Ke Kotawaringin Timur yuk
6. Wisata Ke Kota Atlas yuk
7. Wisata Ke Kota 1000 Sungai yuk
8. Jaket Kualitas Bintang 5, Harga Kaki 5. Gak Masuk Nyesel !!
9. Melihat Sejarah Pulau Jazirat Al-Mulk Di TImur Indonesia
1. Pantai Ora, Surga Dunia di Timur Indonesia
2. Keajaiban Pulau Nuu Waar di Timur Indonesia
3. 5 DJ Termuda di Dunia
4. Pantai Unik Di Indonesia, Laut Terbelah dengan Air Terjunnya
5. Wisata Ke Kotawaringin Timur yuk
6. Wisata Ke Kota Atlas yuk
7. Wisata Ke Kota 1000 Sungai yuk
8. Jaket Kualitas Bintang 5, Harga Kaki 5. Gak Masuk Nyesel !!
9. Melihat Sejarah Pulau Jazirat Al-Mulk Di TImur Indonesia
Diubah oleh arv121093 24-01-2015 10:02
0
4.3K
Kutip
24
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan