Halo nama saya Engkik, seorang karyawan yang bekerja disebuah tempat les-lesansebagai pengajar.

Ketika berita kopid mulai santer didengungkan sebagai sebuah penyakit yang berbahaya di akhir tahun 2019, saya tidak peduli, karena pemerintah pun terlihat demikian, bahkan beberapa orang penting di sana sempat bergurau soal itu.
Saya tetap bekerja seperti biasa, berangkat - pulang - berangkat - pulang - berangkat - pulang. Dan begitulah aktifitas saya sehari-hari.
Namun semuanya mulai berubah pada awal Maret, tiba-tiba segalanya nampak genting, hal-hal berubah dengan cepat. Termasuk pada pekerjaan yang saya jalani.
Beberapa orang murid mulai memutuskan berhenti, beberapa orang tua ketar-ketir ketakuan, sekolah-sekolah mulai daring, bimbel-bimbel online mulai berlomba-lomba beriklan dengan artis terkenal, pasang harga yang rasanya gak masuk akal. Kemudian provider penyedia layanan internetpun gak mau kalah ikut-ikutan kasih kuata sampai giga-gigaan.
les-lesan"konvensional" yang masih mengandalkan pertemuan serta lembaran kertas dan buku, mulai kehilangan peminat dan anak didiknya. Bahkan sebagian ada yang sampai gulung tikar.
les-lesan tempat saya bekerja pun mulai berubah haluan dengan langkah dadakan ikut mengadakan les online dengan modal WhatsApp, Zoom, serta Google Classroom sambil tetap mempertahankan pertemuan.
Beberapa anak masih ada yang berani datang untuk belajar. Dengan protokol kesehatan.

Namun hari berganti hari, bulan berganti bulan beberapa murid mulai tidak nampak hadir. Beberapa dikabarkan sudah memutuskan keluar, dengan beragam alasan. Ada yang orang tuanya kehilangan pekerjaan, sehingga sulit untuk membiayai. Ada yang bilang belajar online tidak efektif. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Kemudian kebijakan WFH (Work From Home) pun diberlakukan. Sayapun mulai bekerja dari rumah dan belajar dengan tatap muka pun ditiadakan. Satu persatu anak mulai gugur. Total pelajar yang belajar pun berkurang setiap bulannya.
Berbeda dengan sekolah, tempat les tidak memilik kekuatan sebesar sekolah. Keberadaan nya bukan kewajiaban untuk suatu wilayah.
Beragam inovasi serta promosi dikeluarkan, untuk mencoba menarik minat belajar anak. Namun tetap saja tidak bisa sesuai dengan harapan.
Penurunan murid tidak bisa dibendung. Akibatnya, pendapatan pun mulai merosot. Bos besar tempat saya bekerjapun mengeluarkan kebijakan penurunan gaji. Akhirnya pengelolaan keuangan pun harus dikaji lagi, pangkas sana-sini.
Masih dengan pengharapan, bahwa situasi ini akan berubah di awal tahun 2021, anak-anak akan sekolah lagi = melakukan pembelajaran di tempat yang bernama sekolah. Namun kebijakan pun diumumkan bahwa "pembelajaran daring masih akan tetap diberlakukan sampai akhir tahun ajaran 2021".
Sekarang tahun 2021, persis seperti pemberitahuan di akhir Desember, tidak ada anak-anak berseragam yang saya jumpai. Mereka masih dirumah, sebagian dari mereka belajar mengikuti para guru dari sebuah layar. Sebagian yang lain bermain-main dengan smartphone yang diberikan orang tuanya. Sebagian yang lain bahkan tidak punya hp untuk ikut ambil bagian dalam pendidikan yang sedang berlangsung.
Sebagian guru sepuh kebingungan dengan teknologi yang rasanya tidak mampu dikejar lagi. Sebagian lain berinovasi dan ikut adaptasi. Dan saya, seseorang yang pekerjaannya "mengajar di les-lesan". Berharap semoga anak-anak yang sedang di rumah itu tidak hilang semangatnya. Kelak ketika sekolah-sekolah sudah dibuka lagi kita bisa menyaksikan mereka bermain, belajar, bertengkar, sebagaimana dulu sebelum ada sesuatu yang namanya C - O - R - O - N - A.

Demikian lah cerita perjalanan saya, dalam masa pandemi sebagai pekerja di sebuah les-lesan

Saya Engkik, pamit undur diri.

Sumber photo : dokumentasi pribadi.
Sumber tulisan : cerita pribadi.