Aboeyy
TS
Aboeyy
Karena Amanah, Aku Menemukan Jodoh



Quote:

Sesosok tubuh yang lelah, terbaring lemah. Jari-jari tangannya tak kuat lagi memegang segelas air. Terkadang suaranya tak terdengar jelas, kalah keras dengan bunyi batuknya. Umurnya tidak terlalu tua, 52 tahun. Namun stroke yang hampir sepuluh tahun menyerang, membuat tubuhnya seakan telah berusia renta. Padahal di waktu muda dulu, badannya begitu kekar dan gagah.

Hanya aku dan adikku yang merawatnya, setelah ibuku mengkhianatinya, dan menikah lagi dengan pria lain.

Seolah memberi wasiat terakhir, sore itu ia memintaku mengemban sebuah amanah. Dengan suara lirih ia bekata:

“Abah harap Kamu tidak menikah sebelum Kau temukan Kakakmu, sekurangnya mengetahui keberadaannya sekarang!”

“Kakak? Saudara yang mana? Siapa?” Aku kaget tak mengerti maksudnya. Setahuku Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara.

“Ke mari, anakku!” Tangan kanannya bergerak-gerak memberi isyarat agar Aku mendekat ke tubuhnya yang terbujur lunglai di kasur itu. Matanya terlihat sayu.

“Siapa yang Abah maksud?” tanyaku lembut. Ia menatap wajahku dengan lekat.

“Inilah yang ingin Abah sampaikan.”

Aku mengubah posisi duduk seperti tasyahud dalam shalat.

“Sebelum menikah dengan ibumu, Abah pernah kimpoi dengan seorang perempuan. Abah meninggalkannya saat ia hamil sekitar lima bulan.”

Matanya terpejam seolah membayangkan sesuatu.

“Kenapa, Bah?” tanyaku pelan.
“Waktu itu Abah menuduhnya berhubungan dengan laki-laki lain. Abah sangat marah dan lantas meninggalkanya. Sampai sekarang Abah tidak tahu keadaannya, kecuali kabar ia melahirkan anak perempuan.”

Ekspresi penyesalan terlukis jelas di wajah Abah. Aku tak berani menyela.

“Jika putriku itu masih hidup, berarti kini ia berusia dua puluh empat tahun. Hanya dua tahun selisihnya denganmu. Karena itu, Abah harap kamu mencarinya. Kalau ketemu, katakan Akulah bapak kandungnya. Kalau bisa, bawa ia ke sini. Sebelum wafat, Abah sangat ingin melihatnya. Abah telah menzaliminya. Abah mau minta maaf padanya, dan memberikan hak-haknya. Semoga ia mau memaafkan Abah!”

Matanya berkaca-kaca. Akupun tak mampu membendung airmata.

“Baik, Bah! Aku akan mencarinya. Tapi, siapa namanya, dan di mana alamatnya?” tanyaku setelah menarik napas dalam-dalam.

“Abah tidak tahu namanya. Ibunya bernama Halidah. Dulu ia tinggal di Anjir(1) Pal(2) Dua Puluh. Tanyalah masyarakat di sana!”
Aku berangkat dengan beban yang berat. Abah melepasku dengan tatapan mata penuh harap. Tugas ini kurasa bagai mencari sebutir emas dalam setumpuk pasir. Jika gagal, Abah tidak mengizinkanku menatap masa depan, dan ia juga mungkin tidak bisa menjalani sisa-sisa harinya dengan tenang.
Lambaian daun padi menyambut kedatanganku sore itu. Sepanjang tepi jalan, sejauh mata memandang, hanya bentangan sawah yang terlihat. Sinar mentari membuat bulir-bulirnya terlihat lebih indah, bak hamparan emas berwarna kekuningan. Semilir angin membuat iklim terasa sangat sejuk di wilayah pertanian itu. Beberapa petani mulai pulang sambil memanggul karung yang penuh berisi padi yang baru dipanen. Potensi alam inilah rupanya yang mengundang masa muda ayahku untuk tinggal di sini, sebagai buruh pemanen padi, hingga terpikat dengan gadis itu.

avivsyuhada.wordpress.com
Kepada seorang wanita yang akan mengambil air ke sungai, Aku bertanya rumah Kepala Desa. Seorang lelaki yang kuperkirakan seusia denganku membukakan pintu rumah yang ditunjukkan perempuan itu. Aku mengenalkan diri dan memperlihatkan kartu tanda identitas.

“Jadi, Aku ke sini mau mencari saudari ayahku yang bernama Halidah. Mungkin Bapak mengenalnya dan bisa menunjukkan rumahnya,” jelasku.

“Ehmmm! Tapi setahuku tidak ada yang bernama Halidah di kampung ini,” ia menggumam agak panjang seperti mengingat-ingat.

“Umurnya berapa?” lanjutnya.
“Lima puluhan,” jawabku kira-kira. Aku lupa menanyakannya kepada Abah, sehingga hanya menduga-duga ia seumuran dengan Abah.

“Aku sendiri bukan asli penduduk sini, dan baru setahun jadi Kades. Jadi, belum hapal semua warga. Sebaiknya tanya sama yang lebih tua saja,” sarannya memberikan solusi. Aku mengangguk.

“Silakan nginap dulu di sini!” ajaknya karena matahari hampir tenggelam.
Kabut tipis masih menyelimuti pagi. Burung-burung pipit mulai beterbangan mencari rezeki. Beberapa warga terlihat hilir mudik memangku Lanjung(3) di pundaknya, siap memanen padi. Sesuai saran Kades, pagi itu Aku menemui seorang perempuan tua.

dumayku.com
“Seingatku di desa ini ada tiga orang yang bernama Halidah.”

“Berapa umurnya?” selidikku.

“Yang pertama usianya enam puluhan sepertiku. Yang kedua sekitar lima puluhan. Warga di sini memanggilnya Aluh. Yang satunya lagi kira-kira umurnya empat puluhan.”

Aku mengesampingkan Halidah yang pertama, karena usianya lebih tua dari ayah.

“Aluh itu punya anak?”

“Setahuku anaknya ada dua. Laki-laki semua.”

“Halidah yang terakhir?”

“Anaknya juga dua, tapi perempuan semua.”

“Berapa umur anaknya yang paling tua?”

“Mungkin dua puluhan,” sahutnya menduga setelah terdiam sejenak.

Aku menyimpulkan inilah orang yang kucari. Usianya lebih muda dari ayah, dan putri sulungnya seumuran denganku.

“Di mana rumahnya?” tanyaku semangat.

“Oh! Dia sudah pindah,” sahutnya mengejutkanku.

“Kapan? Ke mana?” cecarku.

“Sekitar sembilan tahun yang lalu. Ia pindah bersama suaminya ke Anjir Pasar(4), Pal Lapan Belas. Tapi Aku tak tahu rumahnya. Cobalah tanya-tanya di sana.”
Matahari bersinar garang. Teriknya semakin meluruhkan semangat bersama keringat. Sepanjang siang itu, Aku bertanya dari kios ke kios yang ada di pasar Anjir Pasar. Aku hampir putus asa. Semua orang yang kutanya menjawab “tidak tahu”.

“Ah, lebih istirahat dulu di bawah pohon dekat toko itu,” pikirku.

Dua orang perempuan tampak di dalam toko itu. Keduanya ngobrol sambil menunggu pembeli. Aku mengalihkan muka ketika mereka memandang ke arahku.

“Mau ke mana, Mas?” salah seorang penunggu toko itu mendekatiku. Mungkin ia melihat wajahku yang bengong duduk di sana.

“Ngga ke mana-mana. Cuma sedang nunggu teman,” sahutku sekenanya.

“Siapa kawannya? Lakian atau binian(5)?” tanyanya dengan bahasa Banjar setelah mendengar lugat bicaraku.

Ia menghampiriku dan duduk di sebelah kiri agak dekat denganku. Kupikir perempuan yang terlihat seusia denganku ini enak diajak ngomong, mudah bergaul, dan supel. Kami berkenalan singkat, sehingga Kuketahui ia bernama Mayang, dan aku mengenalkan diri dengan nama Bandi. Lalu kujelaskan bahwa Aku dari Kandangan(6), untuk mencari bibiku.

“Jadi, adakah di sini orang yang bernama Halidah?”

“Halidah?” gumamnya sambil mengingat-ingat.

“Oh, iya! Rasanya ada. Kalo ngga salah, tak jauh dari sini. Kamu nyeberang di jembatan itu tuh, terus ke hilir sekitar lima buah rumah!” Ia menunjukkan arah.

“Oh gitu?” tanyaku sumringah. Ia mengangguk.

“Oke! Terima kasih. Nanti Aku ke sini lagi.”
Sinar mentari mulai memudar, namun senja masih sekitar satu jam lagi. Berdasarkan petunjuk gadis itu, Aku pun bergegas ke sana. Seorang perempuan yang terlihat seusia denganku membukakan pintu. Aku menduga, jika benar ini rumah Halidah yang kucari, maka wanita ini mungkin adalah kakakku. Hatiku berharap-harap cemas. Ia masuk ke dalam memanggil ibunya. Lalu kepada wanita setengah baya yang mempersilakanku masuk itu, kujelaskan tujuanku.

“Kayaknya Kamu salah alamat. Sungguh Aku bukan orang yang Kau maksud. Memang benar namaku Halidah, tapi Aku tidak kenal dengan ayahmu itu,” jelasnya.

“Siapa lagi yang Ibu kenal bernama Halidah di sekitar sini?”

“Ehmmm, kalau tidak salah di Pal Dua Puluh ada. Tapi panggilannya Aluh. Coba tanya saja di sana. Aku yakin semua orang tahu, asal sebut Aluh, bukan Halidah.”

“Baik, Bu! Terima kasih!” Aku pamit dengan perasaan kecewa.
Aku ragu untuk mendatangi rumah Aluh, karena menurut Nenek itu, ia tak punya anak perempuan. Aku kembali ke bawah pohon itu.

“Sudah ketemu?” Mayang kembali menyapaku sambil menutup pintu kiosnya.

“Sudah! Tapi lain orangnya.”

“Jadi, mau pulang ke Kandangan sekarang?”

“Ngga! Aku takkan pulang sebelum ketemu.”

“Nginap di mana malam ini?”

“Di Mushalla itu!” sahutku tersenyum sambil menunjuk tempat ibadah di sudut kanan luar pasar itu.

“Eh, kamu bisa manen padi ngga?”

“Ya, iyalah! Masa anak petani ngga bisa?” sahutku santai.

“Kalau mau, kamu bisa kerja di tempatku, sambil mencari Bibi kamu itu. Kebetulan sawah kami sedang panen. Di rumah kami sudah ada dua orang Pangangarun(7), tapi kami perlu satu lagi.”

“Boleh juga. Tapi besok aja kepastiannya!”

“Oke!” sahutnya sambil beranjak pulang bersama mentari menuju senja.
Pasar masih sepi. Toko belum ada yang buka. Namun jalanan mulai ramai oleh warga yang mulai berangkat kerja ke sawah. Para wanita terlihat memakai bedak basah tebal untuk melindungi wajah, dan topi yang lebar menutupi kepala. Aku kembali ke Pal Dua Puluh, untuk menemui wanita yang bernama Aluh itu.

Kusampaikan maksud dan tujuanku dengan serius. Namun ia terkesan santai. “Iya kah?” Kalimat itu berulang kali diucapkannya sebagai respon atas penjelasanku.

“Jadi Ibu kenal dengan ayahku?” tanyaku memastikan.

“Tidak!” sahutnya tegas.

Melihat sikapnya itu, sebenarnya Aku ragu atas kejujurannya. Namun setelah Kulihat foto-foto yang ada di dinding, Aku kembali yakin bahwa wanita ini sepertinya memang bukan Halidah yang kucari, karena semua foto itu berisi potret dirinya dan laki-laki. Mungkin suami dan anak-anaknya. Aku kembali ke pasar itu untuk menemui Mayang.

“Oke, deal aku kerja di tempat kamu!” ucapku pada Mayang.

Dengan kerja di sini, berarti Aku dapat tempat tinggal, sambil mencari tahu keberadaan kakakku.
Mayang tinggal bersama neneknya yang berusia 70 tahunan. Setiap pagi Aku kerja sebagai buruh pemanen padi sampai siang, dan sorenya jalan-jalan sambil mencari informasi. Sepuluh hari di sini, tak ada titik terang yang kutemukan. Namun tak sedikitpun ada rasa bosan untuk tinggal di sini. Mungkin karena Aku telah jatuh cinta pada daerah Anjir ini.

Oh, andaikan tujuanku ke sini bukan untuk menunaikan amanah, tentu Aku akan berlama-lama di sini.

Penduduknya ramah dan bersahabat. Iklim dan cuacanya, terutama sore hari sangat sejuk dan tenteram. Terlebih lagi, senyum gadis-gadis di desa ini masih lugu dan polos tanpa polesan lipstik. Dan, teman Mayang itu telah mewakili seluruh pesona desa ini.

Sore hari, terkadang aku menemui Mayang di kiosnya, untuk sekedar ngobrol, sehingga kami semakin akrab.

“Mana teman kamu kemarin?”

“Kenapa? Naksir ya?” ia balik bertanya. Aku hanya tersenyum.

“Dia ngga kerja hari ini. Namanya Farah. Kalo kamu suka, nanti kukenalkan kamu sama dia!” ucapnya membuatku salah tingkah.

“Kirim salam aja buat dia!” sahutku malu-malu.

“Eh, Abah dan Mama kamu ke mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Kata Nenek, Abah meninggal pas aku masih dalam kandungan. Katanya dimakamkan di kampung asalnya. Namun sampai kini Aku belum pernah ziarah ke sana. Mamaku sudah menikah lagi. Sekarang Mama lagi pergi Umrah ke Makkah.”

“Kios ini punya siapa?”

“Milik saudari Mama, Bibi Aluh.”

“Aluh yang tinggal di Pal Dua Puluh itu?” tanyaku kaget.

“Betul! Emang kamu kenal sama beliau?”

“Iya. Aku pernah ke rumahnya. Nama asli beliau kan Halidah?”

“Entahlah, Aku juga ngga tahu. Sejak kecil Aku menyebutnya Bibi Aluh, sehingga ngga tahu nama aslinya.”

“Oh, gitu?” seruku.

Aku jadi berpikir, apa hubungan Mayang dengan Aluh. Tapi Aku tak mau mengorek informasi lebih banyak darinya. Aku akan bertanya kepada neneknya saja.
“Nek, Mayang itu punya hubungan apa sama Bibi Aluh?” tanyaku sore itu kepada neneknya.

“Mengapa kau tanyakan itu?” Nenek agak kaget. Lalu kujelaskan identitas dan tujuan utamaku yang sebenarnya datang ke sini.

“Jadi, kamu ini anaknya Tarmiji?” ia tambah kaget, sehingga kerut wajah tuanya semakin jelas.

“Inggih!” sahutku pasti.

“Berarti kamu ini saudara seayah dengan Mayang,” tegasnya serius.

“Jadi, Bibi Aluh itu sebenarnya siapa, Nek?” desakku tak sabar.

“Aluh itu Ibunya Mayang.”

“Tapi kenapa Mayang menyebutnya Bibi?” sergahku.

“Sebenarnya begini ceritanya. Setelah Aluh melahirkan Mayang, Mayang itu diasuh oleh saudari Aluh, karena kebetulan tak punya anak, sehingga sampai sekarang Mayang itu ngga tahu bahwa orang yang disebutnya Mama selama ini itu sebenarnya adalah Bibinya, dan yang dipanggilnya Bibi itu adalah Ibunya. Aluh sempat menikah lagi dan punya dua anak laki-laki. Namun mereka ikut ayahnya setelah ibu bapaknya bercerai.”

“Oooh!” Aku melongo panjang seolah tidak percaya.

“Jadi, bagaimana keadaan Bapakmu sekarang?”

“Beliau sedang sakit Nek!. Sudah lama terkena stroke. Beliau sangat ingin bertemu dengan Mayang. Jadi, kalau diizinkan, saya sangat ingin membawa Mayang ke sana, sesuai amanah Abah,” jawabku.

“Boleh! Boleh! Tapi Aku harus ikut ke sana,” sahut nenek mengangguk-angguk.

“Terima kasih, Nek! Tapi jangan diceritakan dulu hal ini sama Mayang. Sebaiknya Nenek ajak Mayang ke Kandangan dengan alasan untuk menziarahi kuburan Abahnya. Kalau sudah sampai di sana, baru Nenek ceritakan semuanya!” saranku.

“Bagus! Bagus! Aku sependapat dengan cara itu. Sudah saatnya Mayang tahu siapa ayah ibunya yang sebenarnya,” ucap Nenek sambil mengangguk-angguk.

“Kalau bisa, besok pagi kita ke sana,” lanjutku.

“Ya!” sahutnya singkat.

“Sekarang saya mau nemui Mayang dulu, Nek!” pamitku.
Kulihat Mayang dan Farah sedang ngobrol di bawah pohon itu. Aku dan Farah sempat bertatap mata sejenak. Ia tersenyum, lalu masuk ke dalam kios.

“Sudah kusampaikan salam kamu sama dia,” sambut Mayang sambil menoleh ke arah Farah yang duduk di meja kasir.

“Gimana tanggapannya?” tanyaku senang.

“Sepertinya dapat sambutan yang baik,” jawabnya membuatku tersenyum.

“Oh, iya! Esok Aku mau pulang. Kata nenek, beliau mau mengajakmu ziarah ke kuburan Abahmu. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari rumahku. Jadi, kita berangkat bersama-sama.”

“Benarkah?” Mayang terlihat girang.
“Iya! Sumpah!” Aku meyakinkannya.
Pagi yang cerah. Embun masih bergelayut bening di daun-daun padi. Matahari belum menampakkan wajahnya. Mayang telah berdandan rapi. Ia memakai jubah dan kerudung putih, seolah telah siap untuk membacakan doa-doa di sisi pusara ayahnya.

Tiba di Kandangan, Mayang tidak menemukan kubur bapaknya. Ia hanya mendapati sesosok tubuh yang terbujur lemas, seolah telah menanti kehadirannya untuk mengantarnya ke tempat pemakaman. Pertemuan itu amat mengharukan, dan sangat sulit untuk Kugambarkan. Mayang sudah mengetahui identitas dirinya. Kami semua berpelukan.

Akhirnya, dengan perantara saudariku itu, Aku bisa menyunting Farah, sebelum Ayah menutup mata.
Spoiler for Referensi:

Glossary:

Anjir(1) adalah sebuah nama desa di Kabupaten Barito Kuala, Kalsel.
Pal(2) berarti kilometer.
Lanjung(3) adalah alat pengangkut padi yang terbuat dari anyaman rotan.
Anjir Pasar(4) adalah sebuah nama desa di Kabupaten Barito Kuala, Kalsel.
Lakian atau binian(5) artinya laki-laki atau perempuan?
Kandangan(6) adalah sebuah nama ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel.
Pangangarun(7) adalah sebutan untuk buruh pemanen padi.

Quote:
Diubah oleh Aboeyy 09-06-2018 22:29
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
13.9K
80
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan