efantastikAvatar border
TS
efantastik
Terbias Masa


Begitu tenang sosok dengan keriput yang mulai menghias di seluruh tubuhnya. Wajah itu membuatku terharu. Tatapannya terasa begitu melekat, menghantam jiwa.

"Ibu, aku selalu ingin berterimakasih kepadamu," ucapku kepada beliau.

Nampak di pelupuk matanya secercah kebahagiaan tersirat. Sosok yang mulai terbenam masa, penuh dengan berbagai pengorbanan serta penderitaan kehidupan, duduk di hadapanku.

Beliau tersenyum simpul, "Sehat, Nak?"

"Alhamdulillah, Bu. Semoga ibu terus diberi kesehatan."

"Amin," jawabnya dengan senyum merekah di bibirnya.

Entah berapa pengorbanan dan perjuangan yang beliau lewatkan semasa hidupnya. Semenjak ayah pergi meninggalkan kami menuju negara tetangga untuk mengadu nasib. Perlahan nasib kami mulai sedikit berubah. Tapi itu semua tak berlangsung lama. Beberapa tahun sudah setelahnya, ayah tak lagi memberi kabar dan tak mengirimi uang kepada kami.

Aku masih kelas dua SMP dan adikku kelas lima SD, tak mengerti apa-apa tentang semua ini. Aku hanya mengerti bahwa ibu mencari pekerjaan, berusaha menghidupi aku dan adikku. Hutang dimana-mana membuat ibu harus bekerja untuk melunasinya serta memenuhi kebutuhan kami.

Berbagai pekerjaan dikerjakannya. Awalnya beliau menjadi pembantu rumah tangga. Lama sudah, kira-kira hampir dua tahun hingga aku kelas satu SMA. Pada akhirnya beliau menjadi buruh pabrik sepatu. Beliau bekerja tanpa kenal lelah. Tubuhnya terlihat seperti bongkahan tulang yang terbungkus kulit. Peluh selalu menghiasi tubuhnya setelah pulang bekerja. Itulah yang terlihat saat itu.

"Keluarga abang sendiri sehat?" tanya adikku.

"Alhamdulillah, semua sehat," jawabku dengan senyuman mengukir di bibirku.

Aku kembali teringat betapa hangatnya kehidupan keluargaku dulu.Wajah ibu, wajah ayah dan wajah adikku, betapa hangatnya keluarga itu dimataku. Tapi kehangatan itu memang tak sejalan dengan kemiskinan keluarga kami yang mengharuskan ayah mencari pekerjaan hingga ke negeri orang.

"Keluargamu juga sehat, Dik?" tanyaku kepada adikku.

"Alhamdulillah, sehat semua, Bang.
Bahkan si sulung sekarang terpilih jadi dokter kecil di sekolahnya," seru adikku dengan wajah sumringah mengabarkan anaknya dengan bangga.

Aku hanya tersenyum simpul atas penjelasannya.

"Bu, sengaja malam ini aku hanya mengajak ibu dan adik untuk makan malam di restoran ini. Ibu masih ingat? Ini restoran pertama kali ibu mengajak kita merasakan masakan yang enak," jelasku.

Aku tau, tatapan itu tak bisa berbohong. Mata beliau berkaca-kaca mendengar penjelasanku. Adikku mengambil nafas besar.

"Terimakasih, Bu. Jika bukan karena si bungsu ini, ibu pasti juga gak bakal menuruti rengekannya dulu," lanjutku dengan menatap adikku yang tersenyum mengingat kenangan dulu.

Pernah aku mencoba, menjadi pemulung tanpa sepengetahuan ibu. Ya, hanya sekedar menambah uang jajanku juga adikku saat itu karena bisa dibilang, uang saku kami jauh dari uang saku teman-teman yang lain.

Tapi, itu tak berlangsung lama. Ibu mengetahui apa yang tengah aku lakukan. Beliau memarahiku habis-habisan."Jangan kau rendahkan dirimu hanya untuk urusan perut, nak. Maaf, jika ibu tak bisa memberi uang lebih. Tolong jangan jadi pemulung meski kita hidup susah. Ibu hanya ingin melihat kamu dan adikmu belajar, biarkan ibu yang bekerja. Ibu hanya ingin kalian menjadi orang yang sukses."

Aku hanya bisa tertunduk saat itu. Tak berani aku mengucapkan sepatah katapun. Aku berhenti menjadi pemulung dan uang sakuku kembali seperti biasanya.

"Ibu mau pesan apa?" tanyaku.

"Ibu tak ingin makan apa-apa, Nak. Melihat kalian berdua, perut ibu menjadi kenyang," ujarnya.

Wajah itu, membuatku terharu. Ingin rasanya aku menangis bahagia meski dihadapan semua orang, tapi hal itu bisa kutahan. Tiga puluh lima tahun lalu, setelah mendengar kabar tentang ayah kami dari orang yang pernah bekerja bersama beliau,kami begitu tenggelam dalam kesedihan. Ayah kami meninggal di sana karena sakit hepatitis. Hal itu membuat kami sangat bersedih, terutama ibu. Nampak jelas setelah mendengar kabar itu, beliau jadi pemurung, suka melamun dan jadi pendiam. Aku dan adikku sedih akan hal itu.

"Bagaimana jika kita memesan makanan, saat pertama kali kita datang di sini, Bang?" sahut adikku memberi pendapat.

"Bagus juga. Ibu bagaimana? Pesan makanan kita tempo dulu, ya?" tanyaku pada beliau sedikit manja.

"Ibu lupa, pesan apa dulu ya?" ujarnya pada kami.

Aku dan adikku tertawa geli.

Sebuah peristiwa pernah terjadi. Adikku tertabrak mobil saat berangkat sekolah, tulang kakinya patah dan dirujuk ke rumah sakit. Aku mendapat kabar dari tetangga, karena lokasi tabrakan tak jauh dari rumah. Ibu masih bekerja di pabrik karena kebagian jam malam, sedangkan aku masih akan berangkat sekolah. Aku hanya berpesan kepada tetangga, jika ibu datang ajak ke rumah sakit tapi jangan bilang anaknya yang tertabrak.Akhirnya, tetanggaku menuruti ucapanku.

Siang hari, ibu dibujuk ikut menjenguk anak tetangga yang terkena musibah. Seperti yang direncanakan, ibu tak mengerti jika adikku yang tertabrak. Ia turuti saja apa kata para tetangga dan lekas pergi ke rumah sakit. Ibu terkejut, karena di lobby rumah sakit beliau mendapatiku ada di sana tidak sedang bersekolah.

Tatapanku hanya sendu, tak menitikkan air mata tapi syarat akan kesedihan yang tengah terjadi. Ibu tersadar, kini ia mengerti bahwa anaknya yang tertabarak. Terlihat beliau bergegas masuk ke dalam kamar dan duduk disamping adikku. Beliau menangis sejadinya melihat anaknya terkapar, meringis kesakitan disertai darah bercecer dibalutan perban kakinya. Tetangga kami pun yang datang ikut bersedih melihat yang terjadi.

Dokter seketika datang, menanyakan kepada salah satu kerumunan orang yang datang, "Adakah di sini orangtua anak ini?"

"Saya, Dok," jawab ibuku.

"Anak anda harus segera di operasi," jelas dokter.

Perawat menyodorkan lembar putih yang berisikan persetujuan operasi. Aku bisa melihat hancur perasaannya. Ia menangis, sesekali melihat anaknya yang meringis kesakitan di pembaringan. Suara raung kesakitan adikku membahana menyelimuti relung-relung kamar, membuat hati kecil siapapun yang mendengar akan tersayat. Dalam pikiran kalutnya, anaknya akan dioperasi, dijahit atau bahkan diamputasi, membuatnya tak bisa memutuskan apa-apa. Cacat seumur hidup, akan menjadi cap untuk anak bungsunya. Aku menatap beliau dari luar kamar dengan derai air mata. Pada akhirnya, ibu memutuskan untuk menandatangani surat itu atas dasar resiko keselamatan anaknya serta atas saran para tetangga. Wanita yang benar-benar tegar.

"Teh hangat rasa melati dengan sedikit gula dan ayam bakar madu, itu dulu pesanan ibu," jelas adikku mengingat pesanan di masa silam.

"Ibu benar-benar lupa, tak memikirkannya," tukasnya pada kami.

"Memang sudah lama sekali, Bu. Dua puluh tujuh tahun sudah. Tapi kami masih mengingatnya, karena itu sejarah bagi kami makan makanan enak setelah ayah tak lagi memberi kiriman uang kepada ibu," ucapku.

Kami terdiam sejenak.

"Ayah kalian itu adalah orang hebat. Beliau sangat membanggakan kalian, berharap banyak pada kedua anaknya agar jadi orang sukses. Itulah salah satu alasan yang ibu ingat, sampai beliau hijrah ke negeri orang untuk bekerja membanting tulang demi masa depan anak-anaknya, agar tak mengikuti jejak orang tuanya yang hanya lulusan SMP," ibu menyampaikannya dengan tatapan berbinar dan wajah yang sumringah.

Kami berdua hanya menatapnya penuh kelembutan, sosok mulia yang mulai termakan oleh jaman.

"Kamu dulu pernah jadi pemulung, toh?" pertanyaan itu membuatku tersentak sesaat. Ibu menatapku, "Ibu masih ingat, saat memarahi kamu dulu. Ibu dan ayahmu ini hanya tak ingin calon orang sukses kami menjadi seorang pemulung."
Aku tertunduk dengan anggukan pelan menerima penjelasan ibu.

"Bang, pesananmu dulu sama denganku, ya?" sahut adikku yang sedari tadi menatap menu makanan sembari mendengarkan percakapan ibu.

"Kau lupa, ya? pesananmu lebih banyak dariku."

"Masa' Bang?"

"Kau pesen dua es krim, dulu."

"Oh, iyakah?" adikku tergelak. Kutatap ibu juga tersenyum.

Pesananpun segera dicatat dan diberikan kepada pelayan yang berdiri tak jauh dari tempat kami bertiga. Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Inilah nostlagia dua puluh tujuh tahun lalu, suasana ini melekat dalam ingatanku. Begitu bahagianya, begitu istimewanya, begitu berharganya waktu ini, waktu bersama dengan keluarga kecil, bersama ibu tercinta dengan suasana yang sama meski rambutnya kian memutih, kulitnya telah beringsut dan mulai sangat menua.

Seiring berjalannya waktu,takdir kami terwujud seperti apa yang didoakannya yakni menjadi orang sukses. Lulus SMA aku mendapat beasiswa kuliah di Universitas ternama di Jawa Timur. Kini aku menjadi Manager di sebuah perusahaan besar berbasis IT, menjadi seorang motivator dan menjadi penulis. Sedangkan adikku mendapat beasiswa kedokteran di Selandia Baru, Victoria University of Wellington. Ia juga dinobatkansebagai salah satu dokter nasional dalam hal spesialis paru-paru. Betapa itu membuat ibu sangat bahagia memiliki anak seperti kami.Jasa beliau, takkan pernah bisa aku balas. Sebesar apapun yang akan kuberikan dan kulakukan kepadanya.

Bukan hanya karena pengorbanan kami sebagai anak dalam meraih cita-cita, tetapi karena pengorbanan mulia orangtua terutama ibu yang bekerja susah payah hingga kurus kering disertai peluh saat pulang bekerja serta doa yang selalu ia panjatkan disujudnya saat malam hari bagi anaknya. Semoga segalanya tercurahkan keberkahan Tuhan atas air mata yang kau jatuhkan bagi kami anak-anakmu ibu.

baca juga karya lainnya
BANGAU KERTAS MERAH
Sebuah Pilihan
Diubah oleh efantastik 17-11-2017 13:49
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan